Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Benarkah perempuan pada masa Nabi Muhammad saw. mendapat posisi dan peran yang setara dengan laki-laki? Ketua Majelis Hukum dan HAM PP ‘Aisyiyah Atiyatul Ulya menegaskan bahwa jawabannya adalah: iya. “Sejak masa Nabi saw. banyak perempuan yang bertanggung jawab atas nafkah keluarganya,” ujarnya.
Munculnya pemahaman yang cenderung membatasi peran perempuan di ranah publik, menurutnya, disebabkan metode memahami al-Quran dan hadits secara tekstual. Hal itu kemudian diperkuat dengan banyaknya pandangan ulama klasik yang patriarkhis.
Dalam konteks itulah Ulya menilai usaha PP ‘Aisyiyah dengan mengadakan pengajian Ramadhan 1442 H ini sebagai langkah yang tepat. “Bukan berarti baru memulai, tetapi meneguhkan kembali posisi dan peran kerisalahan perempuan,” jelasnya.
Baca Juga
Lima Nilai Kesetaraan Laki-Laki dan Perempuan menurut Al Yasa Abubakar
Guna membuktikan bahwa Islam tidak membatasi perempuan untuk memainkan peran di ranah publik, Ulya menyampaikan dinamika aktifitas perempuan di berbagai sektor kehidupan yang dirangkum dalam hadits.
Sebagai contoh, suatu ketika ada seorang sahabiyah yang hendak memanen anggur, tetapi ada seorang sahabat yang mencegahnya melakukan hal tersebut. Akhirnya, sahabiyah ini mengadu kepada Nabi saw., dan Nabi memberikan izin kepadanya.
حدثنا حجاج بن محمد قال: قال ابن جريج أخبرني أبو الزبير أنه سمع جابر بن عبد الله يقول طلقت خالتى فأرادت أن تجد نخلها فزجرها رجل أن تخرج فأتت النبى صلى الله عليه وسلم فقال: بلى فجدى نخلك فإنك عسى أن تصدقى أو تفعبى معروفا (رواه مسلم)
Artinya, “…dari Jabir bin Abdullah berkata: bibi saya telah diceraikan suaminya dan dia bermaksud untuk memetik/memanen buah anggurnya. Kemudian seorang laki-laki mencegahnya untuk keluar. Kemudian ia mendatangi Nabi saw. (untuk mengadukan masalahnya), lalu Nabi saw. bersabda: ya, petiklah buah anggurmu, karena dengan itu kamu akan dapat bersedekah atau kamu akan melakukan kebaikan,” (HR. Muslim).
Menurut Ulya, setelah Nabi saw. wafat, banyak perempuan yang bersuara lantang untuk menuntut hak-haknya. “Pada masa sahabat, perempuan juga sudah mulai mengkritisi budaya patriarkhi yang cenderung memandang sebelah mata terhadap perempuan,” ujar Ulya.
Sosok perempuan yang dikenal sangat lantang mengkritisi budaya patriarkhi adalah ‘Aisyah ra. Dalam sebuah riwayat dari Ad-Darimi dan Abu Dawud, ‘Aisyah dengan tegas menolak dipersamakannya perempuan dengan keledai dan anjing. Dalam banyak kasus, ‘Aisyah juga sering mengkritisi beberapa sahabat yang kurang menghargai hak-hak perempuan.
Pembacaan atas hadits yang tekstual dan sepotong-potong itulah yang menurut Ulya harus ditinggalkan. Untuk melihat bagaimana posisi dan peran kerisalahan perempuan, ia mengajukan saran agar dilakukan sosialisasi terkait hadits-hadits yang memberdayakan perempuan, dan teks hadits tentang posisi dan peran perempuan harus dibaca dan dipahami dengan mempertimbangkan prinsip perempuan berkemajuan.
Baca Juga
Sejarah ‘Aisyiyah: Kelahiran Perempuan Muslim Berkemajuan
Mengutip kitab An-Nisa Hawla Ar-Rasul, Ulya menutup pemaparannya dengan tiga poin penting, yakni (a) perempuan adalah separuh dari penduduk dunia; (b) perempuan adalah saudara kandung laki-laki, dan; (c) seperti halnya laki-laki, perempuan juga ditugaskan sebagai khalifah di muka bumi. “Perempuan tidak akan dapat melaksanakan peran kekhalifahan dengan baik kalau dalam beraktifitas tidak diberikan hak sebagaimana laki-laki,” pungkasnya. (sb)