Oleh : Ustadi Hamsah (Dosen Fakults Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga dan Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah)
Acuan Islam tentang Sikap Amanah
Kata amanah berasal dari kata dasar a-mu-na yang artinya terpercaya, jujur, dan titipan. Kata ini membentuk istilah-istilah lain yakni iman, mukmin, dan aman. Orang yang beriman (mukmin) adalah orang yang membenarkan ajaran Allah sehingga dia selalu menebarkan rasa percaya orang lain terhadap dirinya (terpercaya).
Selanjutnya dia akan menebarkan rasa aman bagi orang lain pula. Karena memiliki sifat terpercaya maka orang beriman akan selalu amanah. Hal ini terkait dengan hadis Rasulullah “lâ îmâna liman lâ amânata lahu” yang menegaskan bahwa amanah adalah cermin perilaku orang beriman.
Secara istilah kata amanah berarti segala sesuatu yang telah dipercayakan kepada seseorang baik yang berkaitan dengan hak diri sendiri, hak orang lain, ataupun hak Allah. Artinya, manusia sebagai subjek kehidupan telah diberi kepercayaan atas sesuatu oleh subjek lain, baik dari manusia lain atau Allah, dan kepercayaan itu harus dijaga dan ditunaikan dengan sebaik-baiknya.
Zakiyuddin al-Mundziri (581-656 H) dalam kitabnya al-Targhîb wa al-Tarhîb, sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Rahmat, menjelaskan bahwa orang beriman yang selalu menjalankan amanahnya disebut nashahah (kesetiaan), sedangkan orang yang berkhianat dengan amanahnya disebut dengan ghasyasyah. Hal ini sejalan dengan hadis Rasulullah yang mengatakan bahwa, “al-Dîn al-nashîhah” (agama itu kesetiaan). (HR. Muslim, Nasa’i, Turmudzi, Abu Dawud).
Dalam konteks al-Qur’an, konsep amanah mengacu pada beberapa pengertian. Pertama, terkait urusan individu, yakni keharusan mengelola personal integrity (QS. al-Ma’arij [70]: 32). Kedua, terkait dengan urusan sosial kemasyarakatan yakni keharusan menepati janji-janji yang telah diungkapkan kepada orang lain, baik dalam kehidupan sosial secara umum atau bernegara (QS. al-Anfal [8]: 27); keharusan memberikan kesaksian yang benar (QS. al-Baqarah [2]: 283); keharusan untuk menetapkan hukum dan aturan secara adil (QS. al-Nisa’ [4]: 48). Ketiga, keharusan untuk menunaikan ajaran-ajaran agama dan yang terkait dengan kemanusiaan secara umum (QS. al-A’raf [7]: 62, 68).
Bentuk-bentuk pelaksanaan amanah didasarkan pada sebuah tanggungjawab moral. Artinya, di dalam melaksanakan amanat itu ada acuan-acuan nilai dan prinsip dan ada orientasi-orientasi etis. Oleh karena itu, seseorang yang menunaikan amanahnya pasti ada acuan nilai, misalnya karena perintah Allah, karena takut mengurangi hak orang lain, dan lain sebagainya sehingga tindakan yang dilakukan mencerminkan sikap yang baik, jujur, dan bertanggungjawab.
Kemudian perilaku yangbaik, jujur, dan bertanggungjawab itu akan diorientasikan kepada capaian-capaian akhirat. Di sinilah konsep iman yang dikaitkan dengan amal saleh, juga berkelindan dengan konsep iman kepada Allah dan hari akhir misalnya disebutkan dalam surah al-Thalaq [65]: 2. Ada sebuah harapan jauh di depan dari tindakan baik yang telah dilakukannya.
Dalam memberikan contoh kepada umatnya terkait dengan konsep amanah mengenai urusan individu ataupun sosial kemasyarakatan, Rasulullah selalu menekankan pada acuan-acuan nilai dan orientasi etis. Misalnya hadis dari Bukhari, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia berkata yang baik atau diam,” dan masih banyak contoh lain. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan etis yang didasarkan pada keimanan di dalam kehidupan masyarakat sebagai bentuk “amanah” keagamaan selalu berorientasi pada akhirat.
Oleh karena itu, keteladanan Rasulullah dalam menjalankan amanah beliau mengembalikan dinamika kehidupan sebagai amanah, yakni nashâhah kepada Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin Islam yang adil, dan keseluruhan umat Islam. Secara khusus dalam hal kepemimpinan, Rasulullah memandangnya sebagai amanah pula.
Oleh karena itu, harus dijalankan berdasarkan konsep trust (terpercaya karena kebenaran dan keadilannya) dan dapat memberikan rasa aman dan terpercaya bagi rakyat yang dipimpinnya. Orientasi utama konsep amanah dalam kepemimpinan Islam adalah konsistensi antara nilai dan prinsip iman terhadap tindakan melayani rakyat untuk menciptakan keamanan dan ketentraman yang dipertanggungjawabkan di hadapan Allah sampai di akhirat kelak, penuh dengan nashâhah.
Dengan demikian, perjalanan proses kepemimpinan dalam Islam sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah jauh dari kepentingan-kepentingan individual dan golongan, bahkan jauh dari perbuatan-perbuatan ghasyâsyah, hipokrit, dan kebohongan. Ironinya, pola kepemimpinan dalam masyarakat yang kita saksikan ini lebih banyak memperlihatkan kecenderungan-kecenderungan yang ghasyâsyah, hipokrit, dan kebohongan kepada rakyat sehingga tidak bisa memberikan rasa aman dan tenteram.
Hal ini bukan cermin dari habit bagi highly effective people, karena masih terlampau jauh dari perwujudan personal integrity sebagaimana diuraikan oleh Stephen R. Covey di atas, terlebih lagi sangat jauh dari keteladanan terhadap Rasulullah mengenai konsep amanah. Sebagai orang yang beriman, tentu pilihan yang diambil bukan model kepemimpinan yang cenderung pada konsep ghasyâsyah, namun pada konsep nashahah sebagaimana keteladanan Rasulullah. Wallahu a’lam…
Tulisan ini pernah dimuat pada Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi 2 Februari 2017, Rubrik An-Nur
Sumber Ilustrasi : https://www.independent.co.uk/voices/international-womens-day-2018-muslim-islam-rights-role-female-men-family-a8242481.html