Gerakan sosial keagamaan di Kampung Pekajangan yang paling menonjol pada awal abad XX adalah sebuah perkumpulan pengajian yang berhasil merintis Lembaga Pendidikan tradisional dengan nama Ambudi Agama. Perkumpulan ini diinisiasi oleh K.H. Abdurrahman dan didukung oleh ulama-ulama setempat pada waktu itu.
K.H. Abdurrahman dan Ambudi Agama
K.H. Abdurrahman lahir pada tahun 1879 di Pekajangan, Kedungwuni, Pekalongan, dengan nama kecil Mutaman. Pada masa mudanya, Mutaman pernah mengaji kepada Kiai Amin di Banyuurip, kemudian kepada Kiai Agus di Kenajagan, dan kepada Kiai Abdurrahman Thaif di Wonoyoso. Terakhir, Mutaman belajar agama kepada Kiai Idris di Pondok Jamsaren, Solo (RM Soediardjo dkk, 1968: 9). Mutaman menyempurnakan rukun Islam dengan menunaikan ibadah haji pertama kali pada tahun 1903. Sejak saat itulah namanya telah berganti menjadi Haji Abdurrahman. Setelah menunaikan ibadah haji pertama, Haji Abdurrahman menekuni profesi sebagai pedagang batik dan tenun setagen yang dijual ke luar kota Pekalongan. Jaringan perdagangannya cukup luas meliputi beberapa kota besar di Jawa.
Haji Abdurrahman mulai merintis pengajian agama di desanya setelah menunaikan ibadah haji yang kedua kali pada tahun 1921 bersama istri tercinta, Nyai Shofiyah. Dia dibantu kawan-kawannya menyelenggarakan pendidikan Islam tradisional bernama Ambudi Agama. Pelajaran pokok yang diajarkan meliputi ‘aqaid 50 dan sifat 20 bakal weruh gusti Allah (akan melihat Allah). Dari materi yang disampaikan, tampaknya, lembaga pendidikan yang didirikan Haji Abdurrahman lebih mendalami akidah dan tasawuf. Setelah sukses menyelenggarakan pendidikan Islam tradisional, Haji Abdurrahman mendapat julukan “Kiai” dari para santrinya.
Lembaga pendidikan yang dirintis K. H. Abdurrahman sedang tumbuh, tetapi tantangan datang dari pemerintah kolonial. Sekolah agama yang baru saja dirintis langsung dibubarkan oleh pemerintah. Peraturan pemerintah kolonial menegaskan, seluruh aktivitas pengajaran yang diselenggarakan oleh kaum bumiputra dianggap liar. Pemerintah kolonial menyatakan sekolah-sekolah swasta ilegal dan wajib dibubarkan, sedangkan tenaga pengajar yang tidak mendapat izin mengajar ditangkap. Kebijakan Goeroe Ordonantie memang bertujuan membatasi jumlah guru agama di sekolah-sekolah bumiputera yang tidak dikelola oleh pemerintah.
Abdurrahman mendengar di Yogyakarta telah berdiri persyarikatan Muhammadiyah yang bisa mengatasi kendala-kendala akibat diterapkannya kebijakan Goeroe Ordonantie. Ia sendiri sempat ragu, apakah persyarikatan yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan itu sebuah perkumpulan Islam atau bukan. Chumasi Hardjosubroto, kawan dekat K.H. Abdurrahman, membisikkan pesan kepadanya bahwa Persyarikatan Muhammadiyah adalah ”Perkumpulan Kristen.” Hardjosubroto sempat mencegah K. H. Abdurrahman yang berniat hendak pergi ke Yogyakarta menemui para pimpinan Muhammadiyah. Namun, dengan keyakinan teguh, pendiri perkumpulan Ambudi Agama tersebut memberanikan diri berkunjung ke kantor HB Muhammadiyah yang beralamat di Kauman Nomor 44. Dia datang ke Yogyakarta diantar oleh Kiai Asmu’i, kawan dekatnya mantan lurah di Pondok Jamsaren, Solo.
Di kantor HB Muhammadiyah, K.H. Abdurrahman disambut oleh Haji Mochtar, Haji Abdurrahman Machdun, Haji Wasool Dja’far, dan lain-lain. Dalam kesempatan tersebut, K.H. Abdurrahman langsung ber-tabayyun, menanyakan apa dan bagaimana sesungguhnya persyarikatan Muhammadiyah. Lantas dijelaskan bahwa Muhammadiyah adalah perkumpulan Islam yang berpedoman pada al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. Mendengar penjelasan dari HB Muhammadiyah, K.H. Abdurrahman langsung insaf. Ia baru sadar bahwa anggapan yang telah tersiar di masyarakat Pekajangan tentang Muhammadiyah sebagai ”Perkumpulan Kristen” adalah salah besar.
Dalam kesempatan tersebut, K.H. Abdurrahman mengemukakan persoalan-persoalan yang dihadapi selama menyelenggarakan pengajian di bawah perkumpulan Ambudi Agama yang dipimpinnya. Ia sendiri tidak tahu bagaimana cara menyelamatkan lembaga pendidikannya dari penerapan kebijakan kolonial. Akan tetapi, tokoh Pekajangan ini sangat tertarik dengan usaha-usaha yang dilakukan Muhammadiyah di Yogyakarta. Terbetik dalam pikirannya untuk mendirikan Muhammadiyah cabang (kring) Pekajangan.
Muhammadiyah Pekajangan
HB Muhammadiyah Yogyakarta menyambut baik niat K.H. Abdurrahman untuk mendirikan cabang di Pekajangan. Dijelaskan bahwa Muhammadiyah adalah perkumpulan (organisasi) yang mendapat izin resmi dari pemerintah (besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 22 Agustus 1914) yang diperkenankan mendirikan cabang-cabang untuk menyelenggarakan pendidikan atau pengajaran agama, penyantunan fakir-miskin, mendirikan panti asuhan dan poliklinik.
Akhirnya, K.H. Abdurrahman pulang ke Pekajangan dengan hati mantap. Dia rela melebur perkumpulan Ambudi Agama menjadi cabang Muhammadiyah di desanya. Pada 15 November 1922, HB Muhammadiyah Yogyakarta
mengeluarkan surat keputusan berdirinya Muhammadiyah Cabang Pekajangan. Di bawah Persyarikatan Muhammadiyah Cabang Pekajangan, seluruh kegiatan yang dirintis K.H. Abdurrahman berjalan lancar. Pemerintah kolonial tidak bisa membubarkan setiap kegiatan pengajian, karena Muhammadiyah adalah organisasi resmi yang mendapat izin dan pengakuan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Inilah salah faktor yang menyebabkan Muhammadiyah pada masa K.H. Ahmad Dahlan mampu memikat perkumpulan-perkumpulan keagamaan lokal yang mendapat tantangan berat dari pemerintah kolonial untuk bergabung di bawah bendera Muhammadiyah. Di samping memiliki visi Islam yang berkemajuan, Muhammadiyah mampu menawarkan solusi cerdas yang tidak dimiliki oleh perkumpulan atau organisasi Islam lain di tanah air ini.
Kini, masihkah Muhammadiyah memiliki visi Islam berkemajuan dan daya pikat bagi perkumpulan-perkumpulan lain untuk bergabung di bawah panji-panjinya?