Oleh: Khamim Zarkasih Putro
Indonesia akhir-akhir ini diuji dengan maraknya bencana alam yang terjadi. Muncul fenomena yang relatif sama pada hampir setiap bencana. Banyak orang yang kehilangan tempat tinggal dan terpaksa mengungsi di bawah tenda darurat. Tidak sedikit juga mereka yang kehilangan mata pencaharian.
Bagaimana tidak? Kebun dan ladang mereka rusak diterpa bencana. Warung dan toko terpaksa tutup. Usai bencana, kelanjutan hidup mereka terkadang bergantung pada uluran tangan dan bantuan orang lain. Bahkan, anak-anak juga terpaksa meninggalkan bangku sekolah karena kekurangan biaya atau bangunan sekolahnya menjadi rusak dan tidak terpakai. Padahal, bukan tidak mungkin bantuan bagi mereka yang terdampak bencana turun dengan lamban karena faktor akses menuju lokasi dan sebagainya. Tempat dan fasilitas penanganan yang disediakan juga tidak selalu berkualitas baik dan memadai.
Peristiwa seperti ini sesungguhnya sudah berulang kali terjadi. Pertanyaannya adalah bagaimana sikap kita ketika menjadi korban atau ketika menjadi pendengar bencana ini? Sudahkah kita mengambil ibrah atau pelajaran? Apakah yang berubah dari kita setiap kali ada bencana? Dan yang paling serius, harus berapa kali lagikah kita diberi peringatan, jika ini memang sebuah peringatan, agar sadar untuk mulai berpikir dan berubah?
Ada satu fakta menarik dari al-Quran bahwa sekecil apapun fenomena yang terjadi akan dapat menambah keimanan bagi orang-orang yang beriman, atau sebaliknya, menambah kekufuran bagi orang-orang yang senantiasa kufur. Contoh fenomena tersebut adalah penciptaan lalat, lebah, dan laba-laba.
***
Sesungguhnya Allah swt. menghendaki hamba-Nya untuk menjadi pribadi yang tangguh. Dia melarang berputus asa, apalagi sampai menghilangkan nyawa. Allah swt. menghendaki agar hamba-Nya menjadi pribadi yang indah, seperti Nabi Ya’kub as. yang berkata, “Hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku”.
Dia mendorong kita untuk bersikap ridha dan sabar dalam menghadapi segala ketentuan-Nya. Sebab, pertolongan Allah ada bersama orang-orang yang sabar. Hendaknya kita menjadi pribadi yang berpikiran positif karena bersama satu kesulitan, Allah menyiapkan dua kemudahan.
Sebagai hamba Allah swt., semua manusia dalam kehidupan di dunia ini tidak akan luput dari berbagai macam cobaan, baik berupa kesusahan maupun kesenangan. Hal itu merupakan sunnatullah yang berlaku bagi setiap insan, yang beriman maupun kafir. Allah swt. berfirman dalam Q.S. al-Anbiya’: 35,
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ ٱلْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُم بِٱلشَّرِّ وَٱلْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
Artinya, “tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada kamilah kamu dikembalikan”
Kemudian, bagaimana mengelola bencana dengan bertakwa kepada Allah swt. agar selalu hidup dalam kebahagiaan? Allah swt. dengan ilmu-Nya yang Maha Tinggi dan hikmah-Nya yang Maha Sempurna menurunkan syariat-Nya kepada manusia untuk kebaikan dan kemaslahatan hidup mereka. Berdasarkan syariat-Nya itu, ada beberapa sikap yang perlu kita kelola saat berhadapan dengan takdir yang terkait dengan bencana.
Pertama, berpegang teguh kepada agama-Nya sehingga kita dapat merasakan kebahagiaan hidup yang hakiki di dunia dan akhirat (Q.S. al-Anfal: 24; Q.S. Hud: 3). Seorang hamba dengan ketakwaannya kepada Allah swt. memiliki kebahagiaan yang hakiki dalam hatinya. Dengan demikian, masalah apapun yang dihadapinya di dunia ini tidak akan membuatnya mengeluh atau stres, apalagi berputus asa. Hal ini disebabkan karena keimanan yang kuat kepada Allah swt. dapat membuat seorang hamba yakin bahwa apapun ketetapan yang Allah Swt berlakukan untuk dirinya, itulah yang terbaik. Dengan keyakinannya ini pula, Allah swt. akan memberikan balasan kebaikan baginya berupa ketenangan dan ketabahan dalam jiwa (Q.S. at-Taghabun: 11).
Inilah sikap yang benar dalam menghadapi musibah yang menimpanya. Jadi, Allah swt. dengan hikmah-Nya yang Maha Sempurna, telah menetapkan bahwa musibah itu akan menimpa semua manusia, baik orang yang beriman maupun kafir. Akan tetapi, orang yang beriman memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh orang kafir, yaitu ketabahan dan pengharapan pahala dari Allah swt. dalam menghadapi musibah tersebut. Tentu saja, semua ini akan semakin meringankan musibah yang dihadapi seorang mukmin.
Baca Juga: Di Tengah Perubahan Iklim, Apa yang Dapat Kita Lakukan?
Sikap kedua yang harus ditunjukkan bila terjadi musibah adalah memberikan pertolongan. Hal ini sebagai bukti dari adanya rasa senasib sepenanggungan. Rasa bahwa musibah di berbagai daerah adalah musibah kita bersama hendaknya membuat kita menyadari kewajiban kita untuk membantu atau menolong sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing.
Ini berarti, yang teruji dari musibah di suatu daerah bukan hanya orang-orang yang berada di daerah itu, tapi kita semua. Persoalan bencana di berbagai daerah adalah persoalan yang sangat besar yang bisa jadi pemerintah tidak sanggup mengatasinya sendiri. Oleh karena itu, dibutuhkan partisipasi semua pihak tanpa harus saling menuduh dengan tuduhan-tuduhan keji. Allah Swt berfirman dalam Q.S. al-Maidah: 2,
وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ
Artinya, “dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.
Sikap ketiga dalam menghadapi bencana adalah optimis. Persoalan yang dihadapi oleh masyarakat yang dilanda bencana memang sulit dan berat. Namun, kita tidak boleh larut dalam kesedihan. Sebab, bila bicara tentang kesulitan, maka banyak sekali dari generasi terdahulu yang dipaparkan dalam sejarah, termasuk di dalam al-Quran, yang mendapatkan tingkat ujian lebih tinggi lagi.
Ketika Nabi Muhammad saw. mengalami kondisi yang sangat sulit dalam perjuangan, beliau tidak diperkenankan bersikap berlebihan. Artinya, beliau tidak boleh merasa sebagai orang yang paling sulit. Harta boleh habis. Saudara atau keluarga boleh berkurang. Bahkan, kekuatan dapat semakin melemah. Akan tetapi, yakinlah bahwa selalu ada Allah swt. yang Maha Berkuasa dan Maha Mengetahui segala kondisi yang kita alami.
Sikap optimis akan hari esok yang lebih baik perlu ditunjukkan. Kita bisa belajar dari kisah Siti Hajar yang ditempatkan suaminya, Nabi Ibrahim as. di Makkah. Padahal, pada saat itu, di Makkah belum ada kehidupan. Tetapi karena hal tersebut memang perintah Allah swt., beliau menjadi yakin bahwa tidak mungkin Allah swt. bermaksud buruk. Dihadapi dan dijalaninyalah kehidupan yang sulit bersama anaknya, Ismail, yang masih bayi. Ternyata Makkah hingga hari ini terus hidup, bahkan tidak ada matinya.
Di samping sikap-sikap di atas yang perlu ditunjukkan, ada lagi faktor lain yang bisa meringankan semua kesusahan di dunia ini. Faktor tersebut adalah merenungi dan menghayati hikmah-hikmah agung yang Allah swt. jadikan dalam setiap ketentuan yang terjadi pada hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa.
Setidaknya, ada tiga hikmah yang dapat kita renungkan dari semua musibah yang Allah swt. berikan kepada manusia. Pertama, Allah swt. menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai obat pembersih untuk mengeluarkan semua kotoran dan penyakit hati yang ada pada hamba-Nya. Kalau seandainya kotoran dan penyakit tersebut tidak dibersihkan, dia akan celaka karena dosa-dosanya atau minimal berkurang pahala dan derajatnya. Jadi, musibah dan cobaanlah yang membersihkan penyakit-penyakit itu. Dengan demikian, hamba tersebut meraih pahala yang sempurna dan kedudukan yang tinggi di sisi-Nya.
Kedua, Allah swt. menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai sebab untuk menyempurnakan penghambaan diri dan ketundukan seorang mukmin kepada-Nya. Sebab, Allah swt. mencintai hamba-Nya yang selalu taat beribadah dalam semua keadaan, susah maupun senang.
Ketiga, Allah swt. menjadikan musibah dan cobaan di dunia sebagai sebab untuk menyempurnakan keimanan seorang hamba terhadap kenikmatan sempurna yang Allah swt. sediakan di surga kelak. Inilah keistimewaan surga yang sangat jauh berbeda keadaannya dengan dunia. Allah swt. menjadikan surga-Nya sebagai negeri yang penuh kenikmatan abadi, tanpa ada kesusahan dan penderitaan selama-lamanya. Oleh karena itu, kalau seorang hamba terus-menerus merasakan kesenangan di dunia, dikhawatirkan hatinya akan terikat kepada dunia dan lupa untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan yang kekal abadi di akhirat nanti.
Dengan merenungi hikmah-hikmah tersebut, seorang yang beriman akan semakin yakin bahwa semua cobaan pada hakikatnya akan mendatangkan kebaikan bagi dirinya, untuk menyempurnakan keimanannya dan semakin mendekatkan diri-Nya kepada Allah swt. Semua ini, di samping akan semakin menguatkan kesabarannya, juga akan membuatnya selalu berbaik sangka kepada Allah Swt dalam semua musibah dan cobaan yang menimpanya.
Dengan sikap ini pula, Allah swt. akan semakin melipatgandakan balasan kebaikan baginya. Sebab, Allah swt. memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya. Semoga Allah berkenan memasukkan kita ke dalam golongan abrar yang senantiasa berada dalam kebaikan.