Politik dan Hukum

Bansos, Demokrasi, dan Upaya Merawat Kemiskinan

Sc: Sonora.id
Sc: Sonora.id

Sc: Sonora.id

Oleh: Surya Darma, Annisa Fithria*

Bantuan sosial (Bansos) telah menjadi salah satu instrumen utama yang digunakan oleh pemerintah di seluruh dunia termasuk Indonesia dalam upaya untuk menekan angka kemiskinan. Bansos menjadi cara instan untuk memberikan jaringan keamanan dan keselamatan bagi mereka yang terpinggirkan dan terancam kemiskinan.

Selama tahun 2014-2024, hampir satu dekade masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, dana yang disediakan untuk perlindungan sosial nyaris mencapai Rp4.000 triliun. Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, alokasi tepatnya mencapai Rp3.663,4 triliun dari tahun 2014 hingga 2024. Pada APBN tahun 2024 dimana juga menjadi tahun yang akan dilangsungkannya Pemilu, dana sebesar Rp496,8 triliun telah dialokasikan untuk perlindungan sosial yang akan diperuntukkan kepada beberapa kementerian dan lembaga terkait.

Alokasi dana perlindungan sosial pada tahun 2024 ini merupakan yang terbesar dalam sejarah Republik Indonesia, bahkan melebihi alokasi untuk perlindungan sosial selama masa pandemi COVID-19. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, di mana Indonesia masih dalam tahap pemulihan dari dampak pandemi, alokasi untuk perlindungan sosial tahun 2024 mengalami peningkatan sebesar 12,4 persen dari Rp439,1 triliun yang telah dialokasikan pada tahun 2023.

Sebagaimana Pasal 34 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan, “Fakir Miskin dan Anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara” dan selanjutnya dalam Pasal 27 Ayat (2) yang menyatakan, “Bahwa tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, Bansos merupakan manifestasi dari keterangan pasal tersebut yang dapat juga diartikan bahwa bansos adalah hak warga negara yang membutuhkan.

Pertanyaan mendasar berikutnya, apakah amanat undang-undang ini telah dijalankan dengan baik oleh pemerintah. Fakta menunjukkan tidak demikian. Sejak tahun 2015 hingga 2023, meskipun anggaran besar telah dialokasikan, penurunan tingkat kemiskinan belum mencapai target sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Pada tahun 2023 misalnya, tingkat kemiskinan hanya menurun pada angka 9,36 persen, sementara target RPJMN seharusnya mencapai 8 persen.

Bansos yang merupakan satu dari berbagai cara untuk menekan angka kemiskinan nyatanya belum begitu efektif. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya komitmen pemerintah untuk mengelola program tersebut secara profesional dan serius.

Pengelolaan data penerima manfaat yang masih buruk, tumpang tindih, dan tidak sinerginya program perlindungan sosial antar lembaga pemerintah serta dijadikannya Bansos sebagai komoditas politik yang sekedar menjadi alat untuk kepentingan elektoral, membuat program tersebut gampang menguap dan kehilangan kemampuan optimalnya untuk menekan angka kemiskinan, mendorong penerima manfaat menjadi berdaya, dan merangsang masyarakat kelas bawah untuk naik kelas.

Bansos sebagai komoditas politik dapat terlihat jelas melalui alokasi pengelolaan postur anggaran perlindungan sosial pada tahun-tahun menjelang Pemilu. Pada era Presiden Susilo Bambang Yudiono misalnya, menjelang pemilu 2014 anggaran bansos pada tahun tersebut naik secara signifikan sebesar Rp484,1 triliun dibanding 2013 yang hanya Rp200,8 triliun.

Baca Juga: Demokrasi Berjaya: Menyikapi Hasil Pemilu Presiden 2024 dengan Dewasa dan Bertanggung Jawab 

Sementara itu di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, postur anggaran perlindungan sosial juga mengalami kenaikan pada tahun-tahun menjelang pemilu, seperti tahun 2019 mengalami kenaikan anggaran sebesar Rp419,2 triliun, dengan kenaikan yang sangat signifikan dibandingkan tahun sebelumnya yaitu tahun 2018 sebesar Rp162,56 triliun, dan pada tahun 2024 sebesar Rp496,8 triliun yang juga lebih besar 12,4 persen atau hanya Rp439,1 triliun pada tahun 2023.

Menjadikan Bansos sebagai tunggangan politik untuk kepentingan elektoral semata jelas merupakan kesalahan dan pelanggaran. Memanfaatkan fasilitas negara, anggaran, dan program yang dibiayai oleh pajak rakyat dan bukan dari kantong-kantong elit politik adalah kejahatan.

Penggunaan Bansos untuk kepentingan politik elektoral tentu akan menghadirkan ketimpangan dan ketidakadilan, dimana pemberian Bansos hanya fokus pada satu daerah tempat dimana ia akan memenangkan kompetisi politik dan seiring dengan hal tersebut tentu akan mengabaikan rakyat di daerah yang lain.

Politik Bansos tersebut kerap kali dilakukan oleh politikus yang sedang mempertahankan kekuasaannya, sehingga keberadaan rakyat miskin menjadi penting untuk merawat kemenangan politiknya. Dalam pengertian, semakin banyak jumlah orang miskin, maka semakin besar pula peluang untuk memenangkan pertarungan politik elektoral dengan memanfaatkan Bansos. Sehingga menjadi mungkin, jauhnya tingkat keberhasilan program perlindungan sosial adalah upaya untuk merawat kemiskinan sebagai investasi kemenangan politik untuk mempertahankan kekuasaan.

Kondisi seperti ini menjadikan Pemilu yang merupakan puncak dari perayaan demokrasi berjalan tidak seimbang dan jauh dari rasa adil. Menyebabkaan ongkos politik menjadi mahal yang pada akhirnya akan mengamputasi kesempatan masyarakat untuk masuk gelanggang politik dan hilangnya kesempatan yang setara untuk menjadi pelayan publik.

Kondisi ini menjadi salah satu penyumbang turunnya kualitas demokrasi di Indonesia sebagaimana data indeks demokrasi yang dikeluarkan oleh The Economist yang menempatkan Indonesia pada peringkat 54 dari 167 negara dengan skor 6,71 dengan status flawed democracy atau cacat demokrasi dengan mengukur berbagai hal lainnya, termasuk sistem Pemilu, kebebasan berpendapat, hak asasi manusia, dan keadilan.

Bansos sudah seharusnya dikembalikan pada tujuan awal yaitu menjadi jaring pengaman masyarakat yang lemah bukan menjadi tunggangan politik untuk kepentingan kotor kekuasaan. Pengelolaan Bansos harus dikelola secara professional, akuntabel, dan berkeadilan untuk dapat menjadi alat penanganan kemiskinan yang optimal.

Menjadikan Bansos lebih bernilai bukan hanya sekedar menjadi alat pelepas rasa lapar masyarakat secara temporer melainkan menjadi cara untuk menciptakan peluang dan kesetaraan yang sama, mendorong masyarakat menjadi berdikari dan berdaya serta menciptakan kehidupan masyarakat yang bermartabat.

*Founder Hattamuda Institute, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ahmad Dahlan

Related posts
Berita

Sikap MAARIF Institute Terhadap Pembegalan Pancasila dan Demokrasi

Jakarta, Suara ‘Aisyiyah – Sejak era Reformasi, bangsa Indonesia telah melalui perjalanan panjang untuk menegakkan prinsip-prinsip demokrasi, di mana kepentingan rakyat ditempatkan…
Sosial Budaya

Warga Kelas Dua dan Demokrasi Berkemajuan

Oleh: Annisa Fithria, Surya Darma* Budaya patriarki di Indonesia memengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat, menciptakan sistem sosial yang didominasi oleh pria, dan…
Berita

PDM OKU Selatan Gelar Bansos dan Berobat Gratis

Ogan Komering Ulu Selatan, Suara ‘Aisyiyah –  Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan (OKU Selatan) bekerja sama dengan Lembaga…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *