Oleh: Dede Dwi Kurniasih
Pada awal kemunculannya, internet merupakan sebuah sarana yang memangkas cara hidup yang lamban dan seakan menihilkan jarak. Pesan teks, audio, dan visual yang biasanya membutuhkan perangkat untuk berpindah kemudian dengan mudahnya beralih ke suatu tempat yang jaraknya ratusan bahkan ribuan kilometer. Kesemuanya dilakukan dengan hanya membutuhkan “jaringan yang tak kasat mata”.
***
Tak bisa dimungkiri, segala kemudahan ini juga menghadirkan dampak lain bagi banyak kelompok usia, termasuk usia remaja yang memasuki gelombang pubertas. Fase pubertas dikuasai hormon yang membuat remaja semakin bersemangat mengenal dunia luar sekaligus penasaran dengan teka-teki pergaulan, hal yang dianggap tabu, dan mencari pengetahuan baru demi pengakuan dari lingkungan sosial mereka.
Persoalan remaja dan pubertasnya akan menjadi suatu masalah jika tidak dibarengi dengan adanya ruang dialog di dalam keluarga. Nihilnya ruang dialog bisa disebabkan oleh beberapa hal. Misalnya, ketika orang dewasa di sekitar remaja tidak memiliki pemahaman mengenai dunia virtual yang diakrabi si remaja. Pemahaman ini mencakup: 1) Sosial media dan cara menjadi mutual (berteman) yang biasanya berbeda di tiap-tiap platform (Twitter, Instagram, TikTok, Facebook, Pinterest, dan lain-lain), 2) Jenis platform yang digunakan untuk mencari teman dalam waktu singkat (mi chat atau aplikasi serupa lainnya).
Pemahaman mengenai beberapa kelompok aplikasi di media sosial akan mengantarkan kita pada logika bagaimana aplikasi ini bekerja membentuk jejaring sosial remaja serta dampak negatif apa saja yang akan mengintai jika remaja mengaksesnya tanpa teman bicara yang tepat. Singkat kata, mencari teman dan perhatian tidaklah sesulit generasi remaja 10 tahun yang lalu. Remaja masa kini, cukup membuat satu atau lebih akun media sosial. Sekali klik tombol, maka dengan singkat ia akan mendapatkan teman ngobrol yang radius jaraknya bisa ditentukan.
Baca Juga
Unjuk Kesalehan di Media Sosial
Jika dulu sejak kecil kita diajarkan untuk tidak bicara dengan orang asing, maka agaknya nasihat itu sudah tidak terlalu relevan untuk saat ini. Kita akan dengan mudahnya akrab dengan seseorang yang baru dikenal selama 5 menit di ruang obrolan hanya untuk mendapatkan perhatian sederhana berupa pertanyaan: apakah sudah makan, sudah salat, dan jam berapa akan tidur. Sebuah afeksi semu dari antah berantah yang bisa saja menjerumuskan.
Terkait kekerasan internet pada anak dan remaja, KPAI mencatat terdapat 1.940 kasus sepanjang tahun 2017-2019. Seperti halnya kasus kekerasan lain, kasus yang tercatat ini bisa jadi hanya fenomena gunung es. Masih banyak sekali kasus yang tidak tercatat, namun terjadi setiap hari di seluruh Indonesia.
Ribuan kasus yang tercatat tersebut terdiri dari dua jenis saja dari banyaknya varian kejahatan dunia maya yaitu pornografi dan perundungan media sosial. Fakta lain, pelaku dan korban dari kasus tersebut sama-sama masih usia anak-anak, bukan lagi orang dewasa kepada anak. Hal ini menimbulkan dilema, bukan hanya saat proses penegakan hukum, melainkan juga pekerjaan besar untuk konseling panjang dan pembenahan karakter keluarga, baik korban maupun pelaku.
Belakangan, bukan hanya pornografi yang membayangi aktivitas virtual remaja, ada beberapa jenis kekerasan lain yang mengintai remaja. Pertama, grooming. Grooming biasanya diawali dengan komunikasi intensif antara dua remaja yang akhirnya bersepakat menjalin relasi pacaran. Komunikasi ini bisa jadi berisi bujuk rayu supaya pasangannya bersedia mengirim foto atau video. Ada sebuah terminologi khusus di antara pengguna media sosial yakni post a picture (PAP). Jamak terjadi pelaku kekerasan meminta foto area intim dan pribadi korban. Kiriman foto ini akan menjerat korban lebih dalam lagi jika ia terlanjur mengirim sekali dan tiba-tiba menolak memberikannya lagi. Pelaku biasanya akan mengancam dengan cara menyebarkan foto lama jika korban menolak keinginannya. Dari sini biasanya masalah akan semakin panjang dan berujung menjadi kekerasan seksual.
Kedua, abusive relationship. Relasi yang terjalin lewat dunia maya biasanya berlanjut dalam ruang obrolan teks (WhatsApp, Messenger, dan lain-lain) dan telepon yang intensif. Hal ini membuat pelaku relasi sangat dekat dengan pasangannya daripada lingkungan sekeliling. Hubungan ini cenderung membuat keduanya teralienasi dengan lingkungan sekitar karena telanjur mengakrabi gadget setiap saat. Relasi ini biasanya mensyaratkan PAP di waktu aktual untuk menanamkan rasa saling percaya. Perilaku ini lambat laun berpotensi menjadi sebuah kekerasan jika dilakukan secara berulang dan adanya pembatasan gerak seseorang atau keduanya. Pola pergaulan dunia maya yang sejatinya dapat digunakan untuk memperluas jejaring malah berlaku sebaliknya karena relasi yang tidak berimbang dan tidak dilandasi rasa percaya.
Ketiga, perundungan di media sosial. Tak hanya di dunia nyata, perilaku perundungan juga muncul di dunia maya. Perundungan ini dilakukan baik oleh individu maupun kelompok. Perundungan juga menimpa hampir semua kelompok umur. Seringnya, korban perundungan menjadi sangat depresi karena kolom komentarnya lebih banyak dibanjiri ujaran kebencian. Tak jarang, perundungan seseorang di dunia maya berujung pada suatu tindakan ekstrem yakni bunuh diri.
Keempat, pembobolan data. Beberapa waktu lalu, sebuah akun mengunggah give away dengan syarat yang tak lazim: netizen yang ingin berpartisipasi diharuskan mengunggah foto bersama ibunya, menyebutkan nama gadis ibu di caption foto, serta menambahkan cerita bersama sang ibu. Sekilas hal ini adalah giveaway menarik dan mengharukan. Padahal jika ditelisik lebih jauh, kita akan sadar bahwa nama gadis ibu merupakan data penting dari akun finansial setiap orang. Kita patut curiga jika ada yang meminta nama gadis ibu kandung dengan berbagai modus. Apalagi jika klaim hadiah juga mensyaratkan foto KTP.
Baca Juga
Strategi Dakwah Menghadapi Tantangan Zaman (1)
Penting kiranya membekali remaja dengan pengetahuan untuk mengenal dirinya dengan baik seperti mengenalkan proses pubertas, konsekuensi logis dari kesalahan dirinya saat ini yang berpotensi mengubah masa depan secara total, serta kemungkinan masa remaja menjadi aset atau malah memperburuk masa depan. Literasi media menjadi satu-satunya cara agar remaja tidak terjerumus dalam kekerasan, baik sebagai pelaku maupun korban.
Sedangkan orang tua wajib membentuk karakter sebagai pribadi dewasa yang mengedepankan berpikir kritis, kreatif, dan mau berkolaborasi serta berkomunikasi dengan baik dengan remaja di sekelilingnya. Empat hal ini penting untuk membentengi diri agar tidak mudah terbawa dengan arus media sosial yang cepat berubah dan mengaburkan karakter asli.