Oleh: Muchammad Ichsan*
Anak adalah karunia Allah yang sangat berharga. Anak adalah cahaya mata. Dengannya mata kita bersinar dan bercahaya karena bahagia. Anak adalah penyejuk hati dan penyeri kehidupan. Hati kita sejuk dan hidup kita bertambah indah dan berseri bersama anak-anak yang kita sayangi. Lebih dari itu, anak adalah penerus keturunan, perjuangan, dan usaha kita.
Dialah yang akan meneruskan keturunan kita sehingga silsilah kita tidak terputus. Dialah yang akan melanjutkan hal-hal yang kita yakini dan perjuangkan selama hidup ini. Dialah yang akan memelihara dan bahkan mengembangkan amal dan usaha kita di kemudian hari. Anak cucu kitalah yang kita harapkan akan dapat mewujudkan impian, cita-cita, dan keinginan kita yang belum tercapai.
Dalam al-Quran, Allah menyatakan bahwa anak -dan juga harta benda- itu adalah hiasan hidup. Hidup kita bertambah indah, manis, dan menyenangkan dengan harta dan anak. Firman-Nya:
اَلْمَالُ وَالْبَنُوْنَ زِيْنَةُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۚ وَالْبٰقِيٰتُ الصّٰلِحٰتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَّخَيْرٌ اَمَلً
Artinya, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan” (Q. s. Al-Kahfi: 46).
Ayat ini menyatakan bahwa harta dan anak-anak merupakan perhiasan yang membuat hidup kita lebih indah dan berseri. Namun, pada ujung ayat Allah mengingatkan agar perhiasan hidup dunia ini tidak melalaikan kita untuk beramal saleh karena amal saleh itu berpahala serta bisa diharapkan di sisi Allah. Dalam ayat lain, Allah menyatakan bahwa istri, anak, cucu dan rezeki itu adalah anugerah Allah yang harus disyukuri. Firman-Nya:
وَاللّٰهُ جَعَلَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا وَّجَعَلَ لَكُمْ مِّنْ اَزْوَاجِكُمْ بَنِيْنَ وَحَفَدَةً وَّرَزَقَكُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِۗ اَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُوْنَ وَبِنِعْمَتِ اللّٰهِ هُمْ يَكْفُرُوْنَۙ
Artinya, “Allah menjadikan bagi kamu istri–istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?” (Q. S. An-nahl: 72).
Dari ayat-ayat di atas dapat dipahami bahwa anak-anak adalah sebagian anugerah Allah yang sangat berpotensi untuk membuat manusia bahagia di dunia ini dan kehidupan mereka bertambah indah berseri. Namun, ada hal yang perlu disadari, selain sangat didambakan dan dirindukan karena ia adalah anugerah dan karunia Allah yang luar biasa.
Anak itu dalam masa yang sama juga merupakan ujian dan cobaan dari Allah. Anak itu, selain sebagai penyejuk hati dan penglipur lara, juga bisa membuat kita sedih dan menderita. Selain sebagai kesayangan dan kebanggaan jiwa, anak juga bisa menjadi musuh bagi kita. Selain sebagai penerus cita-cita dan amal usaha, anak juga bisa melalaikan kita dari dzikrullah (mengingat Allah).
Baca Juga: Peran Anak dalam Mewujudkan Keluarga Sakinah
Anak adalah cobaan Allah bagi orang-orang yang diberi kepercayaan memperolehnya. Allah mengujinya, apakah ia mampu untuk mensyukuri dan menaati Allah dalam hal anak tersebut, atau ia justru melalaikan hak Allah karena sibuk dengan anaknya. Hal ini ditegaskan dengan firman-Nya:
وَاعْلَمُوْٓا اَنَّمَآ اَمْوَالُكُمْ وَاَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۙوَّاَنَّ اللّٰهَ عِنْدَهُ اَجْرٌ عَظِيْمٌ
Artinya, “Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar” (Q. S. al-Anfal: 28).
Ketika menafsirkan ayat ini, Imam at-Thabari berkata: “Allah Ta’ala berfirman kepada kaum mukminin: “Ketahuilah hai orang-orang yang beriman, harta dan anak yang Allah anugerahkan kepadamu itu adalah ujian dan cobaan untuk mengetahui bagaimana sikapmu dalam menunaikan hak Allah atasmu dan ketaatanmu terhadap perintah dan larangan-Nya dalam masalah harta dan anak itu. Dan ketahuilah bahwa di sisi Allah ada pahala yang besar atas ketaatanmu terhadap-Nya dalam perintah dan larangan-Nya dalam masalah harta dan anak-anak yang merupakan ujian-Nya bagimu di dunia”.
Selain itu, anak adalah sebagian kesenangan dunia yang menipu. Mempunyai harta dan anak, apalagi dalam jumlah yang banyak itu merupakan kebanggaan dan kesenangan hidup di dunia. Namun, kesenangan tersebut dapat menipu dan memperdaya manusia ketika manusia tidak dapat mematuhi perintah dan larangan Allah gara-gara harta benda dan anak-anak. Oleh karena itu, tidak heran jika Allah memberi peringatan seperti berikut, supaya kita tidak tertipu dan terpedaya.
اِعْلَمُوْٓا اَنَّمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ وَّزِيْنَةٌ وَّتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى الْاَمْوَالِ وَالْاَوْلَادِۗ كَمَثَلِ غَيْثٍ اَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرٰىهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطَامًاۗ وَفِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيْدٌۙ وَّمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانٌ ۗوَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ
Artinya, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu serta berbangga-banggaan dalam banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu” (Q. S. al-Hadid: 20).
Tambahan pula, anak bukan ukuran cinta atau benci Allah kepada hamba-Nya. Jika Allah mengaruniakan anak kepada kita, maka itu bukan berarti Allah cinta dan sayang kepada kita. Sebaliknya juga demikian, jika Allah tidak menganugerahkan anak kepada kita itu bukan berarti Dia benci kepada kita. Ini karena anak bukan ukuran kecintaan atau kebencian Allah kepada kita. Allah berfirman:
اَيَحْسَبُوْنَ اَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِه مِنْ مَّالٍ وَّبَنِيْنَ نُسَارِعُ لَهُمْ فِى الْخَيْرٰتِۗ بَلْ لَّا يَشْعُرُوْنَ
Artinya, “Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa) Kami bersegera memberikan kebaikan–kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar” (Q. S. al-Mukminun: 55-56).
Anak sebagai Musuh
Hal yang paling mengejutkan ialah, anak itu dapat menjadi musuh. Jarang orang yang menyangka bahwa anak yang dilahirkan itu dapat berubah menjadi musuh bagi orang tuanya Namun, itulah yang diperingatkan Allah kepada orang-orang yang beriman dengan firman-Nya:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّ مِنْ اَزْوَاجِكُمْ وَاَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوْهُمْۚ وَاِنْ تَعْفُوْا وَتَصْفَحُوْا وَتَغْفِرُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ اِنَّمَآ اَمْوَالُكُمْ وَاَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۗوَاللّٰهُ عِنْدَه اَجْرٌ عَظِيْمٌ
Artinya, “Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar” (Q. S. At-taghabun: 14-15).
Dalam ayat di atas Allah memberitahu dan memperingatkan kaum mukminin agar mereka berhati-hati dan berwaspada terhadap istri dan anak-anak mereka sendiri. Ini karena bisa jadi mereka akan menjadi musuh bagi mereka sendiri. Kapankah mereka menjadi musuh? Tatkala mereka mendorong dan menjerumuskan suami atau ayahnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan oleh Allah, saat itulah mereka menjadi musuh.
Berdasarkan hal-hal di atas, supaya dapat mensyukuri nikmat Allah berupa anak, dan sekaligus berhasil lulus dalam cobaan Allah berupa anak, maka Islam memberikan beberapa panduan berikut kepada orang tua. Sebelum anak wujud di atas muka bumi, hendaknya seorang laki-laki memilihkan ibu untuk anaknya. Hal ini sesuai dengan hadis: “Pilihlah dengan benar perempuan yang akan mengandung anakmu” (H. R. al-Hakim).
Memohon Dikaruniai Anak Saleh
Selanjutnya, kedua orang tua hendaknya selalu berdoa memohon anak yang saleh, sebagaimana doa ‘Ibaadurrahman:
وَالَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ اَزْوَاجِنَا وَذُرِّيّٰتِنَا قُرَّةَ اَعْيُنٍ وَّاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَامًا
“Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami, isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. al-Furqan: 74).
Ketika berhubungan suami-istri, keduanya dianjurkan untuk berdoa supaya anak yang akan lahir dilindungi dari gangguan setan sebagaimana dalam hadis: “Jika salah seorang dari kalian ingin berhubungan intim dengan isteri-nya, lalu ia membaca doa: (Bismillah, Allahumma jannibnaasy syaithaana wa jannibisy syaithana maa razaqtanaa) ‘Dengan (menyebut) nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezeki yang Engkau anugerahkan kepada kami’, kemudian jika Allah menakdirkan (lahirnya) anak dari hubungan intim tersebut, maka setan tidak akan bisa mencelakakan anak tersebut selamanya.” (H.R. al-Bukhari dan Muslim).
Baca Juga: Mendidik Fitrah Iman Anak
Ketika seorang anak lahir, maka orang tua dianjurkan beberapa hal, antara lain adzan di telinga kanannya dan iqamah di telinga kirinya, supaya suara yang pertama kali terdengar olehnya adalah nama Allah dan Rasul-Nya. Hal ini sebagaimana dalam hadis Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi saw. melantunkan adzan di telinga al-Hasan bin Ali ketika dilahirkan, dan melantunkan iqamah di telinga kirinya” (H.R. Al-Baihaqi).
Selanjutnya orang tua dianjurkan memberi nama. Nama si bayi harus yang baik atau mempunyai arti yang baik sebagaimana dalam hadis: “Sesungguhnya kamu sekalian akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama-nama kamu sekalian, maka perbaguslah nama kalian.” (H.R. Abu Dawud).
Disunnahkan juga melaksanakan aqiqah dengan menyembelih dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan satu ekor kambing untuk anak perempuan, memasaknya dan memberikannya kepada saudara dan tetangga. Nabi saw. bersabda: “Setiap anak yang baru lahir tergadai dengan aqiqahnya, (sampai) disembelihkan (aqiqah) itu untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya dan diberi nama.” (H. R. Abu Dawud).
Waktu pelaksanaan aqiqah yang paling utama adalah pada hari ketujuh, empat belas, dan dua puluh satu dari hari kelahirannya. Selain itu, disunnahkan pula untuk mencukur seluruh rambut yang ada di kepala bayi, bukan hanya sebagiannya saja. Rambut yang dicukur tadi ditimbang dan hasilnya disetarakan dengan perak yang kemudian disedekahkan untuk fakir miskin. Rasulullah berpesan pada Fatimah, “Cukurlah rambutnya dan bersedekahlah dengan perak seberat rambutnya kepada orang-orang miskin” (H.R. At-Tirmidzi).
Demikianlah sunnah yang diajarkan ketika mendapatkan anugerah berupa anak. Hal yang lebih penting lagi setelah itu semua, adalah mendidik anak tersebut dengan pendidikan Islami sejak dini mulai dari rumah dan menyekolahkannya di sekolah yang mendidikkan ajaran dan akhlak Islam kepadanya. Sebagai contoh, mendidik anak supaya mau beribadah kepada Allah dan berakhlak mulia sebagaimana yang dilakukan oleh Luqman kepada anaknya.
Akhirnya, setelah itu semua dilakukan, maka tinggal doa dan tawakkal kepada Allah. Kita berdoa, berharap dan berserah diri, semoga Allah menumbuhkan anak-anak kita menjadi anak-anak saleh yang bermanfaat bagi dirinya sendiri, keluarganya, bangsanya, dan agamanya. Amin.
* Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah