Politik dan Hukum

Bagaimana Status Hukum Anak Hasil Perkawinan Beda Agama yang Terlanjur Terjadi?

Oleh: Dwiky Bagas Setyawan*

Baru-baru ini Ketua Mahkamah Agung (MA) M. Syarifuddin mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 2023 yang berisi Tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat Beragama yang Berbeda Agama dan Kepercayaan yang pada pokok intinya melarang hakim di seluruh Indonesia melegalkan pernikahan beda agama.

Hal inilah kemudian mencuat sebuah pertanyaan yang menarik dan penting bagaimana kemudian status hukum kenegaraan anak hasil perkawinan beda agama yang sudah terjadi sebelumnya, apakah akan tetap dibatalkan karena tidak sejalan dengan peraturan, apakah juga akan diberi semacam pengakuan hukum nantinya? Lantas bagaimana pula keabsahan pernikahan tersebut?

Pro dan Kontra Nikah Beda Agama

SEMA No.2 Tahun 2023 ini lahir karena muncul adanya desakan-desakan dari kalangan masyarakat di Indonesia, sebab banyak permohonan pernikahan beda agama yang di kabulkan oleh Pengadilan Negeri (PN). Hal ini dianggap masyarakat mereduksi hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia, walaupun dalam pertimbangannya dalam memutuskan perkara itu menggunakan dasar hukum yaitu Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.

Sementara pada Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 secara jelas mengatur perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kemudian Pasal 8 huruf f UU Perkawinan mengatur larangan perkawinan antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamannya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Dalam ajaran Islam perkawinan beda agama itu dilarang.

Dengan lahirnya SEMA ini menguatkan bahwa pernikahan beda agama yang awalnya kontradiktif (multitafsir) dan mengandung celah para pelaku, fasilitator dan penganjur kawin beda agama adalah melanggar hukum.

Sementara itu Direktur Program Indonesia on Religion and Peace (ICRP) Ahmad Nurcholis seorang konselor pasangan beda agama berbeda pandangan sebagaimana yang termuat pada berita pada tanggal 20 Juli 2023 (https://www.bbc.com/indonesia/articles/c19l4lwkxl4o).

Menurutnya, SEMA No. 2 Tahun 2023 merupakan sebuah kemunduran yang luar biasa bagi Mahkamah Agung pasalnya dibandingkan lembaga yudikatif lain seperti Mahkamah Konstitusi MA tergolong progresif dalam hal perkawinan beda agama dengan terbitnya putusan MA Nomor 1400/K/Pdt/1986 putusan itu menyatakan perkawinan beda agama sah di Indonesia dengan jalan penetapan pengadilan yang kemudian menjadi yuriprudensi bagi hakim lain dalam memutus perkara serupa.

Jadi menurut Nurcholis putusan MA tahun 1986 itu memberikan jalan keluar. Karena dengan keluarnya SEMA ini membuat kecewa para pelaku pernikahan beda agama di Indonesia. Dengan demikian peluangnya hanya menikahkan pelaku nikah beda agama di luar negeri baru dicatatkan ulang di Indonesia atau pindah agama sementara walupun tricky dan tidak dikehendaki pasangan itu.

Nilai Moderasi

Menurut penulis sebagaimana tulisan sebelumnya pada koran Solopos yang terbit pada Selasa, 26 April 2022 (https://www.solopos.com/moderasi-dalam-keluarga-beda-agama-1305442), pada esensinya dalam SEMA No. 2 Tahun 2023 ini tidak menghambat program Kementerian Agama Republik Indonesia.

Baca Juga: Bimbingan dan Konseling pada Anak Usia Dini

Pasalnya moderasi beragama adalah cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan mengejawantahkan esensi ajaran agama yang dianut, justru dalam SEMA tersebut memerintahkan supaya umat beragama melakukan perkawinan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya seperti yang diajarkan oleh setiap agama.

Islam memerintahkan umatnya melangsungkan perkawinan dengan sesama Islam sebagaimana termaktub dalam kitab suci: “Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman, sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walupun dia menarik hatimu, dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita –wanita mukmin) sebelum mereka beriman, sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu’’ (Q.S Al-Baqarah: 221).

Senapas dengan pandangan tersebut, Agama Kristen juga melarang perkawinan beda agama sebagaimana tertera dalam kitab sucinya: “Perkawinan beda agama menurut agama Kristen adalah tidak dikehendaki dalam Perjanjian Lama (PL) karena khawatir kepercayaan kepada Allah Israel akan dipengaruhi ibadah asing dari pasangan yang tidak seiman” (Ezr. 9-10; Neh. 13:23-29; Mal. 2:10).

Demikian juga larangan Agama Katholik dalam konteks tersebut. Menurut Agama Katholik, perkawinan adalah sebuah sacral atau sesuatu yang kudus dan suci. Salah satu halangan tercapainya tujuan perkawinan adalah adanya perbedaan agama antara suami dan isteri (Kanon 1086)

Dengan demikian SEMA No. 2 Tahun 2023 yang memberi pedoman supaya perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan tidak bertentangan dengan moderasi beragama karena hal itu sudah menjadi ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Hukum semua Agama.

Sementara mengenai keabsahan pernikahan agama yang sudah terjadi menurut Wakil Presiden Republik Indonesia K.H Maruf Amin sebagaiman yang termuat dalam berita detinews hari Senin, 24 Juli 2023 (https://news.detik.com/berita/d-6837754/wapres-maruf-minta-ma-buat-aturan-soal-anak-pernikahan-beda-agama) dikembalikan ke masing-masing agama, jika agama islam Majelis Ulama Indonesia, jika Kristen ada KWI, PGI dan agama-agama lainnya. Jadi dari segi sah menurut agama itu masing-masing.

Sedangkan untuk setatus hukum pernikahan beda agama yang sudah terjadi kita pasrahkan ke Mahkamah Agung (MA) yang memiliki inisiator penuh dalam membuat mekanisme hukum yang progresif bagi kemaslahatan bersama. Mengenai pro dan kontra pernikahan beda agama di Indonesia sudah selesai tinggal menunggu mekanisme setatus hukum anak pernikahan beda agama kedepannya.

Demikian tulisan sedikit ini semoga bisa menambah wawasan pengetahuan kita semua, penulis menyadari bahwa tulisan ini belum sempurna maka perlu kritik dan saran untuk menjadikan tulisan ini lebih sempurna. Semoga kita senantiasa selalu dilimpahkan rejeki dan kesehatan Allah SWT. Aamiin.

* Alumni Hukum Keluarga Islam UIN Raden Mas Said Surakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *