Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Secara historis, perjuangan untuk mencegah praktik perkawinan anak di Indonesia sudah dilakukan sejak lama. Jejak perjuangan itu bisa didapatkan ketika RA Kartini mengirimkan surat kepada pemerintah Hindia Belanda yang memprotes perkawinan yang dilakukan anak berusia 13 tahun. Menurut Kartini, perkawinan anak akan menghadirkan “sengsara”.
Demikian halnya dengan upaya meminimalisir stunting. Di Indonesia, maraknya stunting bukan karena alam Indonesia tidak memberi karunia kepada rakyat, tetapi lebih karena sistem politik. “Itu sebabnya Muhammadiyah mendirikan PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem), karena ada kelaparan besar-besaran, terutama di zaman Jepang,” demikian keterangan Lies Marcoes.
Pernyataan Lies itu disampaikan dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh PP ‘Aisyiyah, Sabtu (11/6). Dalam kesempatan tersebut, Lies Marcoes yang merupakan Konsultan GEDSI itu menyampaikan materi dengan topik “Memastikan Penggunaan GEDSI dalam Program Pencegahan Kawin Anak dan Stunting”.
Menurut Lies, lahirnya GEDSI sebagai sebuah pendekatan untuk mengatasi persoalan yang ada di masyarakat adalah karena banyaknya prasangka negatif yang ditujukan kepada orang lain. “Prasangka itu adanya di pikiran, di otak, di cara kita berpikir, di cara kita mendefinisikan orang lain. Itu disebabkan karena tidak memadainya pengetahuan, selain karena sikap politik yang melahirkan prasangka itu,” terangnya.
Baca Juga: Aisyiyah Akan Perkuat Strategi Dakwah dengan Perspektif GEDSI
Di tengan situasi tersebut, ia meminta ‘Aisyiyah untuk memupus prasangka itu dengan pengetahuan dan sikap yang berkemajuan. Prasangka itu, kata dia, harus dihapuskan melalui pembuatan kurikulum yang dilakukan seiring dengan agenda pengentasan kemiskinan, menghilangkan praktik kawin anak, dan menghilangkan prasangka terhadap kelompok rentan. Dengan begitu, harapannya subordinasi, marginalisasi, kekerasan, dan beban berlipat ganda akan dapat diminimalisir.
Selanjutnya, Lies menjelaskan alasan kenapa pendekatan GEDSI relevan digunakan. Pertama, terjadi evolusi pemikiran dalam mengenali kelompok-kelompok eksklusi yang termarjinalkan. Berangkat dari hal tersebut, menurut dia, siapapun bisa mengalami marginalisasi. Kedua, ada praktik diskriminasi berbasis GEDSI. Ketiga, ada kesadaran dan kehendak untuk mengatasi kesejangan dalam akses, partisipasi, manfaat, dan kontrol terhadap keadilan sumber daya. Keempat, ada kebijakan untuk mengatasi eksklusi dan diskriminasi.
Adapun untuk mengatasi masalah kawin anak dan stunting, ia mengusulkan tahapan program, yakni berangkat dari data, melakukan analisis persoalan, dan melakukan triangulasi perubahan. Dalam konteks ‘Aisyiyah, kata Lies, “apa yang inigin diubah? Struktur kah, kultur kah, atau regulasinya?” (sb)