Judul : Filsuf Membumi dan Mencerahkan: Menyemai dan Menuai Legasi Pemikiran Amin Abdullah
Penyusun : Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah
Penerbit : Suara Muhammadiyah
Tahun : Cetakan I, Juli 2023
Muhammad Amin Abdullah lahir di Pati, Jawa Tengah, pada 28 Juli 1953. Bagi sebagian pihak, Amin merupakan sosok pemikir inspiratif; Abdul Mu’ti memberi laqab kepada Guru Besar Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu sebagai “smiling thinker”; Abdul Munir Mulkhan menyebutnya “pencair kebekuan pemikiran Muhammadiyah”; Hajriyanto Y. Thohari mengenang gurunya itu sebagai “zuama yang kurang berambisi”; sementara Alimatul Qibtiyah menyebutnya sebagai seorang “orator kharismatik”.
Meskipun begitu, bagi sebagian pihak lain, Amin Abdullah merupakan sosok kontroversial. Di lingkungan Persyarikatan, bersama beberapa pimpinan Muhammadiyah yang lain, Amin pernah ditempatkan di dalam sebuah majelis inquisitor. Majelis itu berlangsung sebagai imbas dari kehadiran Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama yang dinilai “menyimpang secara akidah”.
Tidak cukup di situ. Imam Suprayogo merekam, “Oleh sementara kalangan Muhammadiyah sendiri, Pak Amin Abdullah dianggap telah keluar dari cara berpikir Muhammadiyah dalam memahami agama” (hlm. 319). Anggapan itu tentu tidak tepat sasaran. Alih-alih, apa yang dilakukan Amin sejatinya adalah menyelamatkan Muhammadiyah dari stagnansi pemikiran keagamaan. “Kedatangan beliau,” kata Dian Nur Anna, “bisa membuka ‘kran’ keterlibatan perempuan dan membuka interpretasi baik laki-laki maupun perempuan berbarengan dengan the rise of education” (hlm. 560).
Kontroversi yang mengiringi perjalanan intelektual-sosialspiritual Amin Abdullah itu, meminjam bahasa Munawar Ahmad, tidak dapat dilepaskan dari buah pemikirannya yang “melampaui kejumudan kajian Islam di Indonesia”. Menurut Sholihul Huda, Amin hadir untuk membuka “jalan progresif pendekatan studi keislaman kontemporer”. Pada waktu yang sama, dalam amatan Abd. Rohim Ghazali, Amin juga berhasil menyelamatkan studi Islam dari “ancaman expired”.
Amin Abdullah mengenalkan apa yang disebut sebagai paradigma integrasi-interkoneksi; melakukan pemilahan antara normativitas Islam dan historisitas Islam; menawarkan pendekatan bayani, burhani, dan irfani, serta; menekankan pentingnya menggeser metode studi agama dan studi Islam dari monodisiplin ke multidisiplin, interdisiplin, bahkan transdisiplin agar umat Islam mampu menjawab pelbagai problem sosialkeagamaan kontemporer.
Buku ini tidak hanya memuat narasi besar pemikiran Amin Abdullah. Ustadi Hamsah dalam Pendahuluan menyatakan, ada berbagai lapis epistem yang membentuk bangunan pemikiran Ketua Majelis Tarjih dan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah (1995-2000) itu, seperti keluarga, pendidikan, guru, kolega, dan lingkungan sekitar. Dengan membaca lapis demi lapis epistem itu, pembaca akan mendapati sosok Amin yang “lain”.
Di mata keluarganya, Amin Abdullah adalah teladan tanpa banyak kata. Di mata teman sejawatnya, Amin adalah pecinta ilmu sejati. Bersamaan dengan itu, Amin juga sosok yang punya integritas moral yang tinggi, terutama untuk tidak melakukan maksiat. Statusnya sebagai “cendekiawan Muslim kaliber dunia” sama sekali tidak membuatnya menjadi tinggi hati. Amin adalah filsuf yang membumi.
Kehadiran buku ini sejatinya tidak sekadar menjadi kado istimewa bagi Amin Abdullah yang pada 28 Juli 2023 kemarin genap berusia 70 tahun, tetapi juga kado bagi umat Islam di Indonesia, khususnya warga Muhammadiyah. Melalui buku ini, pembaca bisa menyemai dan menuai legasi pemikiran, moralitas, dan spiritualitas Amin Abdullah.
Sudah banyak hal yang dilakukan Amin Abdullah untuk mengantarkan Muhammadiyah kembali kepada jalan pembaruan Islam yang dulu dibukakan oleh Kiai Ahmad Dahlan. Akan tetapi, sebagaimana dinyatakan Syamsul Anwar, Muhammadiyah sedang menanti kehadiran filsuf “generasi baru yang akan melanjutkan langkah awal yang telah dimulai Amin Abdullah” (hlm. 160). (Sirajuddin)
Sumber gambar: https://www.tempo.co/wawancara/penerapan-fikih-lingkungan-26181
2 Comments