Hikmah

Agama dan Budaya dalam Islam: Perspektif Muhammadiyah

Oleh: Mohammad Damami Zain*

Dalam pembicaraan sehari-hari, baik di kalangan masyarakat awam maupun di kalangan kaum terpelajar, khususnya di kalangan umat Islam, masalah agama dan budaya seolah-olah belum ada kesepahaman yang mengerucut. Sebenarnya hal semacam itu wajar. Namun, agar agama dan budaya dapat berkembang dengan baik dan produktif, masalah ini perlu didiskusikan secara terus-menerus untuk ditemukan kesepahaman yang dimaksud. Kesepahaman tersebut bisa jadi belum menyatu bulat, tetapi paling tidak dalam proses pengerucutan kesepahaman tersebut mampu melahirkan sikap saling menghormati ketika terjadi perbedaan pendapat atau gagasan. Tulisan ini bermaksud menyumbang gagasan tentang agama dan budaya, terutama tentang bangunan (konstruksi) hubungan atau relasi keduanya dan efek atau dampak relasi tersebut dari beberapa sudut pandang (perspektif).

Agama: Apa, Bagaimana, dan Mengapa?

Jika pertanyaannya adalah “apa agama itu?”, tidak mudah untuk menjawabnya. Sekalipun agama merupakan entitas atau wujud yang dapat diamati dalam kehidupan, baik secara pribadi-pribadi maupun secara kolektif kemasyarakatan, tetapi tetap sulit untuk memberi definisi “apa agama itu?”. Walter Housten Clark (dalam Zakiyah Darajat, 1976: 3) menyatakan ada tiga faktor penghambat sehingga orang menjadi merasa kesulitan untuk mendefinisikan agama.

Pertama, agama adalah masalah pengalaman kepenghayatan rohani yang bersifat sangat subjektif, bersifat intern pribadi, dan individual. Pengalaman penghayatan rohani setiap orang tidak ada yang sama, misalnya dari sudut kadar nya, kemendalamannya, keberhasilan menyingkirkan gangguan yang menyelimutinya, semangat yang melatarbelakanginya, kebermaknaan yang berhasil dicapainya, dan sebagainya. Kedua, setiap perumus definisi, sekalipun mungkin dia sudah mencoba memperluas wawasannya agar tidak menyempit pandangannya, biasanya terpengaruh oleh subjektivitas keahlian keilmuan yang ditekuninya atau menurut selera pilihannya. Ketiga, tidak jarang ada orang yang sebenarnya boleh dibilang “tidak beragama” (ateis), namun dia tersinggung kalau dinilai atau disebut “tidak beragama” tadi. Dia, walaupun dalam praktiknya tidak menjalankan ajaran agama, tetapi merasa senang kalau dinilai dan disebut “beragama”.

Meskipun masih sangat sulit untuk merumuskan definisi yang baku dan berhasil diakui oleh banyak orang, tetapi secara umum apa yang disebut agama masih dapat didekteksi atau dicermati unsur-unsur yang membangunnya, yaitu: pertama, unsur yang disebut Tuhan sekalipun dengan banyak nama, konstruksi keimanan yang berbeda-beda (esa, trinitas, trimurti, monoteisme, politeisme, deisme, transenden, imanen, kausa prima, dan sebagainya); kedua, unsur konsep suci (sakral, tidak tersentuh); ketiga, unsur konsep kekuasaan yang tidak terbatas dalam seluruh tindakan-Nya.

Dengan adanya unsur-unsur di atas, maka muncullah sikap manusia dalam beberapa wujud, misalnya: pertama, takut karena kemungkinan ada ancaman dari Tuhan itu; kedua, harapan untuk mendapatkan layanan kebutuhan yang diperlukan dari Tuhan tersebut hingga cukup segalanya; ketiga, kerinduan dan keterpesonaan yang luar biasa terhadap yang disebut Tuhan itu sekalipun Tuhan bersifat misteri atau tidak dapat dipahami secara sejelas-jelasnya. “Mysterium tremendum et fascinosum”, kata Rudolf Otto.

Secara garis besar, demikian itulah yang dirasakan oleh orang yang mengalami pengalaman keagamaan sepanjang sejarah manusia itu sendiri. Sekalipun sifat keyakinan yang dikembangkan dalam agama-agama tersebut berevolusi mulai dari dinamisme, animisme, politeisme, nonmonoteisme, monoteisme autentik (seperti keyakinan yang dikembangkan dalam agama Islam yang disebut keyakinan/akidah atau tauhid).

Baca Juga: Islam, Kraton, dan Muhammadiyah

Dapat dipahami bahwa fenomena agama bagi umat manusia adalah niscaya. Manusia tidak dapat dipisahkan dari urusan keyakinan dan praktikpraktik keagamaan yang dibangunnya. Keniscayaan kedudukan, peran, dan fungsi dari agama tersebut secara perlahan-lahan dan dalam rentang waktu berabad-abad lamanya dalam setiap lokal dan wilayah yang relatif terbatas di daratan permukaan planet bumi ini muncul berupa budaya yang berkiblat pada pengalaman-pengalaman keberagamaan yang dihayati pemeluk-pemeluknya. Hal ini nanti akan dibahas kemudian.

Satu hal lagi yang sangat perlu dibahas di sini adalah bahwa beberapa sikap terhadap yang disebut Tuhan seperti telah disebut di atas, yakni sikap takut, harapan, dan kerinduan sekaligus keterpesonaan, terdoronglah para pemeluk agama tersebut dengan ketulusan tinggi melakukan apa yang disebut devosi (devotion) yang berarti: ketaatan (sebagai ekspresi balas budi), kesetiaan (sebagai ekspresi berbakti). Dalam agama monoteis seperti agama Islam, disebut dengan istilah ibadah.

Tampaknya, ketulusan melakukan devosi di atas telah memancing munculnya hal-hal, tindakan-tindakan, karya-karya pikiran, karya-karya perasaan, karya-karya yang dilestarikan secara turun-temurun secara sadar, yang akhirnya terbentuklah aktivitasaktivitas seperti adat dan tradisi. Adat adalah kebiasaan berupa aktivitas yang tidak dapat diketahui siapa pencetus atau inisiatornya karena saking lamanya.

Sedangkan tradisi adalah aktivitas yang cirinya, pertama, isi tradisi masih bisa dipelajari apa tujuan yang tersirat dalam aktivitas tersebut. Kedua, aktivitas-aktivitasnya sering ditonjolkan dalam simbol-simbol yang ada di dalamnya, seperti simbol berupa makanan, minuman, peralatan, asesori yang dipandang sebagai pelengkap, dan sebagainya. Ketiga, bahkan untuk sebagian tradisi, masih bisa dilacak siapa yang menjadi pemantik atau inisiator pertama yang biasanya disebut leluhur (ancestor worship). Adat dan tradisi inilah yang kemudian dikategorikan sebagai budaya (tepatnya budaya keagamaan). Bahwa setiap agama berbeda-beda intensitas budaya-nya. Semuanya tergantung level gradasi kecanggihan ajaran masingmasing agama dan sikap keterbukaan pemeluk-pemeluknya dalam menjalankan agamanya.

 Budaya: Apa, Bagaimana, dan Mengapa?

Ada yang melacak istilah budaya berasal dari kata buddh yang artinya ‘hasil aktivitas penalaran manusia’. Dari kata ini lalu dikembangkan menjadi kata buddhi daya, yang berarti ‘kekuatan atau energi penalaran yang mampu menghasilkan sesuatu yang relatif baru’. Dari kegiatan buddhi daya ini muncullah istilah kebudayaan yang berarti: ‘kompleks (keseluruhan) hasil aktivitas buddhi daya manusia sejak manusia ada hingga saat ini, bahkan ke masa depan yang masih terumus dalam perencanaan. Itulah pengertian budaya dan kebudayaan kalau dipangkalkan pada analisis semantik (makna kosa kata).

Namun, ketika para ahli yang menekuni dunia budaya dan kebudayaan, terutama kaum antropolog, mereka juga mengalami kesulitan untuk membuat semacam definisi yang mampu disepakati para ahli tersebut. Tampaknya belum berhasil, kalau boleh dikatakan gagal. Karena itu, misalnya menurut Koentjaraningrat, “resi” antropolog dari Indonesia, saking sukarnya menyepakatkan pendapat para ahli tersebut, maka dalam dunia antropologi terdapat 150-an definisi tentang kebudayaan (culture). Yang jelas, kata kunci yang dapat dipegang atau disepakati oleh sekian banyak antropolog, adalah bahwa kebudayaan merupakan produk buatan manusia.

Kata kunci di atas itulah yang nanti dalam relasinya atau hubungannya dengan agama menjadi mengalami semacam ketegangan (tension) yang berupa tarik-menarik yang berwujud klaim bahwa apa dan siapa yang merasa lebih berwenang: apakah agama dan pemegang otoritas keagamaan, ataukah kebudayaan dan pelaku kebudayaan. Kejadian tarik-menarik semacam ini, tampaknya sampai saat ini masih terus berlangsung. Suatu saat mereda, tetapi waktu berikutnya menegang kembali. Hal dan kondisi inilah yang perlu dicarikan jalan keluar (problem solving) dengan maksud untuk menipiskan ketegangan tersebut, bukan untuk melenyapkannya. Bahwa agama dan kebudayaan hidupnya adalah saling menyapa secara dialektis.

Baca Juga: Kebudayaan Muhammadiyah di Tengah Arus Zaman

Relasi Agama dan Budaya: Perspektif Muhammadiyah

Karena tulisan ini dibingkai dengan anak kalimat perspektif Muhammadiyah, tentu analisis dan uraian ini terkait dengan agama Islam. Dengan demikian yang menjadi fokus adalah relasi antara agama Islam dan budaya yang mungkin timbul kemudian. Bangunan ajaran Islam dapat dipecah menjadi dua: ajaran Islam yang bersifat mahdhah (murni keagamaan terkait hubungan antara manusia dengan Allah swt.) dan ajaran Islam yang bersifat ghairu mahdhah (aktivitas yang tidak semata-mata hubungan antara manusia dengan Allah swt. melainkan sudah tercampur dengan urusan kebutuhan dan kesejahteraan hidup sehari-hari di dunia ini).

Ajaran yang Bersifat Mahdhah Ajaran yang tercakup dalam wilayah ini adalah: akidah dan syariah (dalam arti yang lebih terbatas). Akidah adalah hal yang menyangkut keyakinan yang mengikat ruang batin secara utuh dan total. Keyakinan ini harus utuh dan seragam bagi seluruh pemeluk agama Islam. Akidah tidak tersentuh urusan duniawi. Syariah adalah konsep dan amaliah sebagai ekspresi devosi (ketaatan dan kesetiaan) total juga kepada Allah swt. yang dipagari oleh akidah, yaitu kesucian meng-Esa-kan Allah swt. (tauhid). Ajaran yang bersifat mahdhah yang dalam pemraktikannya sangat mungkin bersentuhan dengan masalah yang disebut budaya adalah bagian syariat tersebut. secara garis besar muatan syariat sudah ditegaskan dalam ajaran dan praktik ajaran rukun Islam, meliputi: ikrar syahadatain, salat, zakat, shiyam Ramadan, dan haji.

Dalam melaksanakan rukun Islam ini, misalnya, praktik melaksanakan salat, tentulah kalau sampai bersentuhan dengan masalah budaya yang relevan tetap ada rambu-rambu yang mengatur, memelihara, mengawasi, juga terbuka untuk melayaninya lebih luas. Satu contoh dalam salat, yakni pakaian salat. Pakaian salat sangat mungkin bersentuhan dengan kegiatan budaya, bahkan sampai tingkat pengembangannya.

Urutan bahasannya sebagai berikut: Pertama, pakaian salat diikat ramburambu: (1) akidah tauhid, yakni pakaian salat tidak merusak keyakinan tentang tauhid ketika dipakai melaksanakan salat terutama dan juga di luarnya; (2) sifat kemurnian asal ajaran, yaitu taufiqy (dituntunkan secara autentik oleh Rasulullah saw. berdasar as-Sunnah al-Maqbulah) dan tauqify (diajarkan “memang begitu adanya” atau taken for granted dari Allah swt. lewat Rasulullah saw. yang perlu dilaksanakan dengan tulus, ikhlas, dan ridha); (3) manhaj tarjih Muhammadiyah (metodologi yang dijadikan pedoman ketika melaksanakan ijtihad ketarjihan di kalangan warga Muhammadiyah) yang manhaj tarjih ini masih terbuka untuk dikritik yang bersifat konstruktif dan lebih akurat alasan atau argumentasinya; (4) pagar metodologi beragama yang autentik dan kaffah, yaitu meliputi: (a) bayani, yakni senantiasa bersumber dan berbasis pada dalil nash yang qath’i (ayat al-Quran atau teks as-Sunnah) yang berperan juga sebagai pengontrol kebenaran ajaran; (b) burhani, yakni proses pemahaman berdasar penalaran yang bening berdasarkan kaidahkaidah dan metodologi yang terusmenerus disempurnakan bila masih ada kelemahan; (c) irfani, yakni penghayatan keagamaan dalam bahasa hati yang terjaga kemurniannya; dalam setiap pribadi memiliki benih ini dan tinggal mengaktifkan dan memfungsikan sebagaimana mestinya. Kedua, setelah terpenuhi tuntutan ikatan rambu-rambu yang telah diuraikan di atas, dari perspektif kreativitas, dibolehkan menerobos ke wilayah budaya pada umumnya.

Seperti menjadi kegiatan bisnis pakaian misalnya industri mukena dalam berbagai variasi desain dan fashion-nya, industri sarung untuk salat dengan segala corak fashion-nya yang terus berkembang yang hasil produksi dari kegiatan industri tersebut bisa meramaikan bisnis pakaian muslim dan muslimah pada umumnya. Demikianlah realitas keluwesan pemberlakuan relasi agama dan budaya di wilayah ajaran yang bersifat mahdhah. Ajaran yang Bersifat Ghairu Mahdhah Dalam hal ini aktivitas pergaulan sosial (meliputi kemasyarakatan, ekonomi, politik, birokrasi), interaksi kebudayaan (yakni proses pembelajaran budaya untuk memajukan masingmasing pemilik dan pelaku budaya yang bersangkutan), pertahanan diri (pertahanan selaku warga negara, pertahanan negara), dan kompetisi ilmu pengetahuan serta teknologi (iptek) yang menjadi muatan ghairu mahdhah. Dalam menghadapi hal-hal ghairu mahdhah di atas, kedisiplinan ramburambu di atas tetap perlu dipertahankan sebaik-baiknya. [1/23]

*Anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah periode 2015-2022

Related posts
Liputan

Kebudayaan Muhammadiyah di Tengah Arus Zaman

“Muhammadiyah perlu menghias diri dengan kebudayaan, dengan pelestarian dan pewarisan, tidak saja dengan kemajuan dan kreativitas. Tidak ada untungnya untuk menanggalkan warisan…
Tokoh

Tafsir, Mujahid Kebudayaan dari Jawa Tengah

Oleh: Ahimsa W. Swadeshi Tahun memang sudah berganti, tetapi bagi warga Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah kenangan tahun 2022 lalu tidak mungkin begitu saja…
Berita

Abdul Mu’ti Ajak Umat Islam Beragama dengan Gembira

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Madrasah Mu’alimin Yogyakarta menggelar Pengajian Akbar dalam rangka Milad Mu’alimin yang ke-104 tahun. Pengajian Akbar berlangsung pada Senin…

4 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *