Tawaf ialah mengelili Ka’bah sebanyak tujuh kali putaran. Dalam melaksanakan tawaf, jemaah disyaratkan bersuci dari hadas dan najis karena tawaf sama seperti shalat yang mensyaratkan suci dari hadas dan najis.
Dari Ibn ‘Abbas r.a. [diriwayatkan bahwa] ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: Tawaf di Baitullah itu merupakan salat, hanya saja Allah Swt membolehkan kamu berbicara di dalamnya, akan tetapi barang siapa berbicara, jangan bicarakan kecuali kebaikan [H.R. al-hakim dan Ibn hibban dan disahihkan oleh al-hakim, Ibn hibban, al-Albana dan al-Arna’ūt).
Jenis Tawaf
Terdapat lima macam tawaf. Pertama, Tawaf Qudum, yakni Tawaf yang dilakukan oleh orang yang melakukan haji ifrad atau qiran ketika tiba di Masjidil Haram. Kedua, Tawaf Ifadah, yaitu Tawaf yang dilakukan setelah wukuf di Arafah. Tawaf Ifadah tidak dapat ditinggalkan karena merupakan rukun haji, sehingga apabila tidak dilakukan maka hajinya dianggap tidak sah.
Ketiga, Tawaf Wada’, yaitu Tawaf yang dilakukan ketika akan meninggalkan kota Mekkah. Keempat, Tawaf Umrah, yaitu tawaf yang dilakukan saat melaksanakan ibadah umrah. Kelima, Tawaf Sunnah (Tathawwu’), yaitu Tawaf yang bisa dilakukan kapan saja (setiap waktu) dengan niat mendekatkan diri kepada Allah swt.
Syarat dan Cara Tawaf
Terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksaan Tawaf, yaitu: 1) bersuci dan menutup aurat sebagaimana salat2) Tawaf dimulai dan diakhiri di sudut Hajar Aswad. 3) Ka’bah berada di sebelah kiri orang yang melakukan tawaf, tidak melewati fondasi Ka’bah atau dalam Hijir Ismail.
Saat melakukan tawaf, bagi laki-laki meletakkan bagian tengah kain ihramnya di bawah ketiak kanan dan menaruh ujung kain di atas pundak sebelah kiri tertutup, sedangkan pundak kanan terbuka. Hal tersebut berdasarkan hadis dari Ibnu Abbās.
(Diriwayatkan) sesungguhnya Rasulullah saw, dan para sahabatnya umrah dari Ji’ranah, lalu mereka berlari-lari kecil di Baitullah dan mereka buat rida (selendang) mereka di bawah ketiak kanan mereka lalu menyampirkan ujung-ujungnya di atas pundak kiri. [H.r. Abū Dāwūd]
Sesampainya di sudut Hajar Aswad, jemaah menghadap ke Hajar Aswad tersebut lalu menciumnya, atau menjamahnya dengan tangan lalu mencium tangannya, atau berisyarah kepadanya dengan tangan. Hal tersebut dilakukan setiap putaran. Selanjutnya membaca takbir Bismillahi Allahu Akbar yang berarti ‘Dengan Nama Allah dan Allah Maha Besar’.
Selama tawaf, jemaah berpaling ke kanan sehingga Ka’bah berada di sebelah kirinya. Saat melaksanakan tawaf qudum, supaya berlari-lari kecil 3 (tiga) kali putaran dan berjalan biasa 4 (empat) kali putaran berikutnya.
Pada saat berada di antara Rukun Yamani dan sudut Hajar Aswad membaca
رَبَّنَا ءَاتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلاخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.
Dalam tawaf tidak ada ketentuan membaca do’a-do’a tertentu untuk setiap kali putaran. Orang boleh berdo’a untuk apa yang diinginkan sesuai dengan keperluannya.
Setelah selesai putaran ke tujuh maka Tawaf selesai. Perlu diketahui, bahwa tawaf tidak harus dilakukan secara berkesinambungan (terus menerus) dalam tujuh putaran. Diperbolehkan adanya jeda waktu antara satu putaran dengan putaran yang lain, seperti saat wudhunya batal lalu hendak berwudhu (apabila tidak mengalami kesukaran).
Demikian halnya bila ada qamat untuk salat fardu ketika melakukan tawaf, dan yang bersangkutan kemudian melakukan salat bersama jamaah lainnya. Setelah selesai wudhu, (apabila tidak mengalami kesukaran melakukannya) atau selelah selesai salat, maka ia bia melanjutkan tawafnya yang masih tersisa dan memulainya dari tempat ia menghentikan tawafnya yang belum selesai.
Setelah selesai melaksanakan tawaf, jemaah menuju ke Maqam Ibrahim kemudian membaca doa.
وَاتَّخِذُوْا مِنْ مَّقَامِ اِبْرٰهٖمَ مُصَلًّىۗ
Selanjutnya melakukan salat dua rakaat. Pada rakaat pertama membaca surat al-Kāfirūn setelah surat al-Fātihah. Pada rakaat kedua, membaca surat al-ikhlas sesudah surat Al-Fātiḥah.
Dari Ibnu Umar (diriwayatkan) ia berkata, Nabi saw tiba di Mekah kemudian tawaf lalu salat dua rakaat kemudian melakukan sa’i antara Safa dan Marwah kemudian membaca “sungguh bagimu pada diri Rasulullah contoh yang baik. (H.r. Bukhawi dan Muslim).
Usai melaksanakan tawaf dengan semua rangkaiannya, disunahkan meminum air zam-zam. Di sekitar lokasi tawaf terdapat air zam-zam yang bisa diminum oleh jemaah.
Terjadi Hadas Kecil Ketika Tawaf
Jika terjadi hadas kecil (batalnya wuduk) ketika sedang tawaf dalam keadaan jamaah penuh sesak, terutama di saat puncak haji ketika tawaf ifadah (yang termasuk rukun haji) dan tidak memungkinkan mendapatkan air atau jika pun bisa mendapatkan air akan menyusahkan dan memberatkan, maka berdasarkan prinsip taisir (memudahkan) dan ‘adamul-Yaraj (meniadakan kesulitan), tawaf tetap dilanjutkan tanpa mengulangi wuduk dengan dasar keringanan dan menghindari mudarat.
Dengan demikian, langkah hati-hatinya adalah tetap berwudhu dan mengulangi wudhu jika batal saat melakukan tawaf manakala tidak menimbulkan kesulitan. Jika sulit karena kondisi yang penuh sesak saat tawaf, maka kita boleh mengambil keringanan. Jadi tawaf yang keadaan sucinya batal karena hadas kecil tetap memadai (mujzi’).
Jika seseorang terkena najis yang tidak mungkin dibersihkan, seperti orang yang selalu kencing terus menerus atau perempuan yang sedang istihadah—darah yang tidak ada henti-hentinya setelah haid—, menurut kesepakatan ulama, diperbolehkan melakukan tawaf dan tidak dikenakan sangsi apa pun. Hal ini didasarkan kepada hadis Aisyah yang hanya menyebut haid dan berdasarkan kepada asar dari Ibn Úmar.
Dari ‘Abdullah Ibn Sufyan [diriwayatkan] bahwa pernah duduk bersama ‘Abdullah Ibn ‘Umar, lalu seorang perempuan datang meminta fatwa kepadanya, seraya bertanya: Ketika aku sudah siap untuk melakukan tawaf, tiba-tiba ketika sudah sampai di pintu masjid, keluar darah. Lalu aku pulang ke rumah dan aku tunggu hingga berhenti. Lalu aku pergi lagi ke masjid hingga ketika sampai di pintu, keluar darah kembali. Maka aku pulang ke rumah dan aku tunggu hingga berhenti. Lalu aku pergi ke masjid lagi hingga ketika sampai di pintu, keluar darah lagi”. ‘Abdullah Ibn ‘Umar menjawab: Itu merupakan goncangan dari setan, maka mandilah, lalu ikatlah dengan kain (pembalut), lalu tawaflah [H.r. Malik dalam al-Muwatta].