
Abdul Mu’ti
Jakarta, Suara ‘Aisyiyah – Menyikapi adanya image terhadap Islam yang tidak bersesuaian dengan substansi ajaran Islam, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyampaikan bahwa warga Muhammadiyah-‘Aisyiyah harus memberikan counter narasi dengan cara menampilkan wajah Islam yang otentik.
Pernyataan tersebut disampaikan Abdul Mu’ti dalam forum Silaturahim dan Konsolidasi Nasional Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah dan Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah yang diselenggarakan pada Sabtu (3/4). Silaturahim dan konsolidasi nasional ini mengangkat tema “Dakwah Merekat Persatuan dan Dinamisasi Kepemimpinan Jelang Muktamar Ke-48”.
Dalam sambutan Ketua Umum PP ‘Aisyiyah, Siti Noordjannah Djohantini menyampaikan kepada para peserta untuk senantiasa melakukan peneguhan ideologi Muhammadiyah-‘Aisyiyah di tengah dinamika paham dan gerakan di tengah masyarakat Indonesia dan dunia. Noordjannah mewanti-wanti, jangan sampai warga Muhammadiyah-‘Aisyiyah terinfiltrasi paham keislaman yang tidak mencerahkan. Ia juga berharap agar ‘Aisyiyah mampu hadir sebagai suluh kemajuan.
Sementara itu, bertindak sebagai narasumber, Abdul Mu’ti menyampaikan bahwa citra buruk yang disematkan dan dialamatkan kepada Islam dan Muslim sangat menyesakkan dada. Meski begitu, ia tidak memungkiri bahwa memang ada beberapa kelompok di dalam Islam yang memahami agama Islam dengan perspektif yang kurang tepat. “Tidak sepenuhnya bisa kita pungkiri, karena memang terjadi demikian,” ujarnya.
Oleh karenanya, Mu’ti menegaskan penting bagi warga Muhammadiyah-‘Aisyiyah untuk menampilkan wajah Islam yang sebenarnya, yang otentik, yang dibangun dengan dasar ajaran yang asli dan komprehensif. Tujuannya adalah agar tercipta kehidupan masyarakat yang damai, baik itu duniawi maupun ukhrawi, baik material maupun spiritual.
Di antara jalannya adalah dengan memahami dan memanifetasikan paradigma Islam Wasathiyyah. Berangkat dari landasan qurani dalam surat al-Baqarah ayat 143, Abdul Mu’ti menyampaikan ragam pandangan mufasir mengenai tafsir kata ‘wasathan’ yang ada dalam ayat tersebut.
Setidaknya ada 5 (lima) pengertian tentang kata tersebut. Pertama, berarti sesuatu yang baik atau indah dalam pandangan fisik. Keindahan itu ibarat oase di tengah gurun yang memberikan rasa tenang dan senang bagi semua orang. Kedua, terbaik. Beberapa mufasir, ujar Mu’ti, menghubungkan konsep terbaik ini dengan kandungan dalam QS. ali-Imran [3]: 110 yang menekankan agar umat Islam menjadi umat terbaik. Hal ini karena Islam merupakan agama terbaik, paling sempurna, dan ajarannya mengandung kemuliaan. Ketiga, umat yang adil, baik dalam hal ilmu (fil ‘ilmi) maupun hukum (fil hukmi). Dalam beberapa ayat, konsep keadilan diiringkan dengan takwa. Seperti dalam QS. al-Maidah [5]: 8, “i’dilū huwa aqrabu li at-taqwa”. Keempat, adil dalam bersikap dan berperilaku. Kelima, pengambilan keputusan dilakukan dengan jalan moderat, sebagaimana prinsip “khairu al-umūri awsathuhā”.
Selanjutnya, Abdul Mu’ti kembali mengingatkan kepada para peserta untuk memegang teguh ajaran Islam yang otentik. Paham dan sikap itu, lanjut Mu’ti, harus dibangun dengan landasan keilmuan yang kuat, yakni melalui pendekatan bayani, burhani, dan irfani. Lebih dari itu, “citra buruk tentang Islam dan Muslim harus dijawab dengan tindakan nyata atau pembuktian empiris. Dan itulah yang menjadi strategi gerakan Muhammadiyah-‘Aisyiyah,” pungkas Mu’ti. (SB)