Oleh: Farid Aditya*
Pembahasan kembali sejarah tasawuf selalu melibatkan tokoh ulama di dalamnya, terutama ulama laki-laki. Misalnya, Imam Ghazali, Ibnu Arabi, al-Qushayri, dan al-Misri. Sehingga kehidupan sufi perempuan jarang tersorot dalam buku-buku sejarah.
Padahal, kontribusi keilmuan dan praktik tasawuf juga banyak diberikan oleh para sufi perempuan. Kontribusi mereka kebanyakan dari karya dan aliran tasawuf yang mereka tawarkan bagi umat Islam. Selain Rabiatul Adawiyah yang dikenal sebagai sufi yang menawarkan berbagai konsep mahabbah, dalam sejarah juga terdapat nama sufi perempuan lainnya yakni Aisyah al-Ba’uniyah.
Aisyah merupakan seorang ulama sufi yang produktif menulis kitab serta membuat berbagai syair atau puisi. Ia adalah salah satu dari sekian jumlah minoritas sufi perempuan yang aktif menuliskan pemikirannya dalam sebuah tulisan. Ia lahir di Damaskus pada tahun 865 H/1460 M dengan nama lengkap ‘Aisyah bin Yusuf bin Ahmad bin Nashiruddin al-Ba’uniyah. Namanya dinisbatkan dari asal-usul keluarganya yang berasal dari desa bernama Ba’un.
Beruntungnya, ia berasal dari keluarga yang peduli terhadap pendidikan dan intelektual seorang anak. Bahkan, ayahnya yang merupakan seorang hakim juga berprinsip untuk tidak membedakan anak-anaknya.
Anak-anaknya yang laki-laki maupun perempuan dianggap sama dan mempunyai kesempatan untuk menempuh pendidikan yang layak. Sehingga sejak umurnya masih 8 tahun, Aisyah sudah berhasil menamatkan hafalan al-Quran. Hampir seluruh keluarganya berasal dari orang-orang berintelektual tinggi, seperti pamannya (Burhanuddin) yang juga merupakan seorang sufi, pemikir Islam, dan pakar dalam bidang sastra. Sehingga, mendalami bidang tasawuf menjadi tradisi yang terus diwariskan dalam keluarga Ba’uni.
Baca Juga: As Syifa Binti Abdillah: Pengawas Pasar Perempuan
Aisyah sebagai seorang ulama dengan pemikirannya yang luar biasa punya banyak karya yang diakui oleh para ulama pada zamannya. Bahkan, ia juga telah menyusun ratusan karya buku puisi atau syair. Di antara kitab-kitab tersebut adalah al-Muntakhab fii Ushul ar-Rutab fii ‘Ilm at-Tashawwuf, al-Isyarat al-Khafiyyah fii al-Manazil al-‘Aliyyah, Diwan al-Ba’uniyyah, dan lain-lainnya. Ia terkenal sebagai seorang yang ahli dalam menjelaskan tasawuf secara mendalam disertai berbagai dalil-dalil al-Quran, hadis nabi, dan beberapa sejarah atau syair para ulama.
Sayangnya, karya-karyanya tersebut sudah tidak dapat lagi dijumpai saat ini karena insiden perampokan yang dialaminya di Kairo. Tetapi, dari manuskrip yang masih ada, ia juga menuliskan konsep mahabbah. Hal ini sebagaimana dibahas dalam buku Living Love: The Mysthical Writings of Aisyah al-Ba’uniyah karya Emil Homerin.
Dalam kitab miliknya disebutkan, “Cinta adalah rahasia milik Allah yang paling agung, intisari dan kejernihan, buah dari pengkhususan, wasilah untuk mendekatkan diri, rahasia yang tak dapat direngkuh wujudnya, dan maknanya yang tak bisa disifati oleh akal. Cinta yang dimaksud ini dijelaskan sebagaimana dalam surah al-Jumu’ah ayat 4”. Sementara itu, dalam syairnya juga disinggung beberapa konsep tasawuf yang ia tempuh sebagai seorang sufi, yakni dengan jalan taubat, ikhlas, zikir, dan cinta.
Sebagai seorang perempuan dengan pencapaian tersebut, maka tak heran bila pujian terhadapnya terus mengalir. Perempuan memang sudah seharusnya memiliki kedudukan yang sama seba- gaimana haknya untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menyebarkan ilmunya kepada yang lain. [9/24]
*Kader PK IMM Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta