Kalam

Antara Riya’ dan Dakwah

Oleh: Saptoni, M.A.*

Salah satu tindakan tercela dan sangat dilarang dalam agama Islam adalah riya’, atau yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ditulis ria. Istilah ini sudah akrab dengan keseharian kita. Sejak kecil, kita sudah diajari dan sudah paham bahwa ria termasuk akhlak tercela, yang harus dihindari karena dapat menghancurkan seluruh kebaikan. Bahkan Rasulullah saw. menyatakan dalam sebuah hadis bahwa ria termasuk syirik kecil:

قَالَ النَّبِيُّ صلعم: إنَّ أخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكَمْ اَلشِّرْكُ الْأصْغَرُ، قَالُوْا: وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ يَا رَسَوْلَ اللهِ؟ قَالَ: اَلرِّيَاءُ

Nabi saw. bersabda: “Sesungguhnya yang paling saya takutkan terjadi pada kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya: “Syirik kecil itu apa, wahai Rasul?” Nabi menjawab: “Riya” (HR. Ahmad).

Dari beberapa kamus Bahasa Arab, dapat disimpulkan bahwa ria adalah “menunjukkan sesuatu kebaikan agar dilihat dan diketahui orang lain, yang hakikatnya tindakan tersebut tidak sejalan dengan yang apa yang ada dalam hati.” Dengan istilah lain, tindakan seperti ini sama dengan kemunafikan, karena ria adalah motivasi utama orang-orang munafik.

Ria menjadi ciri utama kemunafikan. Orang munafik melakukan kebaikan agar orang lain melihat dan menganggapnya sebagai orang baik. Ria selalu mendorong pelakunya menjadi munafik. Na’udzu billah, semoga kita selalu bisa terhindar dari ria dan kemunafikan tersebut.

Konsep Ria

Dalam al-Quran, konsep ria dikaitkan dengan hal lain yang menjadi faktor pendorongnya. Pertama, ria yang terkait dengan infak/sedekah, misalnya disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 264 dan an-Nisa [4]: 38. Ria seperti ini dapat disebut sebagai ria kekayaan dengan tujuan agar disebut sebagai orang yang dermawan.

Kedua, ria yang terkait dengan ibadah, dengan motivasi agar orang lain memandangnya sebagai orang yang rajin, ahli ibadah, seperti yang disebut dalam surat an-Nisa [4]: 142 dan al-Maun [107]: 6. Kedua jenis perilaku ria ini adalah bagian dari perilaku munafik, yang tidak akan mendatangkan kemanfaatan sedikit pun, bahkan justru merugikan dan mencelakakan.

Terkait dengan konsep ria, Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar-nya menjelaskan bahwa ria dapat dipilah menjadi dua, yakni ria munafik dan ria kebiasaan. Ria munafik sudah jelas. Sementara ria kebiasaan sering terjadi tanpa disadari. Ria model ini muncul dari tindakan-tindakan yang secara lahiriyah sudah dilakukan sesuai dengan aturan, tetapi dilakukannya tanpa menghayati makna, tujuan, dan rahasia dari tindakan peribadatan tersebut.

Dalam hal ini, Abduh mencontohkan ibadah salat yang disebut dalam surat al-Ma’un membuat pelakunya justru celaka. Hal tersebut terjadi karena salat yang dilakukan hanyalah berdasarkan kebiasaan setiap hari, tanpa diselami makna dan tujuannya. Salat tersebut hanya sekadar menjadi tanda yang menunjukkan bahwa pelakunya adalah orang Islam. Salat hanya menjadi tanda dan identitas formal keislaman seseorang dan tidak mendatangkan kebaikan atau mencegah tindakan tercela.

Perilaku seperti ini akan menjebak orang pada formalitas belaka, sekadar menggugurkan kewajiban dan menghindari dosa. Motivasi agar tetap dianggap muslim inilah yang menjadikan perilaku ini masuk kategori ria.

Baca Juga: Tauhid sebagai Sistem Kepercayaan Etis

Konsep ria yang ketiga adalah ria yang terkait dengan sikap dan perilaku sombong, seperti dalam surat al-Anfal [8]: 47. Ini adalah perilaku orang-orang kafir yang selalu menunjukkan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya agar dipuji oleh orang lain. Dalam bahasa kekinian disebut flexing, yakni suka memamerkan apapun yang dimilikinya, baik berupa materi maupun capaian-capaian yang diraihnya.

Menurut hadis dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, disebutkan bahwa orang-orang yang masuk kelompok pertama untuk dihisab adalah: (a) orang yang berperang di jalan Allah karena ingin dipuji sebagai pahlawan yang pemberani; (b) orang yang belajar dan mengajarkan ilmunya karena ingin disebut sebagai ‘alim (pandai dan berilmu), dan; (c) orang yang selalu bersedekah karena ingin dianggap dermawan. Orang-orang dalam kelompok ini melakukan amal kebaikan karena menginginkan agar orang lain melihat dan mengetahui kelebihan-kelebihannya: kepahlawanannya, kepandaiannya, serta kekayaan dan kedermawanannya. Menurut hadis di atas, ketiganya akan langsung dimasukkan dalam neraka. Ma’adzallah.

Ria di Media Sosial

Di masyarakat kita yang sudah benar-benar menjadi masyarakat media sosial ini, tindakan untuk menunjukkan “kesuksesan” seperti di atas sudah dapat kita lihat setiap detik. Semua orang dengan cepat membagikan kabar tentang apapun yang sudah berhasil dilakukan atau didapatkan, entah bermanfaat atau tidak bagi orang lain. Hal tersebut terjadi karena setiap orang tidak mau dianggap ketinggalan di era teknologi digital yang serba cepat ini, sehingga setiap hal harus dijadikan bahan informasi yang harus segera dibagi.

Di kalangan masyarakat kebanyakan, fenomena ini lebih banyak didorong oleh keinginan untuk diakui eksistensinya. Ketika promosi diri tidak memberikan nilai positif pada orang lain dan lebih banyak karena “tentang dirinya” ingin diketahui orang lain, maka tindakan seperti ini bisa masuk kategori ria kebiasaan sebagaimana model Muhammad Abduh di atas. Meskipun tidak disertai kesombongan, perilaku seperti ini bisa juga akan mendorong seseorang pada narsisme yang justru kontra produktif.

Bagaimana kalau informasi-informasi tentang aktivitas dan capaian pribadi tersebut dimaksudkan untuk berdakwah? Untuk memberikan contoh-contoh kebaikan kepada masyarakat? Untuk memberikan motivasi kepada khalayak dalam menjalankan ajaran Islam?

Menunjukkan capaian dan keberhasilan pribadi kepada orang lain tidak sepenuhnya dilarang dalam Islam. Bahkan, kalau hal tersebut mampu mendatangkan kemaslahatan bagi orang lain, justru lebih baik untuk dilakukan.

Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dalam salah satu tulisannya menyatakan bahwa syariat Islam itu bangunan, dan asasnya adalah hikmah dan kemaslahatan umat. Oleh karena itu, inovasi apa pun yang membawa kemaslahatan, selama tidak menabrak hal-hal yang baku dalam peribadatan, dapat dibenarkan secara syariat. Karena tidak termasuk ibadah dengan aturan yang baku, menyebarkan berita kebaikan dan kebahagiaan yang dicapai secara pribadi yang bisa mendatangkan kemaslahatan bagi orang lain tentu tidak dilarang dalam Islam, sepanjang tidak mendatangkan kemadaratan, termasuk bagi pelakunya maupun orang lain.

Dalam Islam, kita mengenal konsep taḥadduṡ bin-niʻmah (mengabarkan nikmat). Selain untuk berbagi kebahagiaan, tindakan ini juga merupakan bagian dari rasa syukur atas nikmat yang sudah diterima. Menyampaikan adanya nikmat ini juga bisa memotivasi orang lain untuk mendapatkan hal serupa dengan cara yang benar.

Oleh karenanya, nikmat yang baik dan dicapai dengan cara yang baik pula yang pantas untuk disampaikan, dengan kesadaran bahwa hal tersebut adalah anugerah dari yang kuasa, sehingga tidak mendorong munculnya kesombongan. Dalam konteks pendidikan bagi masyarakat, kabar tentang nikmat yang diperoleh seseorang akan menjadi teladan bagi orang lain, serta menjadi sumber pelajaran berupa pengalaman orang lain.

Namun demikian, di era yang setiap saat selalu terjadi banjir informasi ini, dalam membagi kabar tentang pencapaian diri perlu diperhatikan agar masyarakat juga benar-benar terdidik, baik oleh isi dari berita tersebut maupun etika dan cara penyampaiannya. Yang harus dilakukan adalah mengampanyekan secara massif pesan-pesan keagamaan yang mencerahkan, memberikan contoh-contoh yang baik, tetapi sekaligus juga harus mengantisipasi terjadinya fenomena celebrity worship syndrome, yang sering menyeret masyarakat pada fanatisme tanpa dasar.

Di tengah masyarakat dengan budaya yang serba instan dan pertimbangan rasionalitas yang makin menurun, jangan sampai ajaran Islam juga hanya diambil dan dipelajari secara instan tanpa pemahaman yang mendalam, karena hal tersebut hanya akan mendorong formalitas keagamaan yang makin kuat, yang tidak berkontribuasi banyak dalam mewujudkan Islam yang berkemajuan. Wallahu a’lam.

*Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Sekretaris Bidang Publikasi dan Kerjasama, Dosen UIN Sunan Kalijaga

Related posts
Berita

Terima Wakaf Rumah, PDA Tuban Akan Gunakan untuk Dakwah Rahmatan Lil ‘Alamin

Tuban, Suara ‘Aisyiyah – Keluarga Yulistiana dengan tulus dan ikhlas mewakafkan sebuah rumah yang berlokasi di Jl. Tonny Koeswoyo Nomor 3, Kelurahan…
Kalam

Akhlak dalam Berdakwah

Oleh: Tri Yaumil Falikah* Dakwah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam penyebaran agama Islam. Oleh karena itu, dakwah merupakan kewajiban bagi setiap…
Berita

Edukasi Anak TPA, Mahasiswa FK UAD Adakan DIGESTI

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Sebelum menyelesaikan masa-masa pembinaan di Pesantren Mahasiswa K.H. Ahmad Dahlan (Persada), Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Ahmad Dahlan (FK…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *