Jakarta, Suara ‘Aisyiyah – Semasa muda, Buya Syafii Maarif merupakan pendukung negara Islam. Pengakuan itu diceritakan di dalam otobiografinya, Titik-titik Kisar di Perjalananku. Hingga suatu ketika, setelah melalui perjalanan intelektual dan perenungan yang panjang, Buya memutuskan untuk “insaf”.
Insafnya Buya Syafii dari seorang fundamentalis Islam itu, kata Abdur Rahim Ghazali selaku Direktur Eksekutif Maarif Institut tidak dapat dilepaskan dari penghayatan atas kondisi kebangsaan Indonesia. “Karena kita hidup dalam bangsa yang majemuk, yang terdiri dari banyak agama, suku, budaya, dan sebagainya,” kata dia.
Ketika Buya sadar dan bertransformasi menjadi seorang pemikir dan intelektual yang progresif, pemikiran dan laku Buya Syafii banyak menjadi rujukan oleh generasi muda Indonesia. Oleh karenanya, kata Ghazali, wafatnya Buya juga meninggalkan jejak kesedihan di kalangan kelompok yang bergerak memperjuangkan pluralisme dan kelompok-kelompok minoritas yang selama ini mereka merasa diperjuangkan dan dibela.
Menurut Ghazali, Buya Syafii adalah sosok yang lugas. Jadi ketika ada orang yang menistakan orang lain dengan alasan apapun, Buya dengan lantang memberikan penyadaran dan pembelaan. Sosok yang seperti inilah yang menurutnya dibutuhkan oleh bangsa Indonesia. Orang yang sadar dengan multikulturalisme bangsa Indonesia.
Baca Juga: Di Mata Perempuan Indonesia, Buya Syafii Maarif adalah Telaga Keteladanan yang Langka
Sayangnya, komitmen Buya untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia itu seringkali menimbulkan sikap permusuhan oleh sebagian pihak. “Mereka tidak kenal, sebenarnya, dengan Buya,” terang Ghazali dalam acara Rosi yang bertajuk “Buya Syafii dalam Kenangan: Membumikan Pancasila”, Kamis (2/6).
Ghazali mengakui bahwa Buya Syafii memang kerapkali menyampaikan sesuatu yang “sukar” dipahami oleh masyarakat umum. Hal itu tidak lepas dari pemilihan kata Buya ketika menyampaikan gagasan yang seringkali menggunakan kiasan.
“Jadi Buya sering juga dituduh sebagai orang yang islamophobia. Bayangkan, Buya yang tutur kata dan tindakannya itu merujuk pada al-Quran dikatakan sebagai islamophobia, dikatakan sebagai orang yang tidak suka dengan perkembangan Islam di Indonesia,” kata Ghazali.
Beberapa pihak yang “membenci” Buya sebenarnya merupakan orang yang sedang mencari perhatian. Suatu ketika, Ghazali menceriterakan, ada salah seorang “pembenci” Buya yang dipertemukan dengan Buya. “Orang itu ketika ketemu dengan Buya nangis-nangis minta maaf. Dan sebenarnya seperti seorang anak yang ingin disayang oleh bapaknya. Jadi karena caper,” ungkap Ghazali menambahkan. (sb)