Ada banyak sosok perempuan yang memainkan peran strategis dalam sejarah Islam. Sebut misalnya Khadijah binti Khuwailid, Sumayyah binti Khayyat, ‘Aisyah binti Abu Bakar, Khaulah binti Tsa’labah, Fatimah binti Muhammad, Asma binti Abu Bakar, hingga Khaulah binti Ja’far.
Beberapa perempuan juga terlibat dalam peristiwa baiat aqabah, seperti Afra binti Ubaid ibn Tsa’labah, Nusaibah binti Ka’ab (Ummu Athiyah Al-Anshariyah), dan Asma binti Amr bin Ady. Namun di antara nama-nama tersebut, Asma binti Abu Bakar merupakan perempuan penyokong utama dalam peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad saw. dan Abu Bakar ash-Shidiq ra. dari Makkah ke Madinah.
Peran Strategis Asma dalam Peristiwa Hijrah
Setelah melakukan kesepakatan dengan penduduk Yatsrib, Nabi Muhammad memutuskan untuk memberangkatkan umat Islam ke sana. Oleh para sejarawan, peristiwa tersebut diyakini terjadi pada tahun 622 Hijriyah, atau tahun ke-13 kenabian.
Mula-mula ada 200 umat Islam yang diberi izin untuk berangkat ke Yatsrib secara bertahap dan sembunyi-sembunyi. Beberapa hari berikutnya barulah Nabi Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar ash-Shidiq, melakukan perjalanan ke kota yang kelak berganti nama menjadi Madinah Al-Munawwarah.
Philip K. Hitti dalam A Short History of Arabs: Sejarah Ringkas Peradaban Arab-Islam (2018) menjelaskan bahwa peristiwa hijrah tersebut bukan murni sebuah “pelarian”, melainkan sebuah rencana yang sudah dipersiapkan matang-matang setidaknya dalam kurun waktu dua tahun terakhir (hlm. 43).
Baca Juga: Peran Perempuan Muslim dalam Memakmurkan Dunia
Meski begitu, rencana hijrah Nabi Muhammad dan Abu Bakar hampir digagalkan oleh kaum kafir Quraisy. Mereka berencana membunuh Nabi Muhammad. Mengetahui rencana tersebut, Nabi segera menyiapkan siasat dengan mengutus Ali bin Abi Thalib untuk menempati tempat tidurnya.
Melewati barisan kaum kafir Quraisy, Nabi Muhammad dan Abu Bakar pergi meninggalkan Makkah. Untuk menghindari sergapan dan kejaran, keduanya memilih rute melingkar yang membuat jarak tempuhnya semakin jauh.
Dalam momen menegangkan tersebut, seorang penggembala domba bernama Amir bin Fuhayra memainkan peran sebagai penyamar jejak. Peran penting lain dimainkan oleh dua anak Abu Bakar ash-Shidiq, yakni Abdullah dan Asma. Keduanya berperan sebagai pengumpul informasi dan pembawa makanan.
Ada kejadian menarik yang melibatkan Asma binti Abu Bakar dalam peristiwa hijrah tersebut. Suatu ketika, saat hendak mengirimkan makanan kepada Nabi dan ayah tercintanya, Asma tidak menemukan selendang untuk menggantung makanannya. Akhirnya, tanpa ragu ia merobek ikat pinggangnya menjadi dua bagian; satu bagian untuk menggantung makanan, satu helai lainnya digunakan sebagai sabuk. Sebab kejadian itu, Asma binti Abu Bakar dijuluki “Dzatun Nithaqaini” (perempuan yang mempunyai dua ikat pinggang).
Selain itu, pengorbanan Asma untuk Islam juga tidak main-main. Ia tidak ragu merelakan seluruh harta keluarganya dibawa ayahnya ketika peristiwa hijrah. Ia bahkan “membohongi” kakeknya, Abu Quhafah, dengan mengatakan bahwa ia telah ditinggali harta yang cukup banyak. “Sekali-kali tidak, Kakek. Sesungguhnya beliau telah menyisakan buat kami harta yang banyak,” ujar Asma.
Akhir Hidup
Dalam Perempuan Periwayat Hadis (2013), Agung Danarto mengungkap bahwa ada setidaknya 132 shahabiyah yang terlibat dalam periwayatan hadits. Di antara 132 nama tersebut, ‘Aisyah binti Abu Bakar menjadi periwayat hadits terbanyak dari kalangan perempuan, yakni 5.965 hadits. Ada juga nama Ummu Athiyah yang meriwayatkan 119 hadits. Adapun Asma diketahui meriwayatkan 58 hadits.
Semasa hidupnya, Asma juga pernah terlibat dalam perang fii sabilillah. Ia tercatat menjadi pejuang di perang Yarmuk bersama suaminya, Zubair bin Awwam.
Baca Juga: Hijrah dan Visi Masyarakat yang Berkeadaban
Keterlibatan Asma dalam berbagai peristiwa penting dalam sejarah Islam itu membuktikan bahwa ia merupakan Muslimah sejati. Ia adalah perempuan salehah, sederhana, dan pemberani. Ia hidup hingga usia 100 tahun, atau lebih tepatnya meninggal pada tahun 73 atau 74 Hijriyah. (brq)
*diolah dari berbagai sumber