Oleh : Ustadi Hamsah (Dosen Fakults Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga dan Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah)
Dari Anas bin Malik, ia berkata, “Pada saat Rasulullah menceramahi kami beliau berkata: tidak ada iman kecuali ada baginya (memenuhi) amanah, dan tidak ada agama kecuali ada baginya (menepati) janji.
(HR. Ahmad)
Mengapa harus amanah?
Dalam buku motivasi-inspirasi yang sangat terkenal, Seven Habits of Highly Effective People: Restoring the Character Ethic, Stephen R. Covey (1990) menjelaskan bagaimana seseorang yang berhasil dalam hidup di antaranya telah memiliki personal management (manajemen diri –habit ketiga) yang baik. Salah satu dari bentuk personal management yang baik adalah personal integrity (integritas diri). Jika mengikuti penjelasan-penjelasan Covey, integritas diri akan melahirkan trust (kepercayaan).
Kepercayaan yang dimaksud di sini bukan sebagaimana istilah yang merujuk pada keyakinan kepada alam ghaib dan yang semacam dengan itu.Namun, kepercayaan yang dimaksudkan adalah sebuah sikap yang mencerminkan karakter luhur yang menyebabkan orang lain yang menyaksikannya tumbuh sebuah kemantaban hati untuk menilai kita sebagai orang yang terpercaya dalam mengemban dan menjalankan sesuatu.
Sikap trust ini dapat tercipta dalam diri seseorang ketika segala sesuatu yang dilakukannya didasarkan pada kejujuran. Kejujuran merupakan sebuah sikap mental yang pelakunya mengaitkan antara tindakan dengan nilai-nilai dasar yang pada gilirannya nanti dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dan manusia.
Sikap inilah yang kemudian dikenal dengan istilah integritas, yakni sebuah konsep yang menunjukkan keterkaitan, konsistensi, dan keberurutan antara perilaku dengan nilai dan prinsip. Artinya, apa yang disebut oleh Covey dengan personal integrity sejatinya merujuk pada sikap konsisten antara core values (nilai dan prinsip) yang menjadi pedoman dengan tindakan dan perilaku.
Tindakan yang mencerminkan integritas seperti ini dapat terjadi pada kehidupan individu, organisasi, masyarakat, bahkan negara. Apapun bentuk kehidupan manusia pasti memiliki core values (nilai dan prinsip dasar) yang harus diwujudkan dalam bentuk tindakan dan perilaku. Apabila perilaku tersebut sesuai dengan nilai dan prinsip, maka disebut dengan perilaku yang jujur, sedangkan apabila perilaku itu tidak sesuai dengan nilai dan prinsip maka disebut perilaku yang hipokrit (munafik).
Dalam ajaran Islam model terbentuknya perilaku sebagaimana telah disebutkan di atas dijelaskan dalam konsep iman dan amal saleh. Di dalam al-Qur’an Allah selalu mengaitkan konsep iman dan amal saleh dengan penyebutan “beriman dan beramal saleh” yakni frasa âminû wa ‘amilus shâlihât (آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ).
Penyebutan konsep ini dengan berbagai variannya ditemukan kurang lebih dalam 650 ayat. Kedua perilaku itu disebutkan dalam bentuk kata kerja yang mengandung makna bahwa iman berarti berbuat mengimani dalam bentuk aktifitas, tidak hanya sekedar punya rasa iman, demikian pula amal saleh.
Konsep iman tidak hanya diartikan yakin atau percaya saja. Lebih dari itu konsep iman menekankan pada sikap membenarkan (tashdiq). Apa yang dibenarkan? Dengan memperhatikan berbagai uraian mengenai konsep iman dalam ayat-ayat al-Qur’an, iman berarti membenarkan eksistensi Allah, membenarkan apa yang diturunkan Allah yakni wahyu dan para nabi-rasul, serta melaksanakan apa saja yang telah dibenarkan tersebut dalam perilaku riil. Dengan demikian, percaya atau yakin saja tidak dapat dijadikan ukuran untuk menilai “keimanan” seseorang.
Berdasarkan konsep tersebut dapat dipahami bahwa iman tidak akan lepas dengan amal. Demikian pula sebaliknya, amal harus didasarkan pada iman. Amal yang didasarkan pada iman akan melahirkan sifat “shalih” yang melekat pada kata amal tersebut yakni “amal saleh”.
Begitu juga sebaliknya amal yang tidak didasarkan pada iman bukan merupakan amal yang bisa dikatakan sebagai “amal saleh”. Secara etimologi kata shalih berasal dari kata sha-la-ha yangdi antara artinya adalah “sesuai” di samping arti-arti yang lain tergantung konteksnya. Arti ini dapat dimaknai sebagai kesesuaian antara values dan perilaku.
Apabila kita kembali merujuk pada penjelasan awal tentang konsep integrity dari Stephen R. Covey, maka konsep shalih memiliki makna sepadan dengan konsep integrity yakni konsistensi (istiqamah) antara perilaku dengan tata nilai. Orang yang memiliki personal integrity adalah orang yang merujuk pada karakter-karakter saleh sehingga dia dapat dimasukkan ke dalam kategori highly effective people. Sikap amanah dengan sendirinya akan terlahir dari orang yang masuk dalam kategori ini.
Baca lanjutannya di Amanah: Keteladanan Rasulullah (Part 2)
Tulisan ini pernah dimuat pada Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi 2 Februari 2017, Rubrik An-Nur
Sumber Ilustrasi : https://aceh.tribunnews.com/2018/09/08/sejarah-tahun-baru-islam-peringatan-perjalanan-nabi-muhammad-dari-mekkah-ke-madinah