Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Selasa pagi hari ini (19/11) LHKP bersama Suara Muhammadiyah mengadakan Bedah Buku “Parmusi: Pergulatan Muhammadiyah dalam Partai Politik, 1966-1971” yang merupakan karya dari Ridha al-Hamdi, Ketua LHKP PP Muhammadiyah. Kegiatan ini berlangsung hingga siang hari di Lantai 4 Grha SM.
Davud Efendi, Sekretaris LHKP PP muhammadiyah dalam sambutannya menyatakan apresiasi kepada Suara Muhammadiyah yang telah menerima karya Ridha al-Hamdi ini untuk diterbitkan. “Apresiasi kepada SM karena sudah menerima karya Mas Ridha. Kemarin LHKP selesai berkeliling di seluruh Indonesia, di mana isi buku ini didiskusikan di banyak tempat,” ucapnya.
Ia melanjutkan, “Saya kira catatan yang penting dalam buku ini adalah adanya demarkasi kapan kesadaran itu awalnya muncul hingga kemudian dilembagakan. Hingga kemudian, ada era di mana berpolitik tanpa partai. Lantas, apakah yang seperti ini adalah model high-politic yang baru sebagai moral etis penyelenggara negara?”
Selain itu, menurutnya momen bedah buku ini sangat luar biasa karena bertepatan dengan Milad Muhammadiyah ke-112. Harapannya, lewat kegiatan ini bisa muncul harapan baru seperti amal usaha di bidang politik. Di sisi lain, David juga menekankan bahwa LHKP setelah ini berkomitmen untuk bisa lebih mengintensifkan lagi pendidikan politik hingga akar rumput mampu berpolitik tanpa berpartai politik.
Baca Juga: Dari Muballigh Keliling Hingga Anak Panah Muhammadiyah
Memiliki harapan yang sama, Isngadi Marwah Atmaja selaku Redaktur Eksekutif Suara Muhammadiyah ikut menyatakannya dalam sambutan. “Parmusi itu seperti BPI (Bank Persyarikatan Indonesia), sama-sama trauma yang dialami warga persyarikatan. Jika BPI adalah trauma di bidang ekonomi, maka Parmusi adalah trauma di bidang politik. harapannya, dengan adanya bedah buku ini bisa memberikan harapan baru, bukan mengembalikan trauma yang dahulu pernah ada,” ucap Isngadi.
Entah nantinya dapat memunculkan harapan baru atau tidak, bagi Ridha al-Hamdi selaku Penulis, buku ini diniatkan sebagai pengingat tentang bagaimana dahulu Muhammadiyah pernah mencoba untuk berpolitik praktis. “Di Parmusi, Muhammadiyah ternyata adalah pemrakarsa dan pemegang saham terbesar di mana saat itu mendapat suara 5% saat Pemilu. Di Tanwir Muhammadiyah Bandung ini dulu salah satu hasilnya adalah merekomendaksikan pendirian partai islam baru. Tapi nantinya, justru Parmusi ini yang menjadi cikal bakal Khittah Ujung Pandang 1971,” tukas Ridha. (lsz)