Politik dan Hukum

Aisyiyah dan Ikhtiar Mewujudkan Pemilu 2024 Inklusif

Neni Nur Hayati-Aisyiyah-Pemilu 2024 Inklusif
  • Menjelang Pemilu 2024, Suara 'Aisyiyah menyediakan ruang #pemilukita. Ruang ini kami buka agar masyarakat dapat bersama-sama mewujudkan pemilu yang substantif dan inklusif.

Oleh: Neni Nur Hayati*

“Pemilu 2024 merupakan proses demokrasi prosedural yang bukan hanya dilaksanakan secara bebas, langsung, jujur, adi, dan rahasia, tetapi juga harus dipastikan pemilu dapat terbuka untuk semua pihak,” Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah.

***

Pemilu terbuka seperti yang diungkapkan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir tentu bukan hanya sekedar jargon. Organisasi perempuan seperti ‘Aisyiyah, telah menunjukkan kiprahnya secara nyata sejak pemilu 1955 berlangsung untuk mewujudkan pemilu yang inklusif dan berkeadaban secara massif. Dalam “Women Shaping Islam: Reading The Quran in Indonesia” yang dikemukakan oleh Pieternella van Doorn-Harder, gerakan perempuan Islam ‘Aisyiyah memiliki peran yang sangat strategis mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender. Sebab, secara kuantitas ‘Aisyiyah memiliki basis akar rumput yang sangat kuat.

Dalam meneguhkan peran politik kebangsaan, kehadiran ‘Aisyiyah tidaklah euforia belaka tetapi bergerak dengan kesungguhan dakwah dan menjadi solusi atas problematika yang terjadi. Sebagai bentuk kepeduliannya pada politik dan negara, sejak pemilu pertama kali digelar, ‘Aisyiyah menginstruksikan hingga pimpinan ranting bukan hanya mendorong tingkat partisipasi warga untuk datang ke tempat pemungutan suara (TPS), tetapi juga ikut menyediakan kebutuhan kelompok rentan semisal tempat peristirahatan, arena tempat bermain anak, obat-obatan dan makan minum dengan gratis, sehingga tercipta rasa aman dan nyaman saat perempuan memberikan suaranya di bilik suara.

‘Aisyiyah konsisten melakukan terobosan dan inovasi dari pemilu ke pemilu. Bahkan, terakhir di pemilu 2019, ‘Aisyiyah mentransformasikan gerakan perempuan untuk menjadi pemantau pemilu di hari pemungutan dan penghitungan suara guna memastikan tidak ada suara perempuan yang dicurangi, karena terdapat kader ‘Aisyiyah yang turut serta berdiaspora mengisi ruang publik dan aktif di partai politik baik itu struktural maupun non struktural.

Pada hakikatnya posisi ‘Aisyiyah dalam politik sama seperti Muhammadiyah yakni netral, tidak partisan dan tetap menjaga jarak karena ‘Aisyiyah bukan partai politik. ‘Aisyiyah sudah memiliki demarkasi yang jelas dan tegas bahwa secara institusi, ‘Aisyiyah adalah organisasi independen yang menjunjung tinggi nilai, etika, dan moralitas politik. Tetapi, di sisi lain ‘Aisyiyah sangat mendukung kadernya yang ingin berjuang dalam pertarungan yang lebih luas agar membawa visi misi dakwah perempuan berkemajuan lebih progresif dan konstruktif.

Baca Juga: Titi Anggraini: Pemilu Susbtantif Tidak Bisa Diwujudkan secara Parsial

Tidak hanya di partai politik, ‘Aisyiyah juga mendorong para kadernya yang memiliki potensi dan minat mengawal pemilu berintegritas dengan terlibat menjadi penyelenggara pemilu, seperti KPU, Bawaslu, dan DKPP. ‘Aisyiyah telah banyak melahirkan para kader di penyelenggara pemilu dan mengakhiri jabatannya dengan husnul khotimah, seperti Siti Noordjannah Djohantini, Endang Sulastri, Titi Anggraini, Chusnul Mariyah, serta masih banyak lagi kader perempuan lain bahkan hingga KPPS dan PTPS, termasuk pemantau pemilu.

Di tataran kebijakan publik, ‘Aisyiyah juga turut mengawal UU TPKS dengan memberikan masukan konstruktif yang memiliki keberpihakan kepada korban. Majelis Hukum dan HAM, termasuk di dalamnya Pos Bantuan Hukum ‘Aisyiyah. Posbakum di beberapa provinsi dan kabupaten/kota ikut bergerak melakukan pendampingan serta advokasi pada kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak. Tidak hanya memastikan tempat yang aman dan nyaman untuk perempuan, tetapi juga memberikan layanan konsultasi bagi kehidupan keluarga.

Tantangan ‘Aisyiyah di Pemilu 2024

Namun perlu disadari bahwa tantangan kompleksitas pemilu 2024 tidaklah mudah. Hal ini menuntut ‘Aisyiyah untuk terus meneguhkan peran yang lebih besar lagi di ranah keumatan, kebangsaan, kemanusiaan, dan keadilan gender. Oleh karenanya, problem yang muncul, tidak semata-mata hanya menjadi bahan diskursus publik dan wacana belaka tetapi ‘Aisyiyah mesti hadir menjadi solusi dan mengajak pihak lain turut menyelesaikannya.

Gagasan berupa Risalah Perempuan Berkemajuan yang menjadi pembahasan krusial di Muktamar 48 Surakarta tidaklah cukup. Ide progresif tersebut harus dibarengi dengan komitmen sungguh-sungguh dan terimplementasi menjadi aksi nyata serta gerakan yang massif dari pusat hingga ranting.

Materi penting yang dihasilkan pasca muktamar ‘Aisyiyah harus dapat ditafsirkan dan dipahami pada jenjang tingkat pimpinan di bawahnya, diaktualisasikan dalam bentuk program yang sesuai dengan kebutuhan daerah, agar gagasan progresif itu tidak terputus terutama dalam menghadapi dinamika pemilu serentak 2024. Sebab, berkemajuan bukan hanya sekedar buah pikir, tetapi langkah nyata ‘Aisyiyah untuk bangsa (Nashir, 2022). Kesadaran kolektif juga perlu kembali digerakkan, karena sejatinya kita tidak bisa bekerja sendirian.

‘Aisyiyah tidak bisa menutup mata bahwa peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen pada pada pemilu terakhir sejumlah 118 orang atau setara 20,52% di DPR dan 31% di DPD RI ternyata tidak berbanding lurus. Tingkat partisipasi serta keterpilihan perempuan meningkat di sektor politik, tetapi masih rentan dalam kebijakan publik.

Padahal, dua puluh lima tahun reformasi di Indonesia, sudah seharusnya kesetaraan gender mencapai aspek substansi, bukan hanya sekedar angka mengingat posisi perempuan sangat krusial dalam pembangunan politik. Berdasarkan Global Gender Gap Report yang dirilis World Economic Forum pada Maret 2021 menunjukkan bahwa posisi Indonesia ada di peringkat ke-101 dari 156 negara yang dilakukan pengukuran. Dalam bidang politik, Indonesia menempati urutan ke-92 dunia dengan skor 0,164. Potret ini menunjukkan masih terdapat problem serius dalam praktik elektoral di Indonesia.

Partisipasi perempuan dalam politik masih jauh dari angka minimal 30%. Hal ini diperparah dengan pelibatan perempuan dalam penyelenggara pemilu yang dinilai masih minim. Proses seleksi penyelenggara pemilu 2022-2027, masing-masing hanya menghasilkan satu orang keterwakilan perempuan di KPU, Bawaslu, dan DKPP. DPR nyatanya tidak memiliki komitmen kuat untuk menginternalisasikan amanat Pasal 10 ayat 7 dan Pasal 92 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di mana komposisi keanggotaan KPU dan Bawaslu memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%.

Rendahnya keterwakilan perempuan di tingkat pusat, ternyata memiliki dampak serius sampai KPU dan Bawaslu Provinsi serta kabupaten/kota. Padahal, kehadiran perempuan sebagai penyelenggara pemilu menjadi pintu pembuka menciptakan pemilu yang berkeadilan gender dan inklusif.

Rentan menjadi Objek Politik

Kasus Pengganti Antar Waktu (PAW) Riezky Aprilia di pemilu 2019 semestinya menjadi bahan evaluasi bersama termasuk ‘Aisyiyah. Perempuan kerapkali menjadi korban dalam situasi politik yang tidak menguntungkan. Ini menandakan bahwa kesadaran gender masih sangat lemah. Dugaan suap yang melibatkan penyelenggara pemilu oleh Harun Masiku untuk menempati posisi PAW Dapil Sumatera Selatan 1 dinilai mencederai demokrasi.

Hasil rekapitulasi suara sudah sangat jelas menunjukkan bahwa Riezky Aprilia yang memperoleh suara 44.402 berhak mendapatkan kursi dibandingkan dengan Harun Masiku yang hanya 5.878 suara. Namun, kemenangan suara perempuan dianggap tidak berarti sehingga posisinya harus diganti dengan lobi-lobi yang menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan. Perolehan suara tertinggi yang dimenangkan oleh perempuan mestinya menjadi suatu kebanggaan bagi partai politik ada keterwakilan perempuan yang mengisi parlemen.

Namun, alih-alih mendapatkan apresiasi kepada calon terpilih, yang terjadi justru dikhianati. Bagi mereka yang punya kepentingan dan haus akan kekuasaan menjadi hal yang biasa melakukan tindakan kotor dengan suap untuk menggeser perolehan suara. Seolah semua bisa diselesaikan dengan uang. Ketidakadilan proses nominasi, sistem pemilu, dan kampanye politik menjadi faktor rendahnya keterwakilan perempuan di parlemen (Wardhani, 2019).

Di samping itu, posisi perempuan sebagai pemilih di pemilu juga rentan menjadi objek. Hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis yang berjudul Money Politics and Regression of Democracy: Women Voters Vulnerability in Transactional Politics (Case Study of 2020 Regional Elections In Indonesia) yang dipresentasikan pada 9th World Conference on Woman’s Studies 2023 di Bangkok, Thailand menunjukkan pemilih perempuan memang rentan terkena politik uang. Selain kurangnya literasi mengenai regulasi kepemiluan dan edukasi politik, pemilih perempuan yang sudah mengetahui bahwa politik uang itu dilarang tetap menerima.

Penulis sekaligus sebagai peneliti riset ini, mengkategorisasi lima tipe pemilih. Pertama, pemilih menikmati politik uang. Kedua, pemilih yang menolak politik uang tetapi menerima politik uang. Ketiga, pemilih menolak politik uang dan menghindarinya tetapi tidak mau melaporkan. Keempat, Pemilih menolak politik uang dan mau melaporkannya. Kelima, pemilih menyaksikan politik uang tetapi mengetahui informasi dan berani melaporkan. Dari lima kategori tersebut, kategori satu dan dua mendapatkan persentase paling tinggi. Menariknya, pemilih yang menikmati politik uang serta pemilih yang menolak politik uang tetapi menerimanya didominasi oleh pemilih perempuan.

Baca Juga: Peran Keluarga dalam Pendidikan Politik

Dengan menggunakan pendekatan teori disonansi kognitif yang dicetuskan oleh Leon Festinger pada 1957, ada kondisi pemilih di mana antara perilaku dan keyakinan tidak sejalan. Di situlah terjadi moral hazard pemilih yang disebabkan tekanan dari pihak lain, bimbang dalam memilih keputusan (kalau tidak menerima uang tidak bisa makan), serta pemilih mengetahui bahwa pilkada itu tujuannya untuk melahirkan pemimpin yang jurdil tapi sampai saat ini ternyata nyaris tidak ada pemimpin yang berpihak pada rakyat.

Hal ini tentu menjadi tantangan berat ‘Aisyiyah dalam pemilu dan pemilihan serentak 2024 untuk hadir memberikan sosialisasi dan edukasi politik yang lebih massif dengan merangkul kelompok perempuan lainnya terutama di pelosok pedesaan, disabilitas, masyarakat adat serta kelompok rentan lainnya yang jarang terpapar literasi politik.

Akibat ketidaksetaraan akses komunikasi dan informasi inilah perempuan juga kerapkali terkena isu hoaks, misinformasi dan disinformasi. Penulis meyakini bahwa kehadiran ‘Aisyiyah di pemilu 2024 bukan hanya memastikan proses penyelenggaraan berlangsung berintegritas, tetapi juga meneguhkan komitmen bahwa demokrasi hadir untuk semua kalangan tanpa kecuali.

*Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Wakil Sekretaris LHKP PP Muhammadiyah Periode 2022-2027

Related posts
Lensa OrganisasiSejarah

Di Mana Aisyiyah Ketika Masa Revolusi Indonesia?

Oleh: Ghifari Yuristiadhi Masyhari Makhasi* Tahun ini, Indonesia telah memasuki usia yang ke-79. Hal ini menjadi momentum untuk merefleksikan perjuangan para pendahulu…
Berita

107 Tahun Aisyiyah, Perkuat Komitmen Menjawab Berbagai Problem Kemanusiaan Semesta

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Mengusung tema “Memperkokoh dan Memperluas Dakwah Kemanusiaan Semesta” ‘Aisyiyah  akan memperingati miladnya yang ke-107 tahun pada 19 Mei…
Berita

Tri Hastuti Dorong Warga Aisyiyah Kawal Demokrasi di Indonesia

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Menghadapi momentum Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, banyak pertanyaan dari warga ‘Aisyiyah menyangkut pilihan dan keberpihakan ‘Aisyiyah. Sekretaris Umum…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *