Oleh: Hajar NS
Sebanyak 68,82 juta jiwa penduduk Indonesia termasuk dalam kategori pemuda atau mencapai 24% dari total penduduk (Susenas BPS 2022). Jumlah tersebut bukanlah angka yang sedikit. Jika mengacu pada Undang-undang No. 40 Tahun 2009 maka pemuda berarti warga negara Indonesia yang berusia 16 sampai 30 tahun.
Indonesia saat ini juga tengah mengalami bonus demografi, yaitu kondisi jumlah penduduk usia produktif (di atas 15 tahun hingga 64 tahun) lebih besar dibandingkan usia tidak produktif (di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun). Besarnya jumlah anak muda juga turut menyumbang bonus demografi ini. Indonesia diharapkan dapat memanfaatkan momentum bonus demografi untuk meningkatkan kuantitas maupun kualitas pembangunan.
Semakin meningkatnya jumlah anak muda terkonfirmasi pula pada data pemilih Pemilu 2024 yang menyebutkan bahwa 52% pemilih mendatang adalah anak muda. Data tersebut membuat para kontestan pemilu termasuk calon legislatif hingga calon presiden tetiba ‘peduli’ pada anak muda hingga isu-isu yang menjadi perhatian anak muda.
Kini semakin banyak yang menyadari daya tawar anak muda, apalagi di tengah gegap gempita kemajuan teknologi informasi. Bahkan muncul klasifikasi generasi, seperti generasi milenial hingga Gen Z beserta karakter yang menyertai dan identik sebagai generasi yang terampil menggunakan gawai. Padahal klasifikasi tersebut rentan menghadirkan bias karena seringkali justru mengabaikan anak muda yang lahir di rentang tahun yang sama tetapi tinggal di daerah yang sulit mengakses internet bahkan berbagai akses layanan dasar lainnya.
Baca Juga: Anak Muda Memimpin Pembaharuan di Indonesia
Di satu sisi, ada banyak asa atau harapan pada anak muda, belum lagi jika mengingat pesan Soekarno seperti “Beri aku 10 pemuda, niscaya akan aku guncangkan dunia”, kisah ashabul kahfi, hingga ayat al-Quran maupun hadis yang berbicara tentang peran anak muda. Sejarah persyarikatan Muhammadiyah–‘Aisyiyah juga lekat dengan kiprah anak muda, mulai dari Dahlan dan para muridnya kala itu yang menginisiasi lahirnya Muhammadiyah hingga Siti Bariyah dan kawan-kawannya yang juga murid Dahlan dan Walidah yang menggerakkan ‘Aisyiyah.
Namun ada pula kekhawatiran yang terselip pada anak muda, termasuk pelabelan sebagai generasi stroberi atau generasi kreatif yang dianggap mudah ‘rapuh’. Sebenarnya kekhawatiran pada anak muda bukan saja soal ‘mudah rapuh’, tetapi kita juga harus melihat situasi anak muda pada kelompok rentan, seperti anak muda di daerah pelosok, anak muda pada masyarakat adat, anak muda miskin, anak muda difabel, maupun perempuan muda yang mengalami kekerasan.
Misalnya saja data yang menyebut bahwa 1 dari 10 remaja atau anak muda hidup di bawah garis kemiskinan (Smeru Institute, 2015). Data tersebut menunjukkan masih ada kelompok muda yang tertinggal. Padahal Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai agenda pembangunan global yang telah diadopsi oleh Indonesia memandatkan sebaliknya ‘No One Left Behind’ atau tidak ada yang tertinggal.
Upaya pencapaian SDGs atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan juga menekankan pentingnya berfokus dan melibatkan anak muda khususnya remaja perempuan ‘the girls’. Bahkan disebut jika kita ingin memutus rantai kemiskinan, mulailah dari ‘the girls’. Pernyataan tersebut mengingatkan kita bahwa perempuan rentan mengalami kekerasan dan merasakan dampak berlapis dari ketidakadilan. Maka kita bisa mencegahnya dengan berikhtiar sedini mungkin pada dan bersama anak-anak perempuan kita.
Sudah seyogianya jika asa yang kita sematkan pada anak muda berimbang dengan perhatian yang diberikan dengan mengedepankan perspektif anak muda bukan saja sebagai penerima manfaat tetapi menjadi subyek. Seberapa banyak program dan anggaran pembangunan yang diperuntukkan bagi anak muda khususnya anak muda kelompok rentan? Seberapa banyak kita melibatkan anak muda apalagi anak muda dari kelompok rentan dalam siklus pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan maupun pembelajaran?
Saat ini sudah semakin banyak gerakan berkolaborasi dengan anak muda. Merekalah para penghuni bumi ini selanjutnya dan penerus estafeta. Keterlibatan anak muda sangat penting untuk menyuarakan problem hingga kebutuhan mereka. Ada banyak pilihan sebagai anak muda, dan saatnya kita memfasilitasi anak muda menjadi agen perubahan untuk mewujudkan derajat kehidupan anak muda yang lebih baik.
“Secara global, kaum muda berada di garis depan perubahan sosial dan memimpin jalan menuju dunia yang lebih setara. Dengan bersuara, berinovasi, berkolaborasi, dan mempengaruhi pengambil keputusan untuk mengambil tindakan, para advokat muda mendorong perubahan visioner di komunitas, negara, dan di seluruh dunia. Saatnya mengikuti jejak mereka.” (womendeliver.org/youth).