Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Sekretaris Umum PP ‘Aisyiyah, Tri Hastuti mendorong seluruh kader ‘Aisyiyah untuk menggunakan perspektif GEDSI ketika memberikan pelayanan kepada kelompok yang termarginalkan. Menurut dia, perspektif GEDSI itu sudah digunakan oleh ‘Aisyiyah sejak awal kelahirannya.
Pernyataan itu ia sampaikan dalam diskusi “Mendorong Layanan Kesehatan Ramah Disabilitas” yang diadakan oleh Program Inklusi ‘Aisyiyah, Kamis, (9/2). “Ibu-ibu pasti sudah tahu tagline ‘tak seorangpun boleh ditinggalkan’. Artinya saudara kita teman-teman disabilitas juga harus mendapatkan layanan yang sama seperti kita semua, sehingga mereka juga terpenuhi hak kesehatannya,” kata dia.
Koordinator Program Inklusi ‘Aisyiyah ini berharap agar diskusi ini dapat menjadi referensi dan panduan dalam melakukan advokasi di semua level pemerintahan untuk mewujudkan layanan kesehatan yang ramah bagi disabilitas. “Sehingga betul-betul ‘No One Left Behind’ akan betul menjadi kenyataan bukan sekedar mimpi dan jargon,” tegasnya.
Diskusi ini menghadirkan Indana Laazulva, seorang Gender and Social Inclusion Specialist. Indana menyebutkan data bahwa 8.56% penduduk Indonesia merupakan penyandang disabilitas.
Lebih lanjut, menurut dia, kondisi penyandang disabilitas di Indonesia masih memiliki tingkat partisipasi yang rendah dalam berbagai sektor, seperti pendidikan, pelatihan, penempatan kerja, hingga tereksklusi dari lingkungan sosial.
“Artinya dia mengalami stigma, mengalami subordinasi, seringkali dianggap warga negara nomor dua hak-haknya, bahkan kurang terperhatikan dan terabaikan. Dan kita harus akui akses disabilitas di negara kita sangat terbatas, sehingga kebijakan pemerintah kita dorong bersama agar semua bisa mendapatkan kesempatan yang baik,” terangnya.
Indana juga menyoroti pendekatan charity based yang selama ini dilakukan kepada penyandang disabilitas. Padahal, pemberdayaan atau pelatihan peningkatan skill sejatinya sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan kemandirian.
“Paradigma kita melihat persoalan disabilitas itu menggunakan paradigma lama, bahwa mereka makhluk yang harus dikasihani, yang tidak mampu terlibat dalam pembangunan dan lemah, sehingga pendekatan yang kita lakukan selama ini adalah charity based tanpa memberdayakan, tanpa memberikan skill karena memberikan donasi justru akan menimbulkan ketergantungan,” paparnya.
Baca Juga: Inklusi Sosial dalam Perspektif Islam
Terkait kesehatan, Indana juga menyampaikan bahwa banyak persoalan yang dialami oleh disabilitas dalam mengakses layanan kesehatan. Oleh karena itu, isu ini juga harus menjadi perhatian.
Berbagai persoalan ini terjadi karena adanya hambatan, yakni hambatan fisik, hambatan informasi, dan hambatan struktural/institusional. Oleh karena itu, dalam mendesain program layanan kesehatan, Indana mengajak untuk dapat menggunakan prinsip desain universal yang berbasis perspektif GEDSI (Gender Equality Disability Social Inclusion).
Selain itu, lebih lanjut ia mengatakan, sebuah sistem kesehatan yang inklusif adalah sistem kesehatan bagi penyandang disabilitas yang harus dimulai dari menemukenali bentuk-bentuk hambatan yang dialami oleh penyandang disabilitas dalam mengakses layanan kesehatan.
Selanjutnya, Hannie Permatasari yang merupakan Kepala Puskesmas Sentolo II, Bantul menyebutkan bahwa penyedia pelayanan kesehatan hendaknya memastikan bahwa bangunan, pelayanan, informasi yang diberikan, dan bagaimana ia berkomunikasi dengan orang-orang, semuanya harus aksesibel atau dapat diakses oleh para penyandang disabilitas. Hal ini tentu karena pengguna layanan kesehatan adalah masyarakat umum.
Oleh karena itu, ia mendorong untuk setiap layanan kesehatan dapat menerapkan pelayanan yang ramah kesehatan yang bisa dilakukan dengan berbagai cara. Hannie tidak menampik kemungkinan bahwa banyak sarana kesehatan yang sudah ada belum seluruhnya memiliki akses bagi disabilitas, sehingga perlu dilakukan perombakan atau renovasi. (Suri/sb)