Makkah-Suara ‘Aisyiyah. Beberapa lelaki memakai gamis putih tampak serius membaca buku di ruang baca perpustakaan. Ruang baca itu terletak di tengah ruangan yang dikelilingi rak-rak buku terbuka dari bahan kayu.
Itulah gambaran suasana ruang perpustakaan yang terletak di dalam masjidil haram. Jemaah bisa masuk dari pintu 79 masjidil haram yang berhadapan dengan Zam-zam Tower.
Jalan Menuju Perpustakaan
Dari pintu 79 atau sebelahnya, jemaah kemudian dapat naik ke lantai atas hingga menemukan papan bertuliskan Library Masjidil Haram dengan arah petunjuk ke atas.
Usai menaiki tangga ke atas, jemaah akan menemukan pintu perpustakaan terbuat dari kaca di bagian atasnya tuliskan Maktabah Masjidil Haram, Arriasah al’Ammah Li Syuunil Masjidil Haram wa Masjid Nabawi. Selain kaca, pintu perpustakaan juga dihiasi dengan ornamen terbuat dari kayu.
Perpustakaan Masjidil Haram ini memang dikelola oleh Bagian Layanan Umum Urusan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Perpustakaan ini merupakan bagian dari Maktabah al-Haram al-Makki yang berada di daerah Batha Quraisy.
Maktabah diresmikan pada tahun 2013 oleh Gubernur Makkah Al-Mukarramah Pangeran Khalid Al-Faisal pada 1 Juni 2013 atau 1434 H. Informasi tentang ini bisa kita dapati di prasasti batu yang tertera di dinding berdekatan dengan pintu perpustakaan.
Mulanya perpustakaan ini bernama perpustakaan Masjid Agung Makkah. Perpustakaan awalnya terletak di bawah salah satu kubah Masjidil Haram yang didedikasikan untuk pelestarian salinan Al-Qur’an.
Diinisiasi pada tahun 1357 masa kepemimpinan Raja Abdul Aziz bin Abdul Rahman Al-Saud yang membentuk komite ulama Makkah untuk mempelajari dan mengatur sesuai dengan status dan kepentingannya.
Perpustakaan kemudian berpindah ke luar Masjidil Haram untuk kali pertama. Ia berada dalam pengelolaan Kementerian Haji hingga tahun 1385 H.
Selanjutnya maktabah berada di bawah pengelolaan Pimpinan Umum Urusan Keagamaan di Masjidil Haram yang berikutnya berganti nama menjadi Pimpinan Umum Urusan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
Koleksi Maktabah
Perpustakaan yang memiliki luas sekitar 1.000 meter persegi ini memiliki koleksi buku sebanyak 30.000 dengan 5.600 judul buku. Selain itu terdapat e-book dan audio.
Menariknya perpustakaan juga menyimpan koleksi buku dalam beberapa bahasa termasuk bahasa Indonesia. Selain berbahasa Arab, ada juga buku-buku berbahasa Inggris, Cina, Urdu, Perancis, Jerman, Turki, Bengali, India dan yang berbahasa Indonesia
Di antara koleksi buku berbahasa Indonesia yang ada di perpustakaan tersebut adalah buku Tafsir al-Azhar sebanyak 9 jilid karya Buya Hamka. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa buah pikiran ulama asal Minang itu mendapat pengakuan.
Perpustakaan Masjidil Haram juga meyimpan koleksi buku-buku langka sudah berusia tua. Di antaranya buku yang berasal dari abad kedua Hijriah, seperti Al-Mustatab, Majmaa Al-Anhur Fi Sharh Multaqa Al-Abhur, dan “lAl-Ashbah Wal Nazaer.”
Perpustakaan bisa diakses oleh masyarakat umum. Kini, jemaah bisa menggunakan waktunya untuk membaca dengan berkunjung ke perpustakaan masjidil haram. Perpustakaan dibuka dari jam 07.30 hingga jam 24.00.
Sayangnya, perpustakaan kini tidak bisa diakses oleh perempuan. Padahal sebelumnya, perpustakan tersebut masih bisa diakses walaupun hanya dua kali dalam seminggu, yaitu Kamis dan Sabtu dari pukul 16.00-20.00.
Saat penulis mencoba berkunjung di hari Sabtu, jam 17.30, pada 29 Juni 2024. Setelah memasuki pintu perpustakaan
, tiba-tiba salah seorang laki-laki penjaga maktab itu berucap, “ya hajj, an-nisa, mamnu’, lirrijaal” atau Wahai hajjah, perempuan dilarang (masuk-red), hanya laki-laki saja.
Perempuan Tidak Bisa Masuk Perpus.
Sempat terkaget dan membatin, “Bagaimana bisa perempuan tidak bisa mengakses perpustakaan sebagai sumber ilmu, sedangkan laki-laki dan perempuan setara di hadapan Allah, yang membedakan hanya ketakwaannya.”
Dengan berat hati, kaki ini melangkah keluar. Memandang dari kejauhan para lelaki sedang membaca buku. Rasanya sedih dan kecewa.
Kemudian ada dua perempuan dari India datang bersama satu jemaah laki-laki. Dua perempuan itu akhirnya hanya bisa menunggu di luar. Kami kecewa.
Di lantai bawah, penulis mencoba memastikan kembali kepada salah satu petugas. Penulis bertanya, apa benar perempuan tidak bisa masuk, sedangkan sebelumnya bisa mengakses maktabah. Petugas itu pun mengiyakan, dulu memang perempuan bisa masuk pada jam tertentu, tapi kini tidak.
Ia kemudian mengambil kertas notes warna kuning dan pena, menuliskan Maktabah Al-Haram Al-Makki Batha Quraisy. Ia menjelaskan, di sana perempuan bisa masuk perpustakaan dan mengakses apa saja.
Perpustakaan di Haram ini juga merupakan bagian dari perpustakaan Al-Haram Al-Makki yang lebih besar. Namun sudah seharusnya tidak ada pembedaan bagi laki dan perempuan, apalagi dalam hal mencari ilmu. Islam Dienul Hadarah. (Hns)