Oleh: Muhammad Ridha Basri*
Pada 6 November 1913, di tepian sungai Nil di perkampungan Dumyat Mesir, lahir Aisyah Abdurrahman bintu Syathi’ (w. 1998). Putri dari pasangan Syeikh Muhammad Ali Abdurrahman dan Faridah Abdussalam Muntasir ini tumbuh dalam kungkungan budaya patriarkhi dan di bawah pengaruh kolonialisme Inggris. Ayahnya merupakan tokoh agama yang cenderung konservatif dan sempat melarang anak perempuan belajar di sekolah sekuler. Ayahnya sebenarnya lebih mendambakan kelahiran anak laki-laki untuk dididik menjadi ulama.
Di usia lima tahun, bintu Syathi’ dimasukkan ke kuttab Syaikh Mursi di Shubra Bakhum. Setahun kemudian, ia telah hafal 15 juz al-Quran. Pada 1920, bintu Syathi’ menyatakan keinginan untuk sekolah formal, tetapi ditolak oleh ayahnya didasari pemahaman tekstual atas Q.S. al-Ahzab: 32-34 yang melarang perempuan keluar rumah dan berhias. Ibunda dan kakeknya, Syeikh Ibrahim Damhuji, berhasil meluluhkan sang ayah. Bintu Syathi’ pun direstui untuk sekolah dengan syarat tertentu.
“Kitab pertama yang menjadi perhatianku adalah al-Quran, itulah inspirasi terbesar yang mendorongku mencintai ilmu dan semangat belajar mengalir dalam darahku. Ayahku seorang alim, dia yang menanamkan kecintaan pada ilmu. Tapi mengapa dia juga yang menghalangi jalanku, maka kutabrak halauannya dan aku yang berhak menang,” tutur bintu Syathi’ yang menjadi perempuan ketiga Mesir yang berkuliah, setelah Aminah As-Sa’id dan Sahir Al-Qolmawi. Ia tumbuh menjadi perempuan Arab modern, rasional, berwawasan luas, berbudaya, dan berkomitmen pada nilai Islam.
Di masa sekolah menengah, kakeknya sering meminta bintu Syathi’ membelikan koran Al-Ahram dan Al-Muqattam. Di kedua koran tersebut, sang kakek kerap menulis kritik ke pemerintah tentang pengelolaan sungai Nil yang penuh limbah, sehingga mengancam kelestarian biota dan keselamatan nelayan. Kritikannya didiktekan kepada cucunya untuk diketik. Dari sini, kecintaan bintu Syathi’ pada dunia tulis-menulis tumbuh.
Baca Juga: Bolehkah Perempuan Safar Tanpa Mahram?
Semasa menjadi mahasiswi, ia menulis untuk beberapa majalah perempuan Mesir. Pada 1935, ia diminta menjadi penulis tetap di harian terbesar Mesir, Al-Ahram. Untuk menyamarkan identitasnya, ia menggunakan nama pena bintu Syathi’. Artinya, putri pesisir atau gadis tepi sungai atau pantai, yang mengacu pada desa Dumyat, tempat air sungai Nil dan Mediterania bertemu. Tahun 1942, ia menerbitkan novel Master of the Estate, yang menggambarkan gadis petani korban budaya patriarki dan feodalisme.
Pada 1939, ia meraih gelar Lc/BA dari Universitas Fuad I Kairo dengan nilai mumtaz. Dua tahun kemudian, menyelesaikan jenjang Magister dengan predikat Summa Cumlaude. Tahun 1950, meraih gelar doktor yang diujikan langsung oleh Thoha Hussein. Pada 1967, ia meraih gelar Profesor bidang Bahasa dan Sastra Arab di Universitas ‘Ain Syams. Ia juga menjadi guru besar di Universitas Qarawiyyin Maroko. Di luar itu, ia mengisi kuliah tamu dan menjadi pembicara dalam berbagai forum di Suriah, Arab Saudi, Irak, Uni Emirat Arab, Roma, Aljazair, New Delhi, Kuwait, Yerussalem, Rabat, Fez, dan Khartoum.
Bintu Syathi’ menulis lebih dari 40 buku, ratusan artikel, cerita pendek, dan esai. Bahkan, ada yang menyebut bintu Syathi’ telah menulis 60 buku. Karyanya merentang dari tema fiksi dan puisi, hingga tema sosial, sastra, dan Islam.
Sebagai pembela hak-hak perempuan, bintu Syathi menulis: The (woman) Loser, The Lost Woman, The (woman) Stranger, The Rebellious, The Dreamer, The Innocent, The Sad, How Do Our (male) Literary Figures View Wo-men?, The Image of Women in our Literature, We Are No More Evil than Men, dan Will a Women Become a Shaykh in al-Azhar?
Mufassir Perempuan Modern Pertama
Dipelopori oleh Muhammad Abduh, tafsir modern berupaya menggali spirit al-Quran sebagai kitab petunjuk yang relevan sepanjang masa di semua tempat (shalih likulli zaman wa makan). Gagasan Abduh direspons oleh Amin Al-Khuli dengan mengembangkan tafsir sastrawi, yang didasari prinsip tajdid (awwal al-tajdid qatl al-qadim fahman).
Al-Khuli memposisikan al-Quran sebagai kitab sastra Arab terbesar (al-kitab al-arabiyah al-akbar), bahasa Arab sebagai kode semantik penyampai pesan. Al-Khuli menawarkan metode kajian sastra dalam menggali makna al-Quran: metode kritik ekstrinsik (al-naqd al-khariji) dan kritik intrinsik (al-naqd al-dakhili). Kritik ekstrinsik menggali aspek luar dari munculnya sebuah karya, mencakup aspek sosial, budaya, ekonomi, politik. Kritik intrinsik mengkaji aspek kebahasaan.
Ketertarikan bintu Syathi’ pada kajian al-Quran dimulai sejak pertemuannya dengan Al-Khuli, dosen yang kelak menjadi suaminya selama 20 tahun. Pada 1960-an, Al-Khuli meninggal dunia. Dalam suasana hati yang dirundung duka, bintu Syathi’ menulis novel otobiografi berjudul, ‘Ala al-Jisr. Kata al-jisr yang berarti jembatan, menunjukkan bahwa cinta mereka bagaikan jembatan antara gadis kampung dengan seorang pemikir besar.
Novel ini antara lain menceritakan pertemuannya dengan Al-Khuli di kuliah tingkat II. Saat itu, kata bintu Syathi’, “seorang dosen gagah dan berwibawa memasuki kelas kami. Ia menyampaikan salam dan berkenalan, lalu langsung membicarakan rencana perkuliahan. Ia mengampu mata kuliah Ulumul Quran. Kami diberi kebebasan memilih tema pembahasan untuk dipresentasikan.”
Kata bintu Syathi’, “Dengan semangat, aku menjadi mahasiswa pertama yang mengacungkan tangan dan menawarkan diri menjadi pembahas pertama tentang Nuzulul Quran.” Sang dosen bertanya, “Berapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk menyiapkan materi?” Bintu Syathi’ menjawab, “Bagi saya, cukup sehari.” Sang dosen memintanya realistis tentang tenggat waktu.
“Apakah cukup saya merujuk pada kitab Al-Burhan karya Badr Al-Zarkasyi, kitab Al-Itqan dan Al-Lubab karya Jalal Al-Suyuthi, serta Sirah Al-Hasyimiyah, Thabaqat Ibnu Sa’d dan Tafsir Ibnu Jarir Al-Thabari?” Pertanyaan ini dijawab oleh Al-Khuli, “Cukup salah satu dari kitab yang kamu sebutkan itu jika kamu mampu memahaminya dengan baik.” Bintu Syathi’ berhasil membuktikan kecerdasan dan keuletannya.
Baca Juga: Merawat Khazanah Turats: Warisan Muhammad ‘Abduh yang Terlupakan
Pasangan Al-Khuli dan bintu Syathi’ mendedikasikan diri dalam pengembangan ilmu, terutama kajian ilmu-ilmu al-Quran. Bintu Syathi’ menulis tujuh karya tentang al-Quran: Al-Tafsir Al-Bayani li Al-Qur’an Al-Karim Jilid 1 dan 2; Kitabuna Al-Akbar; Maqal fi Al-Insan, Dirasah Qur’aniyah; Al-Qur’an wa Al-Tafsir Al-‘Asriy; Al-I’jaz Al-Bayani li al-Qur’an; Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, dan Dirasah Qur’aniyah.
Menurutnya, salah satu sebab kegagalan para mufasir dalam mengungkap makna al-Quran, karena masuknya berbagai materi di luar al-Quran dan melupakan keunikan aspek kebahasaan al-Quran itu sendiri. Bintu Syathi’ ingin membiarkan al-Quran berbicara mengenai dirinya dan mengungkapkan maknanya sendiri, tanpa dicampur kisah Israiliyat, cerita Injil, dan mitos.
Dalam menafsirkan al-Quran, bintu Syathi menerapkan beberapa prinsip. Pertama, sebagian ayat menafsiri sebagian ayat lain. Kedua, munasabah, mengaitkan kata/ayat dengan kata/ayat di dekatnya. Ketiga, pertimbangan dalam menentukan suatu masalah berdasarkan pada redaksi dalil yang berlaku umum, bukan berdasar sebab khusus. Keempat, tidak ada sinonimitas makna (la taradufa fi al-Quran). Satu kata dalam al-Quran hanya mempunyai satu makna dan tidak dapat dipertukarkan. Seandainya suatu kata diganti dengan kata lain, maka al-Quran kehilangan spirit, efektivitas, ketepatan, esensi, dan keindahannya.
*Mahasiswa pascasarjana UIN Sunan Kalijaga