Kupang, Suara ‘Aisyiyah – Merujuk pandangan sosiolog Indonesia Suryo Sukamto, Sudibyo Markus menjelaskan tentang kerangka dasar kemitraan suatu masyarakat. Kerangka tersebut diibaratkan dengan sebuah segitiga, di mana kaki kanannya adalah perilaku sosial dan kaki kirinya adalah kelembagaan. Dua kaki tersebut akan bersatu dan menghasilkan sebuah nilai yang dimana saat ini sudah lebih baik dan damai dibandingkan beberapa abad lalu.
Sudibyo menjelaskan, Islam telah mengajarkan arti toleransi sejak 1400 tahun lalu. Dalam Q.S. al-Kafirun dijelaskan, bagimu agamu dan bagiku agamaku. Apapun kepercayaannya, kata dia, segala urusan atau permasalahan yang ada tidak usah diusik atau dicampur tangani oleh umat Islam.
“Pada sebuah diskusi tentang apa arti tujuan Muhammadiyah untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, saya menjawab bahwa masyarakat sipil Islami sekarang adalah jawabannya. Baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofuur adalah rumusan masyarakat sipil yang ideal. Di mana menurut sebuah teori dijelaskan bahwa masyarakat sipil ialah yang didukung oleh jejaring yang beraneka ragam, adanya interaksi yang dinamis, menghormati perbedaan, dan berkomitmen pada satu tujuan bersama. Semua hal ini sudah ada pada Muhammadiyah yang saat ini memiliki ranting sampai pusat, berbagai majelis, hingga amal usaha itulah jawabannya,” ujarnya, Rabu (25/5).
Ia memberi contoh masyarakat Minahasa. Pada sebuah kasus ketika Maluku Utara sedang konflik berdarah, masyarakat Minahasa langsung mengungsi di berbagai pantai dan tidak ikut campur tangan pada konflik. Mereka memiliki jaringan masyarakat sipil yang kuat. Setiap kelurahan memiliki serikat desa, setiap tingkatan memiliki jejaring dan berinteraksi aktif, maka dari itu masyarakat Minahasa memiliki daya tahan yang kuat ketika menghadapi konflik.
Baca Juga: Seminar Pra-Muktamar: Muhammadiyah Harus Jadi Aktor Perdamaian dan Integrasi Sosial Dunia
Markus memaparkan bahwa terdapat empat milestone yang mendukung kerukunan antar umat beragama saat ini. Pertama, deklarasi antar umat beragama pada zaman penjajahan. Kedua, surat terbuka antara 380 ulama kepada petinggi gereja di seluruh dunia pada 13 Oktober 2007 yang berisi ajakan perdamaian yang didasari hubungan yang baik kepada tuhan masing-masing dan sesama masyarakat. Ketiga, World Humilitian Summit PBB pada 23 Mei 2016 yang menandakan simbol kemanusiaan secara universal pertama kali. Keempat, Human Veternity yang ditandatangani oleh Paus Paulus dan Imam Besar di Dubai pada 4 Februari 2019.
Dalam acara Seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah Ke-48 yang diselenggarakan di Aula Utama Gedung B Universitas Muhammadiyah Kupang dengan tema “Kerja Sama Antar Iman dan Integrasi Sosial” itu, Markus menyebutkan bahwa ketika sudah ada nilai-nilai, maka yang diperlukan selanjutnya adalah adanya kelembagaan. Dalam sebuah teori proses pengambilan keputusan, terdapat sepuluh tingkatan yang harus dilewati.
Proses pengambilan keputusan, kata ia melanjutkan, yang pertama adalah individu, kemudian keluarga, grup primer, komunitas, lokalitas desa atau kecamatan, dan seterusnya sampai pemerintahan pusat. “Dari semua tingkatan tersebut, pengembangan interaksi solidaritas antar sosial yang ideal adalah di tingkat komunitas,” jelas Markus. Ia menekankan agar jangan sampai menganggap enteng komunitas antar desa maupun RT/RW, karena di sanalah potensi terbesar untuk membangun solidaritas dan keakraban sosial antar umat beragama. (maudy)