Oleh: Afita Nur Hayati
Bulan Agustus bagi seluruh rakyat Indonesia adalah bulan yang penuh kemeriahan, sebagai salah satu bentuk kesyukuran akan berkah kemerdekaan. Bagaimana tidak, untuk mampu menyatakan ‘kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia’ memerlukan perjuangan yang tidak hanya mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, harta benda tetapi juga nyawa taruhannya.
Hidup berada dalam ketidakpastian, penuh kecemasan, tetapi tetap yakin akan datangnya kemenangan tentu tidak mudah. Karena yang dibutuhkan tidak hanya raga yang kuat tetapi juga jiwa yang sehat untuk memastikan bahwa tanah dan air yang dianugerahkan Tuhan tidak jatuh ke tangan mereka yang memiliki nafsu menguasai.
Tidak hanya kantor-kantor pemerintahan dan sekolah-sekolah yang berhias dengan aksesoris warna merah putih mengelilingi bangunan, rumah-rumah penduduk dijalan utama sampai ke gang-gang juga menjadi bernuansa merah putih. Dunia usaha dan dunia industri pun ikut andil dengan edisi produk merah putihnya dan memberikan banyak promo dan diskon dengan melibatkan angka 17, angka 8, dan angka 45.
Akhir pekan yang biasanya dihabiskan untuk berkumpul bersama keluarga, entah itu di dalam rumah atau ke ruang-ruang publik, berubah menjadi berkumpul bersama tetangga sekitar, membuka lebar-lebar tidak hanya pintu rumah tetapi juga pagar pembatas dengan tujuan untuk mempererat jalinan hubungan kemasyarakatan dengan digelarnya banyak perlombaan.
Perlombaan yang menjadi wajib akan kita lihat dari Pulau Sabang sampai Merauke adalah perlombaan makan kerupuk. Selain masih ada panjat pinang, balap karung, tarik tambang, gerak jalan, dan sekitar 70 perlombaan lainnya yang berhasil dilaporkan oleh detikbali pada 03 Agustus 2023. Indonesia kaya akan permainan untuk memperteguh persatuan dengan biaya murah sampai berbiaya tinggi. Darimana pembiayaannya? Semua dengan ringan tangan secara sukarela memilih iuran untuk bisa memberikan penghargaan bagi para pemenang yang ditetapkan disetiap lomba.
Makna Awal Kerupuk
Mengutip dari laman indonesiabaik.id tentang makna lomba kerupuk saat perayaan kemerdekaan RI yang baru populer pada tahun 1950-an tentu menjadi penting bagi generasi penerus. Kerupuk yang dijadikan lauk saat itu dan dimakan bersama dengan nasi menjadi makanan rakyat kebanyakan untuk bertahan hidup. Kenapa? karena harganya paling terjangkau di saat kondisi peperangan yang begitu sulit dan memprihatinkan. Selain menjadi pengingat bagaimana penjajah berusaha merampas kebebasan rakyat Indonesia. Sebuah simbol kesadaran akan sejarah dan perlunya cara untuk menjaga kedaulatan agar tidak terampas kembali.
Kerupuk juga bisa dijadikan sebagai sebuah simbol kebersamaan dalam satu tempat dan satu waktu secara tatap muka. Sebagai makanan yang murah dan ringan ketika diikat dengan tali dan digantungkan, tetapi tidak boleh melibatkan tangan untuk memegang agar lebih mudah saat dinikmati ternyata masih memerlukan usaha untuk bisa menghabiskannya. Padahal dari tinjauan gizi, kandungannya mungkin sangat minim. Tetapi ketika diusahakan bersama, dinikmati dalam suasana kebersamaan tanpa tekanan penjajah disertai semangat kompetisi positif untuk menjadi pemenang tentu akan terasa berbeda.
Kerupuk Era Digital
Di era digital sekarang, kerupuk diidentifikasi berbeda. Bukan lagi sebagai lauk yang bisa digunakan untuk bertahan hidup karena harganya sesuai dengan kondisi yang serba kekurangan. Karena sebagai bagian dari masyarakat global, sekat bagi kita tidak ada lagi. Begitu mudah kita mendapatkan informasi, terlepas apakah informasi itu benar atau salah, perlu dikonfirmasi atau tidak.
Simbol kesadaran untuk menjaga kedaulatan sebagai pribadi yang utuh bisa jadi telah mengalami keterampasan, dan itu bisa jadi tidak disadari oleh anak-anak Indonesia. Mereka hidup di jaman clickbait, sebuah jaman dimana informasi berlimpah dengan cukup memiliki gawai dan jaringan terkoneksi internet tanpa perlu banyak terhubung secara fisik.
Salah satu penjajah baru di tengah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi saat ini bagi remaja bernama fear of missing out. Sebuah fenomena takut tertinggal dengan momen berharga yang dilakukan teman-teman sebaya juga idola dan influencer di media sosial sehingga selalu ada keinginan untuk tetap terhubung dengan jaringan dunia maya yang banyak menghinggapi remaja awal dan pertengahan (Stillman, 2018; Przybylski, et.al, 2013; Dossey. 2013; Cahyadi, 2021, Muhammad, 2024).
Dalam teori Hurlock (2011) disebutkan masa remaja adalah masa pencarian jati diri dan tahap membutuhkan peran teman sebaya selain juga validasi dari orang lain. Selain itu dalam tahapan perkembangan psikososial dinyatakan bahwa masa remaja sebagai masa dengan keingintahuan tinggi akan sesuatu, selalu penasaran untuk mencoba hal baru, menerima informasi yang didapat tanpa proses penyaringan dan crosscheck atau tabayyun serta tanpa menghitung kemungkinan-kemungkinan yang akan ditimbulkan.
Hasil survei yang dirilis Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia pada bulan Februari 2024 menyebutkan bahwa penetrasi internet di Indonesia terus mengalami kenaikan sampai di angka 97,5% dimana internet lebih banyak diakses oleh laki-laki. Kemudian mereka yang mengakses lebih banyak berada di daerah urban serta didominasi oleh generasi Z yang lahir dikisaran tahun 1997 sampai 2012.
Ini sejalan dengan penelitian Oberst et.al (2016), Kiracaburun (2016), Wulandari&Netrawati (2020) dan Aprillia (2020) yang menyebutkan bahwa di kisaran usia 15 sampai 18 tahun menjadi usia tertinggi kecanduan media sosial dengan kisaran waktu 5-6 jam per hari menurut penelitian Syamsoedin et.al (2015) menjadi penanda seseorang kecanduan media sosial.
Baca Juga: Parenting Remaja: Orang Tua Sahabat Remaja
Bagi mereka ketika tidak mencoba hal baru yang sama dengan yang dilakukan beberapa teman sebayanya maka mereka akan dikucilkan. Alasannya relatif sama, agar mereka tidak berbeda. Misal saja, dengan maraknya ruang-ruang kuliner kekinian menjadi ruang baru bagi tempat kumpulnya remaja, jika teman-temannya menikmati makanan dan minuman berwarna kemudian mempostingnya di media sosial yang mereka punya sementara sebagai remaja, kita tidak melakukannya maka ketakutan menjadi orang aneh akan mendera. Padahal ada harga atas ‘ruang’ yang mereka akan coba samakan itu yang bisa jadi akan menguras uang saku mereka.
Apa dan Siapa Penjajah Anak-anak?
Kejadian perundungan, dimana anak mendapatkan perlakuan atau tindakan kekerasan pada masa tumbuh kembangnya ketika berada di sekolah, dapat menimbulkan dampak serius seperti depresi dan bahkan merenggut nyawa. Artinya perundungan akan mengganggu proses pembentukan karakter anak (Arif, 2024). Sementara dalam penelitiannya, Darmini (2018) menyebut, tidak sedikit fenomena ketika berada dirumahnya sendiri, ada anak yang ditelantarkan, dibuang, diperjualbelikan bahkan dimanfaatkan dengan meminta anaknya untuk mencari nafkah. Tindakan pengabaian, penelantaran, kekerasan secara fisik, pelecehan secara psikologis, dan kekerasan seksual terhadap anak menurut Mardiyati&Udiati (2018) akan menjadi pengalaman pahit yang bisa merusak tidak hanya harapan masa depannya tetapi juga kesadarannya sebagai manusia. Ini menjadi catatan bahwa rumah yang semestinya menjadi tempat teraman bagi anak ternyata gagal menjalankan fungsinya. Padahal semua orang memiliki hak yang sama untuk hidup dengan layak dan bebas dari pengalaman pahit.
Keterampasan yang bisa kita temui di pedesaan seperti disebutkan dalam penelitian Kholid&Irawan (2023) adalah angka perkawinan pada anak dibawah umur lebih besar terjadi dibanding di perkotaan. Fenomena ini lebih banyak dialami oleh perempuan dengan status pendidikan rendah dan berasal dari keluarga dengan status ekonomi rendah. Salah satu tujuannya adalah mengalihkan tanggung jawab orang tua terhadap anak perempuannya. Sementara, fenomena yang berbeda terjadi di perkotaan saat ini yang berhasil dirangkum oleh berbagai media adalah meningkatnya jumlah pasien penderita gagal ginjal anak-anak yang bukan berdasarkan faktor genetik. Padahal kehadiran mereka ditunggu sebagai penambah kegembiraan berbagai lomba tujuhbelasan, termasuk lomba makan kerupuk, di lingkungan tempat tinggalnya, selain tugas yang lebih berat yaitu sebagai generasi muda yang akan meneruskan estafet kepemimpinan bangsa dan mengisi kemerdekaan yang sudah diraih selanjutnya.
Bersinergi untuk Maju
Menikmati indahnya kemerdekaan Indonesia yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan di era kemudahan mendapatkan informasi bagi seluruh generasi muda yang merupakan harapan masa depan bagi Indonesia adalah sebuah rahmat. Memastikan algoritma media sosial yang kita miliki selalu berada dalam jalur yang mampu memberikan nilai tambah kebaikan, mengedukasi banyak orang sesuai dengan kapasitas dengan sumber data dan informasi valid dan dapat dipertanggungjawabkan, memberikan kesejukan, dan bermanfaat untuk kemanusiaan semesta menjadi sebuah kewajiban. Oleh karena itu, tidak ada kata lain selain bersinergi bersama seluruh penyusun bangsa agar selalu terwujud lingkungan yang kondusif untuk tumbuh kembang yang ideal bagi generasi emas Indonesia.
*Penulis saat ini bekerja di Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda (UINSI), Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan (LPPA) PW Aisyiyah Kalimantan Timur Periode 2022-2026
2 Comments