Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – “Untuk menemukan formula tentang apa yang harus dilakukan Muhammadiyah di masa depan, Muhammadiyah harus melihat masa lalu”. Pernyataan tersebut disampaikan Abdul Mu’ti dalam Pengajian Ramadhan PP Muhammadiyah pada Ahad (18/4).
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah itu mengaku terinspirasi dari film Your Back to The Future (1985) dan teori double movement-nya Fazlur Rahman ketika menafsirkan al-Quran. Kedua sumber inspirasi itu, menurut Mu’ti, menekankan pada pentingnya memahami nilai, pengalaman, dan situasi masa lalu untuk menemukan formula ketika merancang masa depan.
Baca Juga
Azyumardi Azra: Tiga Agenda Aktualisasi Muhammadiyah di Era Perubahan
Dalam konteks aktualisasi Islam yang berkemajuan, Mu’ti menyampaikan bahwa makna aktualisasi adalah mengenalkan Islam yang sesuai dengan karakter agama Islam. Yakni Islam sebagai agama yang berkemajuan (din al-hadlarah) yang ajaran dan nilai-nilainya mengandung dan mendorong kemajuan.
“Di Muhammadiyah,” ujar Mu’ti, “istilah berkemajuan sudah dipergunakan sejak awal berdirinya organisasi”. Pernyataan tersebut didasarkan pada dokumen Muhammadiyah bertanggal 22 Agustus 1914. Dokumen tersebut memuat pesan utama bahwa kehadiran Muhammadiyah adalah untuk (a) memajukan dan menggembirakan pelajaran agama Islam di Hindia Belanda dan (b) memajukan dan menggembirakan cara kehidupan sepanjang kemauan agama Islam kepada sekutunya.
“Dadiyo kiai sing kemajuan, aja kesel anggonmu nyambut gawe kanggo Muhammadiyah”. Pesan Kiai Ahmad Dahlan tersebut, ujar Mu’ti yang mengutip dari karya MT Arifin berjudul Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah, mengandung tiga makna utama, yakni (a) menjadi ahli ilmu agama, (b) berpandangan luas dengan memiliki pengetahuan umum, dan (c) siap berjuang mengabdi untuk Muhammadiyah dalam menyantuni nilai-nilai keutamaan dalam masyarakat.
Kehadiran Muhammadiyah di tengah pentas peradaban, menurut Mu’ti, berangkat dari upaya Kiai Ahmad Dahlan untuk mengatasi problem sosial, keagamaan, dan intelegensia umat dan bangsa. Sehingga untuk itu, perhatian Muhammadiyah pada periode awal adalah bertujuan membangun kultur keilmuan agama dan umum untuk membangun integrasi sosial agar tidak menimbulkan atau memperparah jurang sosial di masyarakat.
Baca Juga
Sejarah ‘Aisyiyah: Kelahiran Perempuan Muslim Berkemajuan
Menurut Mu’ti, karakter berkemajuan yang melekat pada Muhammadiyah sangat dipengaruhi oleh karakter berkemajuannya Kiai Ahmad Dahlan. Abdul Mu’ti merangkum setidaknya 17 karakter berkemajuan tersebut, yakni (a) ningrat-merakyat, (b) puritan-inklusif, (c) kritis-konstruktif, (d) priyayi-melayani, (e) kaya-bersahaja, (f) hartawan-dermawan, (g) alim-tidak ekstrem, (h) kiai-tidak semuci, (i) teguh-tidak angkuh, (j) elit-tidak elitis, (k) arab-tidak kearaban, (l) jawa-tidak kemarin, (m) guru-tidak menggurui, (n) terbuka-tidak liberal, (o) taat-tidak radikal, (p) bersahabat-tidak menjilat, dan (q) berani-rendah hati.
Karakter berkemajuan itulah yang oleh Mu’ti harus dimiliki Muhammadiyah saat ini dan di masa depan. “Karakter-karakter tersebut saya kira menjadi bagian penting yang harus dimiliki Muhammadiyah di masa depan”. Mu’ti lalu merangkum 5 karakter Muhammadiyah di masa depan, yakni (a) mendunia; (b) terbuka; (c) inovatif tata kelolanya; (d) adaptif terhadap perubahan, dan; (e) responsif terhadap berbagai persoalan kontemporer. (sb)