Oleh: David Krisna Alka
Ya, Sumpur Kudus namanya. Sebuah nama kecamatan sekaligus nama nagari (desa) di Sumatera Barat. Ada dua nagari yang memakai nama Sumpur Kudus, yakni Nagari Sumpur Kudus dan Nagari Sumpur Kudus Selatan (sebelumnya bernama Jorong Calau yang dimekarkan menjadi nagari pada 1 Desember 2010).
Makna atau asal-usul penamaan Sumpur Kudus masih diselimuti kegalauan. Hal yang sama juga berlaku bagi ribuan nama kota, kecamatan, nagari, jorong, dan lain sebagainya yang sukar diketahui asal muasalnya. Konon, nama Sumpur Kudus berarti “sampurna suci”. Nama ini diberikan oleh Syekh Ibrahim, sosok yang paling berjasa dalam menyebarkan Islam di Sumpur Kudus.
Dalam pembabakan sejarah, Sumpur Kudus pernah akrab dengan dunia dagang. Proses pengislaman atau Islamisasi di Minangkabau yang terjadi sekitar pertengahan abad ke-16 juga tak bisa dilepaskan dari interaksi dengan para saudagar Muslim.
Sumpur Kudus, termasuk kawasan awal yang mengalami proses pengislaman di samping Lintau Buo dan Pagaruyung. Di antara tiga kawasan tersebut, terdapat Batang Sinamar yang menjadi jalur vital bagi para saudagar emas, kopi, dan lada untuk mengangkut barang dagangannya menuju Indragiri yang mana pedagang-pedagang Muslim menjadi penguasanya.
Ihwal Makkah Darat
Kedatangan Islam di Sumpur Kudus menyimpan banyak makna dan nilai-nilai penting. Kawasan yang semula dikuasai kultur hitam jahiliah disulap menjadi hunian putih oleh sinar Islam. Tak hanya itu, Sumpur Kudus juga menjadi pusat pergerakan Islam di pedalaman Minangkabau sehingga dijuluki sebagai “Makkah Darat” (Makkah Darek dalam Bahasa Minang).
Julukan Makkah Darat yang disematkan kepada Sumpur Kudus bukan tanpa alasan. Juga bukan sebuah frasa yang hanya dibaca sambil lalu. Penamaan itu melambangkan keberhasilan Islam dalam menundukkan batin masyarakat Sumpur Kudus dan sekitarnya yang bertujuan untuk mencerahkan hati dan mencerdaskan otak manusia agar terbebas dari perilaku tercela (Maarif, 2013). Proses ini tentu saja harus terus-menerus dilakukan. Sebab, tanpa pembaruan, agama akan kehilangan fungsinya.
Baca Juga: Buya Syafii, Pekerjaan Rumah Tangga dan Istri Tercinta
Seandainya dulu Islam tidak bertapak kuat di Sumpur Kudus, mungkin saja kawasan ini hanya tinggal nama. Atau di era modern, sekiranya PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) pada 1949 tidak menjadikannya sebagai pusat pemerintahan Indonesia, siapa yang mau berurusan dengan desa terpencil lagi miskin ini. Pun sekiranya PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) tidak menjadikan Sumpur Kudus sebagai salah satu tempat persembunyian di akhir 1950-an atau awal 1960-an, Makkah Darat ini akan semakin tertimbun oleh debu sejarah.
Kegamangan akan hilangnya nama Sumpur Kudus, bahkan Sijunjung dari peta bumi Indonesia tampaknya mulai surut. Pasalnya, sosok monumental “abad ini” lahir sekaligus acap meng-endorse Makkah Darat yang bersejarah itu sehingga mendapat perhatian dari pemerintah.
Ringkih
Sosok monumental itu adalah Ahmad Syafii Maarif, Muadzin Bangsa dari Makkah Darat. Alkisah, suatu pagi, kira-kira beberapa bulan menjelang webinar perayaan 85 Tahun Buya Ahmad Syafii Maarif di channel Youtube JIB Post, Buya menelepon penulis. Obrolan kami cukup singkat. Hal yang masih ingat, Buya memberitahu bahwa “si anu sekarang sudah di situ” kira-kira begitu. Lalu Buya menanyakan kabar. Singkatnya, setelah ditelepon Buya, penulis termenung. Kata orang dulu atau nasihat orang-orang kita, jika termenung di pagi hari akan bikin jauh rezeki. Entahlah.
Kemudian, beberapa bulan setelah itu, pernah Buya mengirim beberapa pesan WhatsApp (WA) ucapan selamat kepada penulis. Buya mendapat kabar bahwa penulis sudah di sini atau di situ. Saat mengirim pesan itu, dugaan penulis Buya lega dan bahagia. Waktu membaca pesan ucapan selamat dari Buya itu, penulis tersenyum dan bikin geli hati saja.
Suatu malam, kembali penulis membaca lagi pesan ucapan selamat Buya itu. Sedih. Buya sudah dalam pelukan Allah. Mengenai isi pesan Buya itu, cukuplah menjadi kenangan dan catatan di atas awan saja. Biarlah Tuhan yang Maha Tahu. Ya, kepergian Buya bikin suasana hati ringkih. Kata ringkih ini pernah disematkan Buya dalam artikelnya, ‘Dunia Islam yang Ringkih.’
Mengutip Buya dalam tulisannya itu, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan JS Badudu dan Sutan Mohammad Zain (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), saya tidak menemukan perkataan ringkih, padahal sudah menjadi bahasa harian kita. Perkataan Jawa ini punya makna lemah, tidak sehat, rapuh, dan yang sejenis itu. Bagi Buya, penggunaan perkataan ringkih terasa lebih puitis dan tajam, dibandingkan padanannya dalam istilah bahasa Indonesia. Buya bertanya, benarkah Dunia Islam itu ringkih? Untuk lebih lengkapnya silakan pembaca mencari dan baca tulisan Buya itu.
Dalam Resonansi di bawah judul `Pergumulan Teologis dan Realitas Hidup’ seri 1 (Republika, 14 Mei 2013), Buya mengajak kita membaca kegusaran penyair-filsuf Iqbal. Dalam bait puisinya Iqbal berkata: “Hanya atas si Muslim yang papa, kemurkaanMu ibarat kilat yang menyambar.”
Menurut Buya, sudah papa, kena murka lagi. Karena ini bahasa puisi simbolik seorang Iqbal yang dicintai oleh umat Islam seluruh dunia, maka kita harus menyikapinya dengan kepala dingin sebagai pertanda dari kematangan spiritual kita yang prima. Dunia Islam yang masih ringkih ini pasti bisa diubah asal kita sendiri mau mengubahnya dengan jalan mengoreksi perilaku menyimpang yang kita anggap benar selama ini. Semoga. Selamat jalan Buya. “Aku masih ringkih atas kepergianmu.”