- Menjelang Pemilu 2024, Suara 'Aisyiyah menyediakan ruang #pemilukita. Ruang ini kami buka agar masyarakat dapat bersama-sama mewujudkan pemilu yang substantif dan inklusif.

ilustrasi foto: istockphoto
Oleh: Mohammad Damami Zein
Dalam Q.s. An-Nisa [4]: 59 Allah swt. berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (-Nya) serta ulil amri di antara kalian. Kemudian bila kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan hal tersebut kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (-Nya) jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhirat; yang demikian itu lebih baik dan lebih baik akibatnya”.
Perlu kiranya dicermati, bahwa dalam ayat di atas kata “athi’u” hanya berulang untuk kata “Allah” dan “rasul” saja, sedangkan kata “uli al-amri” tidak didahului secara tersendiri dengan kata “athi’u”. Susunan kalimat yang seperti ini memiliki konsekuensi yang sangat tajam.
Kata “athi’u-‘l-laha” berarti: taatilah Allah. Artinya, apa yang diperintahkan Allah, laksanakan, sedangkan apa yang dilarang Allah, tinggalkan. Demikian juga pemahaman terhadap kata “athi’u-‘r-rasula” juga berarti: taatilah Rasul (-Nya). Artinya, apa yang diperintahkan Rasul, laksanakan, sedangkan apa yang dilarang Rasul, tinggalkan. Di sini, Rasul ditaati karena Rasul sebagai “utusan” adalah melaksanakan apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang oleh Allah s.w.t. bahwa untuk taat kepada Allah, maka petunjuk teknisnya dan petunjuk kelengkapannya adalah dari Rasulullah.
Sebagaimana contoh, perintah salat “aqimi-‘sh-shalata li dzikri” (dirikan salat untuk mengingat-Ku; Q.s. Thaha [20]: 14) masih sangat umum dan cara pelaksanaannya juga belum dicantumkan secara rinci, maka untuk tahu bagaimana caar melaksanakan salat, Rasulullah yang mengajarinya secara rinci dalam hadis-hadisnya.
Sementara itu, kata “uli al-amri” tidak didahului secara tersendiri dengan kata “athi’u”. Apa maknanya ini? Kalau ditelusuri secara kebahasaan, maka di sini posisi “uli al-amri” adalah orang atau lembaga yang wajib secara mutlak taat dan mengikut secara ketat kepada Rasulullah dan Allah swt. Jadi, sosok “uli al-amri” harus lurus dan mengikuti Rasulullah secara ketat. Hanya “uli al-amri” yang memiliki karakter seperti itulah yang layak ditaati umat Islam.
Di dalam ayat 14 surat Thaha di atas juga ditegaskan bahwa bila terjadi perbedaan pendapat yang perbedaan pendapat tersebut sukar dikompromikan, maka jalan satu-satunya adala kembali pada apa yang diperintahkan dan dilarang oleh Allah (al-Qur’an) dan Rasul-Nya (as-Sunnah). Apa saja yang dilakukan oleh “uli al-amri” juga secara ketat dikoridori dan dibentengi oleh apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.
Apa yang Disebut “Politik”?
“Politik” dalam arti yang luas, adalah aktivitas yang dengannya masyarakat membuat, memelihara, dan memeperbaiki aturan umum untuk mengatur kehidupan mereka (Heywood, 2014: 2). Jadi, menurut jangkauan definisi tersebut, maka kata “politik” itu bisa merambah ke mana-mana, sekalipun kata “politik” tidak bisa lepas dari akar katanya, yaitu “polis” (bahasa Yunani) yang artinya: negara-kota atau kota-praja, yakni sebuah organisasi sosial yang memiliki independensi sistem pemerintahan sendiri (Heywood, 2014: 5). Dengan demikian faktor “kuasa, kekuasaan” tetap menjadi bagian terpenting dari apa yang disebut “politik”.
Politik adalah salah satu bentuk presentasi atau tampilan dari kerja “sistem”. Pengertian “sistem” itu sendiri adalah: sebuah rangkaian kerja yang di dalamnya terdapat unsur-unsur yang saling berhubungan untuk menghasilkan satu atau seperangkat hasil-kerja (produk kerja). Politik, karena juga berbentuk tampilan kerja-sistem, maka proses berlakunya politik juga menururt kaedah apa yang disebut “sistem” tersebut.
Sejak manusia lahir ke alam dunia, maka dia akan ditelikung oleh rangkaian sistem-sistem. Misalnya secara urut dapat disebut di sini: sistem keluarga, sistem teman sebaya/seusia, sistem pertetanggan, sistem organisasi pemerintahan, sistem kenegaraan, sistem pekerjaan, sistem ekonomi, sistem kebudayaan, dan sistem politik. Jadi, hidup manusia dalam kesehariannya dikepung oleh berbagai sistem tersebut. Dengan demikian, mau tidak mau, suka atau tidak suka, rela atau terpaksa, setiap orang pasti terlilit oleh berbagai sistem tadi.
Sebagai “sistem”, maka politik memiliki beberapa unsur yang bekerja di dalamnya, antara lain: (1) ideologi (gagasan atau paham yang menjadi dasar atau tujuan); (2) aktivisme (penyusunan visi, misi, program, operasionalisasi, sistem evaluasi); (3) militansi anggota; dan (4) jaringan kegiatan (networking of activism).
Baca Juga: Etika Politik menurut Islam
Dalam ideologi politik di dalamnya dirumuskan konsep-konspe dasar, fondasi gerakan, dan falsafah tujuan akhir yang bersifat ideal. Ideologi ini bisa dibangun berdasar atau berinspirasi dari ayat-ayat kitab suci, bisa juga karena berpangkal dari pengamatan fakta lapangan lalu dirumuskan secara falsafi berupa gagasan-gagasan yang telah mengerucut. Paham dalam ideologi semacam ini biasanya lalu disosialisasikan berdasar “nalar umum” yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat mulai dari masyarakat yang sangat awam sampai lapisan masyarakat intelektual yang memiliki watak kritis (critical mind).
Gerakan politik –dalam partai politik utamanya– akan mudah diombang-ambingkan situasi dan keadaan, bahkan sangat rapuh dan mudah runtuh, kalau rumusan ideologinya tidak jelas dan tidak disosialisasikan secara militan kepada para pengikut gerakan politik tersebut dari seluruh lapisan yang ada.
Aktivisme politik juga harus jela dan tegas. Visi, misi, dan program harus dibuat menarik dan bersifat dinamis agar tidakmudah menyebabkan rasa bosan dan mudah ditinggalkan pengikut. Masalah operasionalisasi gerakan dan sistem evaluasi harus secata terus menerus dipercanggih sesuai dengan perkembangan komunikasi sosial yang ada. Misalnya, dalam zaman digitalisasi dan gadgetisasi perlu dimanfaatkan, namun tetap bersifat positif dan produktif, bukan sebaliknya (seperti berita hoaks dan sebagainya).
Masalah militansi anggota juga sangat penting dalam gerakan politik. Militansi ini akan tercipta apabila pembelajaran ideologi politik dapat diselenggarakan secara massif dan berkelanjutan. Kursus-kursus politik dan latihan-latihan dalam perkaderan dilaksanakan secara terukur dalam seluruh komponen kegiatan gerakan politik, baik dari sudut struktur organisasi, infrastruktur organisasi, apalagi suprastruktur organisasi.
Seluruh komponen gerakan politik perlu bekerja secara optimal menurut bidang masing-masing, tetapi harus terhindar dari sikap ego-sektoral; perlu sinergi antarkomponen sedemikian rupa sehingga tercipta suasana saling mendukung dan saling menguatkan. Militansi anggota juga ditandai dengan tetap tersimpannya secara rapi keputusan atau kebijakan yang sifatnya “rahasia organisasi”, atau dengan lain kata tidak pernah terjadi “kebocoran rahasia organisasi”, sekalipun gerakan politik tetap bersifat “terbuka”.
Yang terakhir, jaringan kegiatan (networking of activism) sama sekali tidak boleh diabaikan. Jaringan kegiatan ini untuk keperluan tetap meng-up to date-kan gerakan. Di situ akan banyak proses pembelajaran dan menimba inspirasi, bukan meniru! Di situ akan terjadi mekanisme simbiosis-mutualis antara gerakan yang satu dengan gerakan yang lain. Saling mengisi kekosongan yang ada, apalagi kalau dalam wilayah “kekosongan” tersebut terdapat “titik kuat” (strength), apalagi kalau sampai ada “titik lemah” (weakness) antargerakan, tentu hal ini sangat oenting untuk diperhatikan dan bahkan wajib untuk dicari pemecahannya.
Mengaitkan Agama dengan Kepentingan Politik
Seperti telah disinggung di atas, bahwa faktor kuasa atau kekuasaan merupakan bagian yang begitu penting dalam politik, maka dapat dipahami politik (yaitu politik praktis terutama) menjadi begitu menarik bagi banyak orang. Politik menjadi salah satu bentuk “kepentingan” yang luar biasa menarik.
Daya tarik tersebut akan menghebat karena adanya harapan-harapan yang tersimpan dalam kegiatan politik tersebut, seperti keterkenalan nama, popularitas, penghasilan yang lumayan, dan status sosial di masyarakat. Barangkali tidak jarang orang tergiur berkiprah dalam bidang politik dengan latar belakang pendorong adanya harapan-harapan semacam itu. Tetapi ada juga yang tidak seperti itu.
Kalau kita menilik dari aspek sejarah dakwah Rasulullah Muhammad saw., kita perlu mencermati landasan normatif yang termuat dalam Q.s an-Nashr [110]: 1-2 (yang artinya):
Artinya, “Apabila telah datang pertolongan Allah dan (berhasillah dicapai) kemenangan; dan engkau lihat (dengan mata kepala) banyak manusia masuk ke dalam agama Allah dengan berbondong-bondong”.
Dalam ayat-ayat di atas diinformasikan Rasulullah saw. telah mencapai kemenangannya, yaitu takluknya kota Mekkah yang dipimpin oleh Abu Sufyan ke tangan Rasulullah. Tentu saja ini berkat pertolongan Allah; ini menandakan “kuasa dan kekuasaan” telah berpidah dari tangan Abu Sufyan ke tangan Rasulullah.
Kalau teori tentang “politik” yang telah diulas di atas diterapkan, maka sebenarnya peristiwa kemenangan Rasulullah itu dapat disebut sebagai “peristiwa politik”. Sungguh pun begitu, peristiwa politik ini hanya sarana untuk keperluan dakwah Islamiyah dan ini ditandai dengan isi ayat ke-2 di atas. Yang terakhir inilah yang menjadi tujuan akhir dan tugas utama Rasulullah.
Dalam konteks pemahaman kedua ayat di atas, maka hubungan antara “politik sebagai sarana” dan “dakwah Islamiyah sebagai tujuan” tidak dapat dipisahkan. Di sini makna “politik” berarti: untuk menjaga agar dakwah Islamiyah dapat berjalan tanpa pemaksaan keyakinan, namun juga agar keperluan menjalankan agama terjaga dan terfasilitasi dengan sebaik-baiknya.
Baca Juga: Pak AR Menjawab: Beragama dan Ber-Pancasila, Apa Bisa?
Rasulullah tidak mempunyai ambisi pribadi untuk berkuasa “demi untuk kekuasaan” itu sendiri, melainkan “terpaksa” menggeser kekuasaan di Mekkah pada waktu itu agar dakwah Islamiyah di kota itu dan sekitarnya menjadi meluas. Inilah bentuk format awal hubungan antara “politik sebagai sarana” dan “dakwah Islamiyah sebagai tujuan” dan sekaligus menegaskan format “roh” dari hubungan kedua hal tersebut.
Dengan demikian, tolok ukur perlu-tidaknya tindakan politik yang menjurus ke arah kuasa dan kekuasaan adalah: terganggu-tidaknya jalannya dan ketengannya dakwah Islamiyah. Manakala dakwah Islamiyah terjaga dapat berjalan sebagaimana mestinya dan juga dakwah Islamiyah dapat terfasilitasi dengan sebaik-baiknya serta tidak ada ancaman keberlangsungan dan keberkembangan umat Islam, maka tindakan politik yang menjurus kuasa dan kekuasaan untuk sementara bisa dikendorkan.
Menentukan Sikap Politik
Kalau masalah “agama” dibawa-bawa dalam urusan hiruk-pikuk pemilihan umum tokoh eksekutif dan legislatif, bagaimana menyikapinya secara konstruktif dan produktif? Pertimbangan-pertimbangan berikut ini kiranya patut direnungkan.
Pertama, tetapkah hubungan “politik sebagai sarana” dan “dakwah Islamiyah sebagai tujuan” masih aman-aman saja bagi umat Islam, baik dalam skala lokal, maupun skal nasional? Kalau masih aman-aman saja, maka pilihan bisa relatif netral. Terserah mana tokoh yang disukai.
Kedua, jika “dakwah Islamiyah sebagai tujuan” terasa terganggu jalannya, terganggu ketenangannya, dan terganggu keberlangsungan serta perkembangannya, maka umat Islam perlu memilih tokoh yang jelas-jelas tampak ideologi keislamannya. Sebab, hal ini penting, seperti terurai di depan, kalau rumusan ideologi tidak jelas dan militansi pengikut gerakan politik tidak solid, maka gerakan politik akan mudah diombang-ambingkan oleh situasi dan keadaaan. Ini tidak boleh terjadi, lebih-lebih kalau “dakwah Islamiyah sebagai tujuan” jelas-jelas terganggu jalannya, terganggu ketenangannya, dan terganggu keberlangsungan dan perkembangannya.
Itulah sebabnya, perlu memilih tokoh-tokoh yang ideologi keislamannya tidak diragukan lagi. Di sini partai harus terpanggil memikirkan sosok tokoh yang akan ditampilkannya, kepentingan-kepentingan lain yang kurang relevan perlu dipinggirkan atua kalau perlu disingkirkan. Tidak elok kiranya kalau orang-perorang rakyat kecil disuruh meneliti sendiri sosok-sosok yang layak dipilihnya. Rakyat bawah atau rakyat awam tidak ada waktu untukm elakukan hal-hal semacam itu dan lagi rakyat bawah dan rakyat awam belum memiliki kemampuan memadai untuk melakukan penelitian seperti itu.
Yang jelas, rakyat bawah dan awam yang berjuta-juta jumlahnya ini perlu terlatih menghadapi pemilihan umum dengan sikap relatif “tenang” dan menganggap sebagai hal yang bersifat rutin, bukan hal yang tampak “mencekam menakutkan”. Jangan samapi rakyat bawah yang sudah susah dalam mencapai derajat kesejahteraan ini masih dibebani hal-hal yang seharusnya bukan mereka yang harus memikirkannya. Wallahu a’lam.
*Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah