Kalam

Aktualisasi Nahi Mungkar sebagai Wujud Islam Berkemajuan

Oleh: Qaem Aulassyahied*

Terdapat hadis yang ditakhrij oleh Imam al-Bukhari, di mana Rasulullah saw. bersabda:

Artinya, “Perumpamaan orang yang menegakkan hukum Allah dan yang diam (tidak melaksanakan)-nya, seperti sekelompok orang berlayar di atas satu kapal yang sama. Sebagian ada di atas kapal, dan sebagian lain ada di bagian bawah. Jika orang di bawah mau mengambil air, mereka harus melewati orang yang berada di atas. (Karena itu) mereka berkata “baiknya, kita lubangi saja kapal ini untuk mengambil air, agar tidak lagi kita ganggu orang yang berada di atas.” Bila orang yang berada di atas membiarkan apa yang direncanakan oleh orang yang di bawah tadi, maka kebinasaan (sebagai akibat dari perbuatan melubangi kapal) tidak hanya tertimpa pada orang yang berada di bawah, tetapi juga yang tinggal di atas kapal. Tetapi, bila mereka mengambil tindakan untuk mencegah rencana itu, maka mereka semua akan selamat”.

Melalui hadis ini, Nabi saw. menggambarkan kepada kita keadaan masyarakat yang niscaya dan akan selalu ada dalam peradaban manusia, yaitu keadaan di mana akan ada potensi keburukan yang dampaknya tidak hanya dirasakan oleh si pelaku perbuatan itu, tetapi juga orang sekitarnya. Hal ini sejalan dengan ultimatum Allah dalam Q.s. Al-Anfal: 25, “dan takutlah kalian kepada fitnah yang tidak hanya menimpa kepada yang berbuat zhalim di antara kalian saja…”

Untuk menanggulangi hal tersebut, di hadis itu juga, Nabi Muhammad telah memberitahukan solusinya, yaitu melakukan tindakan pencegahan dan pelarangan agar keburukan itu tidak terjadi. Hadis ini kemudian menjadi salah satu dasar dari prinsip masyarakat, yaitu prinsip mencegah dari kemungkaran (an-nahyu ‘an al-munkar).

Merujuk pada ayat di atas, prinsip mencegah dari kemungkaran –di samping menyeru kepada kebaikan (al-amr bi al-ma’ruf)– ini merupakan sendi bermasyarakat yang Islam letakkan sebagai pondasi dari umat beragama. Al-Quran mengabarkan kepada kita bahwa sendi ini hakikatnya telah disyariatkan oleh Allah untuk umat-umat terdahulu, sebelum umat Nabi Muhammad saw. Bahkan, dinyatakan di dalam Q.s. Al-Maidah ayat 78-79 bahwa Allah melaknat umat terdahulu, disebabkan karena mereka meninggalkan prinsip ini.

Umat Terbaik

Sebagai umat dari Nabi terakhir dan penerima Risalah Islam yang sempurna, Allah memuliakan kita dengan beberapa kekhususan, di antaranya adalah Allah menyebut kita sebagai khairu ummah, umat yang terbaik. Allah berfirman dalam Q.s. Ali Imran: 110,

كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ

Artinya, “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (selama) kamu menyuruh (berbuat) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah…”

Kita tentu patut bersyukur karena diizinkan Allah untuk hidup dan menjadi bagian dari umat Nabi Muhammad saw. yang meraih gelar terbaik itu, tapi merupakan kesalahan jika kita meyakini bahwa pasti kita termasuk yang mendapat predikat terbaik itu untuk selamanya. Sebab ayat di atas dengan jelas pula mengisyaratkan bahwa predikat terbaik itu tidak berlaku selamanya (mudāwamah), melainkan bisa hilang.

Baca Juga: Umat Islam Indonesia di Kancah Internasional

Mujahid mengatakan bahwa kalimat khaira ummah (umat terbaik) diikuti dengan syarat ta’murūna bi al-ma’rūf wa tanhauna an al-munkar wa tu’minūna billāh (menyeru kepada kebaikan, mencegah dari kemungkaran, beriman kepada Allah). Mujahid melanjutkan, pujian kepada umat Muhammad saw. hanya akan senantiasa berlaku selama mereka mempertahankan tiga sifat itu. Jika salah satu saja dari sifat itu hilang, maka predikat “terbaik” akan berganti dengan predikat “tercela”, dan itulah awal dari kehancuran, seperti yang terjadi kepada umat-umat terdahulu.

Kekhususan ini pun tampak pada ciri mukmin. Allah menyatakan bahwa salah satu ciri orang beriman adalah senantiasa ber-amar makruf nahi mungkar. Sebaliknya, Allah mencirikan orang munafik sebagai orang-orang yang menyeru kepada kemungkaran dan mencegah dari yang makruf (ya`murūna bi al-munkar wa yanhauna ‘an al-ma’ruf). Sederhananya, amar makruf nahi mungkar adalah sifat dasar yang membedakan orang beriman dengan orang yang munafik, yang membedakan masyarakat beriman dengan masyarakat munafik, dan membedakan peradaban imani dengan peradaban yang sarat dengan kemunafikan.

Konsep Nahi Mungkar

Dimensi nahi mungkar tidaklah tunggal, tetapi memiliki banyak bentuk dan wujud. Ragam bentuk dan wujud nahi mungkar ini setidaknya tercermin dari makna dan konsep nahi mungkar dalam pandangan Islam. Mungkar secara mudahnya dapat diartikan sebagai segala yang dianggap buruk atau salah oleh jiwa manusia dan pandangan syariat. Kata al-munkar (منكر) dalam bahasa arab terderivasi menjadi beberapa suku kata, di antaranya al-inkar yang berarti pengingkaran dan al-tanākir yaitu menjadi bodoh atau berpura-pura bodoh/tidak tahu.

Sementara secara istilah, ibn al-Manzhur menyatakan, sesuatu tergolong mungkar apabila ada larangan –baik yang bersifat haram maupun makruh– atas sesuatu itu. Dengan kata lain, apabila syariat melarang atau memakruhkan sesuatu, berarti sesuatu itu adalah mungkar. Al-Syahawi dalam al-Ḥisbah fī al-Islām menyebutkan, luasnya cakupan mungkar di sini menunjukkan bahwa kemungkaran tidak hanya terbatas pada perbuatan saja, tetapi perkataan ataupun niat buruk.

Berpijak pada penjelasan sebelumnya, maka amar makruf nahi mungkar yaitu segala tindakan yang bertujuan untuk mengajak dan menyeru pada realisasi segala yang dikenali sebagai kebaikan dan mencegah dan merintangi segala hal yang diketahui sebagai keburukan. Dalam hal ini, kebaikan dan keburukan memang bersifat sangat universal, tapi setidaknya orang beriman punya dua patokan pokok untuk menentukan kebaikan dan keburukan itu, yaitu syariat dan akal-jiwa manusia yang sehat dan suci.

Jika ukurannya syariat, maka setiap orang beriman wajib meletakkan al-Quran dan Sunnah Nabi sebagai kompas yang menunjukkan kebaikan dan keburukan yang hakiki. Apa yang disebut al-Quran dan Sunnah sebagai kebaikan maka itulah makruf, dan apa yang disebut buruk maka itulah mungkar.

Oleh karena itu, dalam perspektif Maqāṣid al-Syarī`ah, kebaikan yang diakui dalam Islam harus memuat nilai-nilai primordial, di antaranya: 1) nilai Ketuhanan, yaitu kesadaran bahwa kebaikan itu bersumber dari Allah, Zat yang menciptakan dan menentukan kebaikan; 2) nilai keagamaan, bahwa ajaran agama adalah ajaran yang berusaha mewujudkan kebaikan hakiki; 3) nilai kemanusiaan, bahwa kebaikan itu tidak mungkin bertentangan dengan fitrah manusiawi; 4) nilai kemaslahatan, bahwa kebaikan pasti membawa kemaslahatan dan kebermanfaatan kepada manusia dan alam secara universal.

Aktualisasi

Barangkali di antara kita ada yang bertanya, apakah nahi mungkar diwajibkan kepada semua orang beriman? Jika iya, bagaimana melakukan nahi mungkar yang benar? Mengenai pertanyaan pertama, para ulama memang terbagi menjadi dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa nahi mungkar itu adalah fardhu kifayah, sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa nahi mungkar itu adalah fardhu ‘ain.

Jika kita mencermati diskusi para ulama mengenai hal ini, dapatlah kita ketahui pada hakikatnya kedua ulama ini sepakat bahwa amar makruf nahi mungkar adalah kewajiban yang dibebankan oleh syariat kepada setiap orang beriman. Hal ini berdasarkan banyak ayat al-Quran dan hadis Nabi saw. yang mengisyaratkan hal tersebut. Di antaranya hadis Nabi saw. yang ditakhrij oleh imam Muslim, berbunyi:

من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان

Artinya, “Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman”.

Ibn Taimiyah berpendapat, di dalam hadis ini ada isyarat yang jelas tentang kewajiban nahi mungkar kepada setiap orang beriman, yang mana upaya mencegah kemungkaran itu paling tidak dilakukan melalui penolakan hatinya atas kemunkaran tersebut. Ia mengatakan, “hati setiap muslim diwajiban untuk menolak setiap kemunkaran. Sebab penolakan itu tidak mendatangkan kemudharatan apapun. siapa saja dari orang beriman yang bahkan hatinya tidak mampu menolak kemunkaran, maka tidaklah ia disebut mukmin (fa amma al-qalb fa yajibu bikulli ḥāl iż lā ḍarar fi fi’lihi wa man lam yaf’al falaisa huwa bi mu`min).

Di samping itu, hadis di atas juga menanggapi pertanyaan kedua, bahwa perbedaan para ulama sejatinya pada cara bernahi mungkar. Terdapat isyarat yang jelas menunjukkan bahwa metode nahi mungkar itu bermacam-macam, dan tidak semua orang beriman harus menggunakan satu metode saja. Metode atau cara ber-nahi mungkar harus disesuaikan dengan keadaan-keadaan agar nahi mungkar ini tepat sasaran. Keadaan-keadaan itu, diilhami oleh hadis tadi, setidaknya dapat dibagi menjadi dua: pertama, kemampuan (al-qudrah), dan; kedua, kesanggupan (al-istīṭā’ah).

Seseorang yang punya kompetensi sebagai seorang ulama maka hendaknya ia beramar makruf nahi mungkar sesuai kompetensi keilmuannya. Tanggung jawab keilmuannya mewajibkannya mengupayakan nahi mungkar pada sektor-sektor yang tidak terjangkau oleh yang bukan ulama, misalnya pada urusan-urusan keagamaan yang masuk pada kategori syubhat (tidak jelas halal dan haramnya karena ketidaktahuan) yang bagi orang awam pada umumnya berada pada keadaan tidak tahu (jahālah).

Seseorang yang punya kompetensi sebagai seorang pemimpin, juga hendaknya mencegah kemungkaran sesuai kemampuannya. Nahi mungkar bagi pemimpin bisa berwujud aturan-aturan, undang-undang, atau bahkan tindakan hukum yang dilegalkan oleh pemerintahan. Kemampuan dan kesanggupan juga menghasilkan cara ber-nahi mungkar yang bermacam-macam, tidak selalu harus dengan kekerasan, penggusuran, pelarangan, tetapi bisa dengan cara-cara yang lebih efektif.

Baca Juga: Berakhlak Mulia di Dunia Digital

Dalam hal ini, Ibn Taimiyah merumuskan patokan-patokan (ḍawābiṭ) yang bisa kita indahkan agar nahi mungkar efektif dan tepat sasaran. Tiga di antaranya adalah sebagai berikut: pertama, nahi mungkar hendaknya dilakukan secara optimal dan sesuai porsi, tidak boleh berlebihan atau juga jauh dari kemampuan (an lā yakuna inkār al-munkar bi ifrāṭ aw tafrīth). Seseorang yang bernahi mungkar secara berlebihan bisa jadi memunculkan kemungkaran yang lain.

Kedua, upaya pencegahan kemungkaran tidak boleh berdampak pada kerusakan yang lebih besar (an lā yu`addī inkār al-munkar ilā irtikāb a’ẓam al-ḍararain). Hal ini sesuai interaksi yang dicontohkan oleh Nabi ketika menghadapi orang munafik di Madinah, yakni tidak menyikapi mereka dengan kekerasan atau pengusiran, karena dampaknya justru akan menghasilkan kerusakan dan kerugian yang lebih besar.

Ketiga, mencegah kemungkaran tidak boleh dengan cara yang juga mungkar (an lā yakūna inkār al-munkar bi ṭarīqah munkarah). Mengatasi keburukan tidak boleh dengan cara yang buruk juga. Patokan ini memberitahukan kepada kita bahwa tindakan “Robin Hood” dalam Islam tidaklah dibenarkan. Meski harta itu dibagikan kepada orang yang membutuhkan, tetap caranya adalah dengan mencuri, dan itu adalah bentuk kemungkaran tersendiri.

Gaya Nahi Mungkar ala Muhammadiyah

Apa yang sudah dijelaskan sebelumnya kembali menegaskan kepada kita bahwa tidak selamanya nahi mungkar berbentuk tindakan negasi berupa penolakan, pengingkaran, hingga kekerasan. Bahkan Muhammad al-Ghazali pada salah satu tulisannya yang termuat dalam Mi`ah as-Su`āl mengatakan bahwa amar makruf adalah bentuk lain dari nahi mungkar, dan nahi mungkar bentuk lain dari amar makruf. Apa yang ia sampaikan ini tentu sangat rasional, sebab seseorang yang melakukan amar makruf secara otomatis ia sedang mencegah kemungkaran yang merupakan lawan dari kemakrufan. Misalnya, seorang guru yang sedang mengajar di waktu yang bersamaan dia juga sedang mencegah terjadinya kebodohan.

Konsep nahi mungkar seperti ini sejatinya bisa kita lihat dari wajah dakwah Islam Berkemajuan Muhammadiyah yang sudah diaktualisasikan sejak gerakan ini diinisiasi oleh pendirinya, Kiai Ahmad Dahlan. Kita tahu bersama, salah satu ayat yang menggerakkan hati beliau adalah ayat yang mengandung perintah amar makruf nahi mungkar (Q.s. Ali Imran: 104). Kiai Dahlan sadar tentang adanya gerakan pembodohan dan pemiskinan yang dilakukan secara terstruktur oleh para penjajah.

Meskipun demikian, Kiai Dahlan tidak memilih gerakan perwalanan secara fisik sebagai bentuk nahi mungkar, melainkan memilih jalur amar makruf berupa mengayomi dan mendidik anak yatim, mencerdaskan bangsa, mengangkat perekonomian, dan membentuk organisasi sebagai wadah perjuangan. Metode nahi mungkar ini memang membutuhkan perjuangan dan kesabaran, tetapi berbuah hasil yang efektif dan berdampak positif hingga dapat kita rasakan sekarang.

Gaya nahi mungkar seperti itulah yang kita warisi sebagai warga Muhammadiyah dan dikemas dalam slogan Islam berkemajuan. Konsep ini menampakkan kepada kita wajah nahi mungkar yang lebih soft dan mampu menerobos jantung-jantung masyarakat secara kultural. Bahkan bisa dikatakan, tidak hanya menghilangkan kemungkaran yang tampak di permukaan, tetapi juga memberantas akar kemungkaran itu, sehingga pohon kemungkaran tidak tumbuh menjadi pohon raksasa yang menakutkan, tetapi berubah menjadi taman bunga yang semerbak harumnya dapat dicium oleh orang banyak.

Gerakan Islam berkemajuan setidaknya punya tiga modal penting untuk beramar makruf sekaligus nahi mungkar, yaitu: modal kebersamaan (al-quwwah jam’iyyah), modal pengetahuan (al-quwwah al-ilmiyyah), dan modal progresivitas yang dapat menyahuti berbagai persoalan kekinian (al-quwwah at-tajdidiyyah).

Kekuatan dari tiga modal nahi mungkar ini tercemin jelas dari berbagai Amal Usaha Muhammadiyah, di mana Muhammadiyah mendirikan panti asuhan, rumah sakit, lembaga zakat dalam rangka memberantas dan mencegah kemorosotan umat di sektor ekonomi dan pemenuhan hajat hidup yang menjadi akar berbagai kemungkaran seperti ketimpangan sosial, kezaliman, dan kemungkaran lainnya. Berbagai AUM itu didirikan dalam rangka memberantas dan mencegah kebodohan yang menjadi akar dari berbagai kemungkaran, dan sekaligus memberantas dan mencegah kejumudan yang mengakibatkan berbagai kemungkaran seperti keterbelakangan dan terhalangnya Islam menjadi agama yang rahmatan lil-‘alamin.

*Dosen FAI UAD dan PUTM

Related posts
Berita

Syafiq Mughni Terangkan Lima Karakter Islam Berkemajuan

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Islam merupakan agama yang mendorong kemajuan manusia. Dalam pandangan Muhammadiyah, ada 5 (lima) karakteristik (al-khashaish al-khams) yang terkandung…
Berita

Islam Berkemajuan dalam Pandangan Ustaz Adi Hidayat dan Kiai Saad Ibrahim

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Wakil Ketua I Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, Ustaz Adi Hidayat menjadi salah satu pembicara dalam forum Pengajian Ramadan…
Berita

Muarif Jabarkan Tiga Tafsiran Islam Berkemajuan Periode Awal

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Istilah Islam Berkemajuan kini melekat pada diri Muhammadiyah. Istilah itu sebenarnya sudah populer pada periode awal organisasi yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *