Sejarah

Aisyiyah sebagai Panggung Good Governance

logo aisyiyah

Oleh: Mu’arif*

Ketika Kiai Ahmad Dahlan dan kawan-kawan mendirikan Muhammadiyah (18 November 1912), yang pertama kali dilakukan bukanlah menawarkan paham keagamaan baru, tidak pula menawarkan ideologi pergerakan baru.

Penyusunan statuten (anggaran dasar) yang ditulis oleh R. Soesrosoegondo, pengajuan rechtpersoon (badan hukum) yang dibantu oleh jajaran pengurus Boedi Oetomo kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, pembentukan struktur Hoofdbestuur Moehammadijah pertama (9 orang), mengagendakan rapat rutin pimpinan, menyusun rencana program, pembagian tugas organisasi, hingga evaluasi tahunan (jaarvergadering/rapat tahunan), kesemuanya itu menjadi serangkaian indikator yang menggiring imajinasi kita untuk menjatuhkan penilaian bahwa gerakan Muhammadiyah sejak awal berdiri, selain ideologis juga lebih banyak mengurus administratif.

Template organisasi yang dirancang oleh para pendiri Muhammadiyah ini sangat luas dan sekaligus kokoh. Terbukti dalam perkembangan selanjutnya, bangunan organisasi Muhammadiyah dapat mengakomodir ruang gerak khusus ketika organisasi sayap perempuan Muhammadiyah berdiri, yaitu ‘Aisyiyah (19 Mei 1917).

Identitas Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah juga termanifestasikan dalam aktivisme pendirian amal usaha yang memiliki visi pelayanan umat (publik). Dari sudut inilah, organisasi Muhammadiyah maupun ‘Aisyiyah dapat dianalisis dalam perspektif good governance.

Riwayat Tata Kelola Organisasi

Sekitar lima tahun pasca berdiri Muhammadiyah, organisasi sayap perempuan Muhammadiyah berdiri. Organisasi ini digagas ketika kultur organisasi induknya sedang terbentuk. Mekanisme penyampaian gagasan pun diatur dalam sebuah forum permusyawaratan tertinggi tahunan (jaarvergadering) Muhammadiyah pada 1917.

Para penggagasnya adalah kader-kader perempuan Kiai Ahmad Dahlan. Sebut saja mereka: Siti Bariyah, Siti Wadingah, Siti Dawimah, Siti Zaenab, Siti Aisyah, Siti Dauchah, Siti Dalalah, Siti Busyro, Siti Hayinah, Siti Badilah, Siti Munjiyah, dan Siti Umniyah. Mereka inilah para intelektual perempuan terdidik pertama di Kauman.

Organisasinya bernama ‘Aisyiyah, bukan Fatimiyah ataupun Khadijah. Sekalipun inisiator dan penggerak terbentuknya organisasi ini dari kalangan perempuan, tetapi ada keterlibatan ide dari kaum laki-laki dalam jajaran Hoofdbestuur Muhammadiyah pada waktu itu. Seperti usul penamaan organisasi berasal dari gagasan Haji Fachrodin yang terinspirasi oleh jiwa intelektualisme Siti Aisyah, istri Rasulullah saw. Mengingat dalam aturan organisasi Muhammadiyah pada waktu itu belum dikenal istilah organisasi otonom (ortom), maka kehadiran organisasi ‘Aisyiyah disebut Muhammadiyah-Isteri (kemudian disebut Muhammadiyah Bahagian ‘Aisyiyah sebelum menjadi Madjelis ‘Aisyiyah).

Baca Juga: Hamim Ilyas: Corak Pemikiran Muhammadiyah Itu Progresif

Hal yang menarik dan patut kita renungkan bersama adalah fakta terbentuknya struktur pertama Hoofdbestuur Muhammadiyah-Isteri. Terpilih sebagai ketua pertama Hoofdbestuur ‘Aisyiyah adalah Siti Bariyah, bukan Siti Walidah (istri Kiai Ahmad Dahlan) ataupun Siti Busyro dan Siti Aisyah (keduanya putri Kiai Ahmad Dahlan). Fakta historis ini menunjukkan suatu pilihan rasional dalam proses pemilihan kepemimpinan di ‘Aisyiyah, bukan pilihan atas dasar kharisma tokoh ataupun silsilah keturunan.

‘Aisyiyah yang mengikuti budaya organisasi induknya, yakni Muhammadiyah, memiliki mekanisme kontrol yang kuat, baik dari internal Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah sendiri maupun dari kalangan eksternal (masyarakat umum). Rapat Tahunan (Jaarvergadering) Muhammadiyah yang menjadi instrumen untuk mengevaluasi dan mengontrol jalannya program-program pelayanan umat melibatkan pihak lain di luar Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah, sehingga sering dikenal dengan Openbare Vergadering (Rapat Umum Terbuka).

Terdapat satu tradisi menarik dan sangat positif bagi penyehatan organisasi, yaitu sejak masa kepemimpinan Kiai Ibrahim telah dibentuk sebuah komisi ad hoc yang menangani pemeriksaan alur keluar masuk keuangan organisasi, baik di jajaran Hoofdbestuur maupun di departemen (bahagian) Muhammadiyah. Komisi tersebut bernama Verificatiecommissie (Komisi Verifikasi).

Sekalipun dibentuk oleh Hoofdbestuur Muhammadiyah, keberadaan komisi ini menarik karena diisi oleh personel-personel yang sebagian besar berasal dari kalangan profesional di luar Muhammadiyah. Hasil penyelidikan Komisi Verifikasi inilah yang nantinya menjadi rekomendasi bagi Hoofdbestuur untuk melakukan tindakan-tindakan strategis terkait jabatan-jabatan strategis di Muhammadiyah, baik di level pimpinan, departemen, maupun amal usaha.

Lantaran Muhammadiyah, demikian juga ‘Aisyiyah, menggalang, menampung, dan mendistribusikan dana dari umat, maka sudah menjadi kewajiban organisasi untuk melakukan mekanisme pelaporan yang transparan agar umat/masyarakat dapat mengetahuinya secara langsung. Selain keberadaan Komisi Verifikasi, Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah memiliki tradisi membuat daftar laporan penghimpunan dana dari umat yang biasanya dimuat di media official, seperti Suara Muhammadiyah dan Suara ‘Aisyiyah.

Dengan demikian, kepercayaan umat Islam dan masyarakat umum semakin menguat ketika mereka hendak menyisihkan sebagian harta untuk diinfakkan lewat organisasi ini. Bahkan dari kalangan non-muslim pun pernah tercatat memberikan sumbangan kepada Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah yang akan menggelar kongres.

Praktik Good Governance

Sebagai organisasi massa, Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah layaknya panggung sejarah. Keduanya mewadahi beraneka macam pandangan keagamaan dan kepentingan politik, juga sekaligus merangkul semua kalangan dengan bermacam-macam latar belakang etnis, kelompok, budaya, dan sebagainya.

Panggung Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah yang begitu kokoh dan luas mampu menampung bermacam-macam pandangan keagamaan dan kepentingan politik dari para pimpinan dan anggotanya yang sejalan dengan ideologi organisasi. Di luar Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah—pemerintah, masyarakat umum—layaknya penonton, bahkan pengontrol, yang turut menyaksikan dan mengawasi ragam atraksi (aktivisme) gerakan Muhammadiyah dalam berbagai bidang selama ini.

Muhammadiyah telah mampu beradaptasi dengan tuntutan zaman seabad silam, ketika alam kemodernan menuntut praktik kehidupan serba terencana, terukur, melibatkan banyak orang, dan rasional. Memasuki alam neo-modernis, nafas zaman kembali berubah dengan tuntutan yang lebih kompleks lewat paradigma good governance.

Tata kelola organisasi pelayanan publik dituntut supaya mampu melibatkan semua kalangan, manajemen yang transparan, bertanggung jawab, dan adil. Tetapi dengan menoleh ke belakang, mencermati secuil narasi sejarah pembentukan Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah sebagai organisasi berbasis amal usaha yang memiliki visi pelayanan umat, paling tidak kita dapat mengukur seberapa jauh kedua organisasi ini dapat beradaptasi dengan tuntutan zaman.

Akuntabilitas yang dibangun di ‘Aisyiyah dan juga di Muhammadiyah berawal dari peningkatan kualitas individu yang kredibel dan profesional. Bahwa sosok pemimpin Muhammadiyah maupun ‘Aisyiyah tidak dibangun di atas kultur feodal adalah suatu fakta historis. Kader-kader yang kredibel dan profesional yang akan menduduki jabatan struktural untuk kemudian menyusun program-program strategis pelayanan umat ke depan. Dengan melibatkan banyak sumberdaya manusia berkualitas unggul, mereka menyusun program-program secara rasional, cermat, disertai target-target pencapaian yang terukur.

Baca Juga: Tanfidz Keputusan Muktamar Ke-48 Aisyiyah

Mekanisme organisasi yang sudah terbentuk dari organisasi induknya, yakni Muhammadiyah, dapat mengontrol jalannya program lewat rapat-rapat koordinasi yang puncaknya adalah Rapat Umum Terbuka yang secara tidak langsung dapat diakses oleh publik. Bahkan masyarakat umum yang bukan anggota Muhammadiyah sekalipun dapat memberikan kritik dan saran yang konstruktif untuk organisasi ini.

Kehadiran Komisi Verifikasi menjelang pelaksanaan kongres memang menjadi suatu nilai positif tersendiri yang dapat meningkatkan kepercayaan publik kepada Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah. Proses pengauditan keuangan di level Hoofdbestuur (Pimpinan Pusat), departemen (Majelis), lembaga-lembaga, dan unit-unit amal usaha Muhammadiyah-‘Aisyiyah memang menjadi syarat mutlak demi terwujudnya good governance yang akuntabel, transparan, dan terbuka.

Mengingat bahwa Muhammadiyah-‘Aisyiyah menggalang, menghimpun, dan menyalurkan dana dari umat/masyarakat umum, maka proses pelaporannya harus lebih transparan dan terbuka. Sedangkan kebiasaan unik namun positif bagi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah ketika mempublikasikan donasi dari masyarakat lewat media massa menjadi catatan tersendiri karena pada masanya tidak banyak organisasi massa yang melakukannya.

Prinsip dalam good governance, selain akuntabilitas, transparansi, dan keterbukaan, terjaminannya kepastian hukum lewat aturan-aturan organisasi dan rasa keadilan bagi para anggotanya dalam kebijakan yang ditempuh wajib dilaksanakan. Ibarat panggung sejarah, ‘Aisyiyah dan Muhammadiyah itu dihuni oleh banyak orang yang masing-masing berperan sesuai dengan posisinya.

Distribusi kewenangan, hak-hak, dan kewajiban bagi para pimpinan dan anggota-anggotanya harus terjamin lewat aturan-aturan resmi yang mengikat semua pihak. Seluruh aturan yang mengikat tersebut dibangun di atas prinsip keadilan, sehingga dalam menjalankan roda organisasi tidak ada pihak yang sewenang-wenang dengan otoritas kekuasaan yang dimilikinya yang menyebabkan pihak lain merasa terdzalimi.

Mengingat ‘Aisyiyah dan Muhammadiyah yang sudah semakin besar—baik struktur organisasinya maupun jumlah amal usahanya—maka sangat mungkin terjadi gesekan-gesekan kepentingan di antara para pimpinan dan anggotanya. Indikasi gesekan kepentingan yang paling kuat di antara para pimpinan pengelola amal usaha, baik di ‘Aisyiyah maupun Muhammadiyah. Tidak jarang muncul konflik yang dalam proses penyelesaiannya dinilai kurang memberikan rasa keadilan bagi satu pihak.

*) Pengkaji sejarah Muhammadiyah-‘Aisyiyah

Related posts
Lensa OrganisasiSejarah

Di Mana Aisyiyah Ketika Masa Revolusi Indonesia?

Oleh: Ghifari Yuristiadhi Masyhari Makhasi* Tahun ini, Indonesia telah memasuki usia yang ke-79. Hal ini menjadi momentum untuk merefleksikan perjuangan para pendahulu…
Berita

107 Tahun Aisyiyah, Perkuat Komitmen Menjawab Berbagai Problem Kemanusiaan Semesta

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Mengusung tema “Memperkokoh dan Memperluas Dakwah Kemanusiaan Semesta” ‘Aisyiyah  akan memperingati miladnya yang ke-107 tahun pada 19 Mei…
Berita

Tri Hastuti Dorong Warga Aisyiyah Kawal Demokrasi di Indonesia

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Menghadapi momentum Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, banyak pertanyaan dari warga ‘Aisyiyah menyangkut pilihan dan keberpihakan ‘Aisyiyah. Sekretaris Umum…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *