Politik dan Hukum

Asas, Integritas, dan Krisis Zaman Kita

Azas, Integritas, dan Krisis Zaman Kita

Oleh: Suko Wahyudi*

“Barangsiapa tidak tahu bersetia pada asas, dia terbuka terhadap segala kejahatan: dijahati atau menjahati.” — Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa, hal. 5

Kalimat yang sederhana ini, dalam kepadatan maknanya, mengandung daya gugah yang dalam. Pramoedya, dalam cara tutur khasnya, tidak hanya sedang berbicara tentang individu, melainkan juga tentang bangsa. Ia ingin menegaskan bahwa asas—prinsip, dasar nilai, pedoman hidup, adalah fondasi yang menjaga manusia dan bangsa agar tidak tergelincir ke dalam kehancuran moral maupun sosial.

Barangsiapa mengabaikan asas, ia akan kehilangan pegangan. Ia menjadi rapuh, mudah ditindas oleh yang lebih kuat, atau justru berubah menjadi penindas bagi yang lebih lemah. Ia dapat menjadi korban dan sekaligus pelaku kejahatan. Inilah paradoks yang muncul ketika manusia atau bangsa hidup tanpa kompas moral yang teguh.

Dalam pandangan filsafat moral, asas merupakan poros tempat nilai dan nurani beristirahat. Kesetiaan pada azas berarti menjaga keutuhan diri: keselarasan antara pikiran, ucapan, dan tindakan.

Tanpa kesetiaan ini, manusia bagaikan daun kering yang terombang-ambing angin, mudah terjerumus dalam godaan kepentingan sesaat, mudah goyah oleh tekanan, dan mudah hanyut dalam arus. Sosok seperti ini bukan hanya rentan dijahati, melainkan juga rawan menjahati sesamanya.

Tanpa Asas, Bangsa Mudah Terperdaya

Kedalaman kalimat Pramoedya terletak pada kesadaran ganda yang ia bangun: peringatan bagi individu dan sekaligus peringatan bagi bangsa. Sebuah bangsa yang tidak tahu bersetia pada asas bersama akan mudah diperdaya, mudah diperalat, bahkan mudah menjelma menjadi penjajah bagi dirinya sendiri.

Fenomena kehidupan politik kita memperlihatkan betapa kuatnya relevansi pesan tersebut. Politik yang seharusnya dijalankan dengan asas keadilan, keberpihakan kepada rakyat, dan tanggung jawab moral, kerap kali terjebak pada praktik oportunisme. Partai-partai yang lahir dari ideologi tertentu bisa dengan cepat berbelok demi kepentingan koalisi jangka pendek.

Politisi yang hari ini bersuara lantang mengkritik suatu kebijakan, esoknya dapat duduk berdampingan dengan pihak yang dikritiknya demi meraih kursi kekuasaan. Politik tanpa asas menjelma menjadi panggung transaksional belaka, yang melahirkan kebijakan bukan dari kesadaran etis, melainkan dari kompromi pragmatis.

Dalam keadaan demikian, rakyatlah yang paling dirugikan. Keputusan-keputusan yang seharusnya mencerminkan cita-cita bersama justru berubah menjadi alat memperkuat kedudukan segelintir elit. Para politisi yang mengkhianati asas pada akhirnya juga menjahati dirinya sendiri: mereka kehilangan martabat, kehilangan kepercayaan rakyat, dan kehilangan makna sebagai pemimpin. Sesungguhnya, politik tanpa asas bukan hanya melahirkan kehancuran moral, tetapi juga membuka jalan menuju kehancuran bangsa.

Ekonomi Tanpa Asas adalah Kapitalisme

Krisis serupa dapat diamati dalam bidang ekonomi. Sistem ekonomi modern kerap digerakkan oleh logika keuntungan semata, bukan oleh asas keadilan. Kapitalisme yang tak terkendali menjadikan segala sesuatu dapat diperjualbelikan: tanah, hutan, bahkan manusia.

Para pengusaha yang menanggalkan asas kejujuran dan tanggung jawab sosial dapat dengan mudah melakukan manipulasi, mengabaikan keselamatan lingkungan, dan menindas buruh. Sementara itu, masyarakat kecil yang terhimpit kebutuhan dapat kehilangan pegangan moral, memilih jalan pintas dengan melakukan penipuan, korupsi kecil-kecilan, atau terjerat utang yang mencekik.

Dalam kondisi demikian, benarlah kalimat Pramoedya: siapa pun yang tidak setia pada asas akan dijahati atau menjahati. Buruh dijahati oleh sistem yang menindas, sementara pemilik modal menjahati buruh demi menjaga keuntungan. Rantai kejahatan ini terus berlangsung ketika keadilan tidak menjadi pijakan. Ekonomi pun terjerumus menjadi arena perebutan kuasa, bukan sarana untuk menghadirkan kesejahteraan bersama.

Baca Juga: Masyarakat Sipil dan Kerja Advokasi Sumber Daya Alam

Bidang sosial budaya pun tidak luput dari krisis kesetiaan pada asas. Globalisasi dan teknologi digital membawa banyak manfaat, tetapi juga melahirkan tantangan besar. Arus informasi yang deras melahirkan budaya instan, pamer, dan konsumtif. Media sosial mempercepat pergeseran itu: gosip lebih cepat dipercaya daripada fakta, sensasi lebih dihargai daripada substansi. Orang berlomba mencari pengakuan lewat angka pengikut, bukan melalui integritas dan kontribusi.

Akibatnya, masyarakat tanpa asas mudah tercerabut dari akar kearifan lokal. Nilai luhur seperti gotong royong, kesederhanaan, dan kebersahajaan kian terpinggirkan. Masyarakat menjadi rapuh: mudah dipecah-belah oleh isu, mudah diadu domba oleh kepentingan politik, mudah diperdaya oleh narasi palsu. Mereka dijahati oleh kekuatan yang lebih besar, tetapi sekaligus menjahati diri sendiri dengan menanggalkan identitas dan kebajikan yang diwariskan.

Kesetiaan pada Asas

Pramoedya, melalui Anak Semua Bangsa, ingin menunjukkan bahwa kolonialisme bukan semata persoalan penindasan fisik, melainkan juga penindasan batin. Kesetiaan pada asas adalah benteng yang menjaga bangsa agar tidak tunduk pada kuasa luar dan tidak menindas dirinya sendiri. Bangsa yang kehilangan asas akan mudah menjual kedaulatan, mudah menggadaikan kekayaan alam, dan mudah meninggalkan nilai budayanya sendiri.

Namun kesetiaan pada asas tidak berarti kekakuan. Ia adalah keteguhan memegang nilai fundamental, sekaligus keterbukaan dalam cara dan strategi. Seorang politisi yang setia pada asas tetap bisa berkompromi, tetapi tidak mengkhianati kepentingan rakyat. Seorang pengusaha yang setia pada asas tetap mencari keuntungan, tetapi tidak menindas pekerja atau merusak lingkungan. Seorang anggota masyarakat yang setia pada asas tetap mengikuti perkembangan zaman, tetapi tidak meninggalkan akar budaya dan moralnya.

Kesetiaan pada asas menjadikan manusia merdeka. Ia tidak mudah dijajah oleh kepentingan, tidak mudah diperdaya oleh nafsu, dan tidak mudah diperalat oleh kekuasaan. Dengan berpegang pada asas, manusia berdiri tegak sebagai pribadi yang utuh. Tanpa asas, manusia hanya menjadi bayangan yang diterpa angin, kehilangan orientasi dan makna.

Menjahati atau Dijahati?

Pramoedya telah menegaskan dalam kalimatnya: “Barangsiapa tidak tahu bersetia pada asas, dia terbuka terhadap segala kejahatan: dijahati atau menjahati.” Kalimat itu tidak pernah kehilangan relevansi, bahkan semakin menemukan maknanya di tengah kegaduhan zaman. Ia dapat dibaca sebagai refleksi pribadi, sebagai panggilan moral, sekaligus sebagai peringatan kebangsaan.

Politik yang setia pada asas akan melahirkan keadilan. Ekonomi yang setia pada asas akan menghadirkan kesejahteraan. Budaya yang setia pada asas akan menumbuhkan peradaban. Sebaliknya, politik yang mengkhianati asas melahirkan penindasan. Ekonomi yang menanggalkan asas menumbuhkan ketamakan. Budaya yang melupakan asas melahirkan kehampaan.

Pramoedya memberi kita cermin untuk bercermin: apakah kita, baik sebagai individu maupun sebagai bangsa, sudah bersetia pada asas, ataukah kita sedang berjalan menuju jurang di mana kita hanya akan dijahati atau menjahati?

*Pegiat Literasi Tinggal di Yogyakarta

 

Related posts
Politik dan Hukum

Hukum Tata Negara dan Jebakan Opini Demokrasi

Oleh: Suko Wahyudi* Demokrasi sering dipuja sebagai puncak peradaban politik modern. Ia dianggap lambang kemajuan bangsa dan tanda kedewasaan rakyat. Dalam teori,…
Pendidikan

Sekolah untuk Apa dan bagi Siapa?

Oleh: Suko Wahyudi* Pendidikan di negeri ini tengah berdiri di persimpangan. Di satu sisi, ia digadang sebagai kunci kemajuan bangsa; di sisi…
Kebijakan Politik

Gaza: Genosida Paling Tampak Mata

Oleh: Suko Wahyudi* “We will not go down In the night, without a fight. You can burn up our mosques and our…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *