Wawasan

Bagaimana Mendampingi Remaja Mengelola Stres?

anxiety (ilustrasi: pixabay)

Oleh: Lucia Peppy Novianti*

“Ahhh... Kenapa tugasnya banyak sekali? Sekolah dari rumah malah bikin aku tambah pusing aja rasanya!”

“Kenapa sih ga boleh pergi bareng temen-temen sekarang? Udah hampir dua tahun aku ga bisa lagi pergi seperti dulu. Nongkrong di café ga bisa. Apalagi kegiatan-kegiatan bareng temen-temen. Ah bête!!”

“Kalau semua-semua diatur gini, dilarang gini, lama-lama bikin stres!”

Apakah teman-teman pernah berada pada situasi mirip di atas? Atau teman-teman memiliki lingkungan atau orang-orang terdekat dalam kondisi serupa? Stres menjadi anggapan lazim bagi kebanyakan orang yang berada pada kondisi sulit, seperti situasi pandemi saat ini. Padahal, istilah stres sendiri memiliki banyak makna, terlebih ketika melihat dari berbagai konteks disiplin ilmu. Sebetulnya apa sih yang disebut stres seperti situasi di atas? Bagaimana dampak stres bagi kehidupan seseorang, terutama remaja? Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan bila mengalami kondisi stres?

Memahami Kondisi Stres

Secara harfiah, stres berarti tekanan. Apabila dikaitkan dalam kebiasaan umum, istilah stres biasanya merujuk pada kondisi yang menimbulkan ketidaknyamanan, berkaitan dengan persoalan atau kesulitan hidup, maupun peristiwa tidak menyenangkan. Dalam terminologi psikologi, stres berarti suatu situasi yang menekan sebagai respons atas suatu pengalaman tertentu.

Oleh karena itu, stres sebetulnya merupakan bentuk respons atas persepsi terhadap pengalaman hidup. Secara teori, respons stres akan muncul dalam dua kondisi, baik menghasilkan kondisi yang positif atau disebut eustres maupun justru membuat seseorang berada pada situasi negatif atau disebut distres. Distres inilah yang kita kenal sehari-hari sebagai stres atau kondisi menekan.

Eustres merupakan respons terhadap kondisi menekan atau kesulitan hidup yang menyebabkan seseorang justru akan menjadi produktif dan dapat menunjukkan performansi diri yang optimal. Sebagai contoh, ketika akan menghadapi pertandingan, ada rasa-rasa berat atau ketegangan yang dirasakan oleh atlet. Ada rasa ketegangan, ada dorongan ingin menang yang membuatnya berupaya keras untuk berlatih maupun bersikap sangat disiplin menuju hari pertandingan. Atlet tersebut memang merasakan penuh ketegangan dan ada pengalaman yang menekan, tetapi hal tersebut mendorongnya untuk menjadi aktif dan produktif terhadap tekanan yang dialami.

Namun, ada pula kondisi menekan yang kemudian membuat seseorang mengalami situasi buruk, tidak menyenangkan, penuh beban dan tekanan, sehingga merasakan ketidaknyamanan bahkan kesulitan untuk berfungsi dan melakukan aktivitas sehari-hari. Kondisi kedua ini disebut sebagai distres. Respons terhadap stimulus tekanan yang berupa distres inilah yang perlu dicegah karena akan membuat seseorang menjadi berkurang kemampuan diri, produktivitasnya, bahkan keberfungsian diri.

Dampak Stres

Apabila kita mau bijak mengamati, stres hadir dalam kehidupan manusia sebetulnya memiliki fungsi dan manfaatnya. Kondisi stres akan memberikan dorongan bagi manusia. Hal inilah yang membuat seseorang memaknai stres sebagai eustres, maka akan ada kondisi termotivasi untuk melakukan suatu hal bagi dirinya. Ini berarti situasi stres dapat menjadi stimulus untuk dapat menghadirkan motivasi internal bagi kehidupan seseorang.

Di sisi lain, stres juga menghadirkan situasi negatif dalam kehidupan, yakni ketika mengalami distres. Kondisi distres dapat berpotensi menimbulkan dampak bagi fisik maupun mental. Penelitian baik dari dunia medis maupun psikologi menunjukkan bahwa kondisi stres menjadi pengantara atau kontributor terhadap persoalan fisik. Ini menjelaskan mengapa dokter atau perawat seringkali menyampaikan nasihat untuk mengurangi beban pikiran atau mendorong keluarga pasien agar pasien dapat dijauhkan dari pikiran-pikiran negatif atau berat dalam proses pemulihan penyakitnya. Stres tidak menjadi penyebab terjadi-nya penyakit tertentu namun kondisi tekanan pikiran atau distres dapat berkontribusi terhadap tingkat keparahan suatu penyakit.

Baca Juga: Koping Relijius: Menjaga Kesehatan Mental di Masa Pandemi

Selain dampaknya bagi fisik, distres juga dapat berdampak pada kondisi psikis atau mental seseorang. Dalam taraf yang paling ringan, stres negatif akan membuat seseorang menjadi memiliki suasana hati (mood) tidak nyaman, penuh pikiran sehingga dapat mengurangi produktivitas maupun keberfungsian sehari-hari. Ketika kondisi tekanan negatif tersebut tidak segera dikelola maka dapat berpotensi pada munculnya persoalan kesehatan mental lebih serius. Oleh karena itu, penting untuk mengelola tekanan dalam diri, setidaknya untuk mengurangi beban pikiran sehingga mampu menjalankan fungsinya sehari-hari.

Bagaimana Mengelola Stres Secara Sehat?

Kehidupan remaja dekat dengan situasi yang berpotensi memunculkan tekanan hidup. Adanya tugas perkembangan untuk mencari identitas diri pada fase remaja menjadi salah satu situasi rentan terhadap kondisi stres. Selain itu, hadirnya pengalaman baru seperti pubertas, tuntutan untuk lebih mandiri, adanya dorongan hormonal yang berdampak pada emosi diri, juga menjadi situasi potensial lain yang dapat memicu kondisi menegangkan pada remaja. Oleh karena itu, mendampingi remaja untuk mengasah keterampilan mengelola stres akan menjadi daya dukung penting untuk mendukung tumbuh kembang secara lebih sehat.

Sebagai lingkungan pendukung remaja dalam bertumbuh, ada beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk mendampingi proses mengasah keterampilan remaja dalam merespons situasi stres. Beberapa langkah dapat kita lakukan antara lain:

Pertama, menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi remaja ketika berada dalam situasi tegang, mengalami persoalan atau kesulitan. Biasanya emosi negatif akan mendominasi, seperti ketakutan, sedih, marah dan sebagainya. Hal ini mudah membuat diri merasa tertekan, rendah, sesak, dan tak berdaya. Bantulah para remaja yang sedang dalam situasi tersebut agar merasa kembali lapang. Kita dapat menghadirkan dukungan berupa memberi tempat bagi mereka untuk dapat diam, mengistirahatkan diri maupun fisik sejenak, atau menjadi telinga yang mendengarkan luapan kegelisahan tanpa menghakimi apalagi menuntut.

Kedua, ajak dan dampingi remaja untuk menenangkan diri (emosi) dari situasi penuh ketegangan. Setelah remaja mendapatkan ruang aman, ketegangan biasanya akan mereda. Situasi ini yang memungkinkan remaja mulai memproses situasi tegang atau stres. Bantu mereka untuk ‘mengalirkan’ emosinya sehingga emosi negatif yang dialami tidak hanya ditekan dalam diri. Beberapa hal yang dapat kita lakukan, seperti menemaninya ketika hanya ingin menangis terhadap kesedihan atau kemarahan, meluapkan perasaan dalam kata-kata tertulis, atau bentuk luapan ekspresi emosi lainnya. Proses ini dapat membantu si remaja untuk mengalirkan emosi diri namun tetap dalam kondisi aman dan dapat terkontrol karena ada kita yang mendampingi.

Ketiga, dampingi remaja untuk menalar pengalaman distres tersebut. Setelah diberi jeda dan dapat menyalurkan pengalaman emosi, biasanya kondisi seseorang akan lebih tenang. Ini waktunya kita mengajak remaja berdialog dan berdiskusi. Ajak remaja untuk mengenali situasinya dan apa yang masih dalam kendalinya untuk dilakukan. Ini adalah langkah untuk membawa si remaja kembali memiliki pegangan dan kesadaran diri.

Keempat, dampingi remaja untuk menyusun perencanaan konkret dalam menghadapi situasi penuh ketegangan tersebut. Apabila kita melihat bahwa remaja sudah mampu kembali menalar walau belum sepenuhnya, kita dapat mulai mengajak remaja untuk melihat kehidupannya dan memikirkan apa yang dapat dilakukan untuk membuatnya keluar dari distres dan berpindah kepada eustres. Apabila si remaja masih tampak belum dapat berpikir, kita dapat memberikan umpan balik atau referensi namun gunakan cara pandang dan kebutuhan si remaja, bukan berdasarkan kondisi diri kita. Kita akan mampu melakukannya bila dilandasi sikap empatik.

Dalam hidup, setiap orang pasti akan menghadapi situasi yang penuh tekanan. Oleh karena itu, penting bagi remaja untuk melatih kemampuan diri menghadapi situasi penuh tekanan. Keterampilan ini akan membuat remaja memiliki bekal untuk perjalanan kehidupannya. Harapannya, ketika menghadapi situasi yang menekan atau bahkan persoalan hidup, remaja akan merespons situasi secara lebih sehat, yakni memproses diri dengan persepsi eustres sebagai pegangannya.

*CEO Wiloka Workshop

Related posts
Kesehatan

Pentingnya Menjaga Kesehatan Jiwa Mahasiswa

Oleh: Ratna Yunita Setiyani Subardjo* Maraknya kasus bullying, kekerasan, dan bunuh diri yang dilakukan oleh mahasiswa di Indonesia akhir-akhir ini membuat prihatin…
Muda

Fenomena Second Account pada Remaja

Oleh: Tsabita Ikrima Al Arify* Menurut hasil riset Kementrian Komunikasi dan Informatika yang bekerja sama dengan UNICEF, sekitar 30 juta remaja di…
Muda

Tanda-Tanda Kamu Mengalami Burn Out

Oleh: Dede Dwi Kurniasih Kalau hari ini Sobat Muda sedang merasa tidak punya motivasi untuk melakukan sesuatu, selalu rebahan, dan terus menghindari…

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *