Pendidikan

3 Dosa Besar yang Membayangi Pendidikan Sekolah Dasar

3 dosa besar pendidikan

Oleh: Yeyen Febrilia

Pendidikan menjadi tolok ukur keberhasilan suatu negara. Di Indonesia, sayangnya, masih banyak PR di bidang pendidikan yang belum selesai. Ini ditandai dengan masih maraknya intoleransi, perundungan, kekerasan, dan lain-lain. Kampaye sekolah ramah anak dan anti kekerasan yang digemborkan oleh pemerintah maupun pihak sekolah nyatanya belum mampu meredam aksi 3 (tiga) dosa besar di bidang pendidikan tersebut.

Artinya, instansi yang berkaitan (sekolah) belum mampu menyediakan ruang aman bagi peserta didik dan menciptakan dunia pendidikan yang tanpa intoleransi, perundungan, dan kekerasan. Sebagai konsekuensinya, baik korban, pelaku, maupun instansi yang bersangkutan terkena dampak negatif dari 3 dosa besar pendidikan itu.

Bayangan 3 Dosa Besar

Tingkat intoleransi peserta didik makin hari makin meningkat. Hasil survei siber nasional menyatakan, terdapat 41,4% siswa di sekolah beropini sangat radikal dan 2,4% beraksi sangat radikal. Adapun opini dan aksi sangat moderat siswa mencapai 10% dan 54,3%. Padahal, toleransi dalam dunia anak memberikan peran yang sangat penting dalam anak. Hal ini berbanding terbalik dengan intoleransi yang kerap menjadi pemicu permasalahan di sekolah.

Intoleransi di sekolah biasa diawali oleh hal kecil tanpa disadari, seperti membedakan teman atau anggota kelompok belajar, menjauhi teman karena berbeda warna kulit, dan banyak hal kecil lainnya. Tidak jarang, intoleransi bahkan secara tidak sadar dilakukan oleh tenaga kependidikan dan guru. Perilaku intoleransi seperti ini patut mendapatkan perhatian dari pihak sekolah maupun dinas terkait sehingga bisa dicegah dengan baik.

Marasaoly (2022) menjelaskan, perundungan adalah tindakan menyakiti seseorang dengan sengaja oleh seseorang atau kelompok yang merasa lebih berkuasa dan dapat berdampak negatif baik bagi para pelaku maupun penyintas. Perundungan, baik fisik maupun psikologis, termasuk yang dilakukan melalui media sosial, adalah permasalahan yang semakin mengemuka di kalangan remaja Indonesia.

Baca Juga: Sekolah Aman dari Perundungan: Asa Dunia Pendidikan

Berdasarkan survei Unicef tahun 2018, ditemukan bahwa 41% dari anak berusia 15 tahun di Indonesia mengalami perundungan di sekolah minimal beberapa kali dalam sebulan, dan melibatkan kekerasan fisik dan psikologis. Kekerasan di lingkungan sekolah dasar pada tahun 2016-2023 masih marak terjadi. Hal ini ditunjukan dengan data sebanyak 17,4% peserta didik perempuan dan peserta didik laki-laki sebanyak 27,1%.

Selain itu, sebanyak 57,5% anak-anak dinyatakan sebagai korban. Korban yang berada di rentang usia 5-12 tahun ada sebanyak 18%. Keadaan ini juga diperparah dengan tindak kekerasan terhadap anak oleh guru: 20 persen murid lelaki dan 75 persen murid perempuan melaporkan pernah dipukul, ditampar, atau dengan sengaja dilukai secara fisik oleh guru dalam 12 bulan terakhir.

Hal ini menyatakan bahwa korban kekerasan usia sekolah dasar masih sangat tinggi. Upaya dilakukan oleh pihak sekolah dan dinas terkait dalam pencegahan juga belum mampu memberikan pelajaran dan efek jera. Kekerasan di sekolah seharus menjadi perhatian besar dari berbagai kalangan.

3 Langkah Antisipatif

Berdasarkan beberapa hal di atas, upaya yang dilakukan oleh sekolah dalam meminimalisir tindak intoleransi, perundungan, dan kekerasan di lingkungan sekolah sekolah sebagai berikut.

Pertama, pojok aman. Pojok aman di setiap kelas dan pojok sekolah menjadi sebuah terobosan baru sehingga peserta didik mampu menuangkan segala permasalahan dan keluh kesahnya agar nanti bisa ditindaklanjuti oleh sekolah. Selanjutnya, hal ini juga sebagai langkah dini deteksi bagaimana keadaan psikis dan fisik dari peserta didik.

Guru bisa memberikan tanggapan dengan merespons dan memberi perhatiaan lebih terkait penyelesaian masalah yang dialami peserta didik. Jika permasalahan bisa dicegah dan di-handle oleh guru, maka guru bisa memberikan nasihat dan tanggapan terbaik. Selanjutnya, guru bisa berkonsultasi dengan rekan sesama guru atau berdiskusi terkait permasalahan tersebut sehingga ditemukan penanganan dan solusi terbaik.

Kedua, tim pembentukan karakter. Pembentukan karakter peserta didik pada 3 dosa dalam pendidikan. Peserta didik di usia Sekolah Dasar harus memberikan asupan yang baik, terutama terkait karakter. Salah satu tujuannya adalah agar peserta didik tidak hanya menjalani proses menuntut ilmu sebagai tujuan utama. Salah satu tujuan pendidikan adalah menciptakan peserta didik sehingga menjadi manusia dengan karakter yang sesuai dengan dirinya.

Salah satu tugas jangka panjang dan harus dilakukan sejak dini adalah pembentukan karakter peserta didik. Hal ini kemudian bisa ditanggapi dengan membentuk tim yang mampu memberikan dan berkolaborasi dalam menciptakan pembentukan karakter peserta didik. Selain itu juga hal ini digunakan sebagai tempat penampungan dan berdiskusi jika terjadi permasalahan yang berat terkait intoleransi, perundungan, dan kekerasan.

Ketiga, Posyandu konseling. Realitas di sekolah dasar adalah belum tersedianya guru khusus yang mampu meng-handle dalam permasalahan peserta didik atau konselor khusus dan hanya terpaku pada guru kelas. Hal ini membuat permasalahan seperti perundungan, intoleransi, dan kekerasan menjadi hal yang luput dari pengawasan guru, bahkan sekolah. Salah satu hal yang harus hadir terdepan adalah konselor yang bisa turut andil dalam mewujudkan sekolah ramah anak.

Tujuan adanya konselor di sekolah dasar adalah berperan sebagai wadah curhatan hati peserta didik, baik sebagai korban maupun pelaku. Adapun upaya menghadirkan konselor secara tetap akan membuat sekolah harus membayar atau mengeluarkan biaya lebih. Maka salah satu solusinya adalah dengan menghadirkan Posyandu konseling yang bisa digunakan dengan memberikan waktu khusus pada peserta didik dan mewadahi peserta didik. Posyandu konseling bisa dimanfaatkan dalam meningkatkan kesadaran bagi siswa akan bahaya perundungan, intoleransi, dan kekerasan.

Posyandu konseling yang bisa memfasilitasi peserta didik dalam upaya pencegahan 3 dosa besar pendidikan adalah kebutuhan mendesak. Posyandu konseling ini bisa dilakukan dengan kerja sama dengan psikolog di Puskesmas terkait (jika sudah tersedia) dan juga bisa bekerja sama dengan perguruan tinggi terkait, baik yang memiliki program studi psikologi ataupun bimbingan konseling secara rutin dan terjadwal. Dengan begitu, diharapkan masalah intoleransi, perundungan, dan kekerasan bisa teratasi.

Berdasarkan pemaparan tersebut, pendidikan Indonesia masih dibayangi oleh 3 dosa besar pendidikan. 3 dosa besar ini dapat diminimalisir dengan memberikan fasilitas atau wadah, yakni pojok aman, pembentukan tim karakter, dan Posyandu konseling.

Related posts
Berita

Gelar Audiensi dengan PRM Situsari, Uhamka Siap Kontribusi Kemajuan Pada Bidang Pendidikan

Jakarta, Suara ‘Aisyiyah – Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA (Uhamka) menyambut hangat kedatangan Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Situsari dalam rangka Audiensi yang…
Pendidikan

Studi Lanjut, Keluarga, dan Masa Depan

Oleh: Elis Zuliati Anis* Hampir tidak percaya, hari itu, akhir Juni 2017, saya berdiri di depan bangunan megah Winthrop Hall, University of…
PendidikanWawasan

Pendidikan sebagai Agen dari Perubahan Sosial : Perspektif Sosiologi dan Pembelajaran Global

Oleh: Arya Setyo Nugroho dan Wahyu Novitasari K.P Pendidikan merupakan salah satu pilar utama dalam pembangunan masyarakat. Dari perspektif sosiologi, pendidikan tidak hanya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *