Oleh: Fajar Shadiq*
Inilah kisah Ibunda Siti Hajar, wanita salehah, yang sangat menyentuh perasaan. Dalam H.r Imam Bukhari, diceritakan bahwa ketika Nabi Ibrahim akan kembali ke Palestina, meninggalkan Hajar beserta putranya, di dekat Kakbah, di Kota Mekah, di lembah yang waktu itu tidak ada satu orang pun, kering, tandus, dan tanpa air, Ibunda bertanya: “Wahai Ibrahim, kamu hendak kemana? Kamu tinggalkan kami …?”
Protes tersebut diajukannya lebih dari satu kali. Ibrahim as tidak menjawabnya. Ia terus berjalan meninggalkan keduanya. Hajar kemudian bertanya: “Apakah Allah yang memerintahmu dengan hal ini?” Ibrahim berhenti sejenak, menoleh, dan menjawab: “Ya.” Bunda Hajar lalu mengatakan: “Kalau begitu, Allah tidak akan menelantarkan kami.”
Penulis bangga dan terenyuh membaca kisah itu, yang menunjukkan keteguhan hati Ibunda kepada Sang Pencipta semesta langit dan bumi beserta segenap isinya. Ibrahim as berdoa untuk Mekah, yang akan ditinggali keluarganya: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.” (Q.s Ibrahim: 35). Doa Ibrahim as rupanya dikabulkan-Nya. Apa yang dapat dipelajari dari kisah tersebut?
Ketika Ibunda Hajar mengetahui akan ditinggalkan Ibrahim, berdua dengan Ismail, lalu Ibunda Hajar hanya menyandarkan kepada akalnya saja, beliau merasa akan kesulitan menghadapi kehidupan, tanpa suami, di lembah yang tidak ada satu orangpun dan tidak ada apapun, beliau memprotesnya. Hati Ibunda Hajar tidak menerimanya sehingga bertanya: “…. Kamu tinggalkan kami …?”
Namun ketika beliau tahu dari suaminya bahwa itu adalah perintah-Nya, maka beliau berucap: “Kalau begitu, Allah tidak akan menelantarkan kami.” Tentunya, Ibrahim as telah mendapat wahyu dari Allah bahwa beliau harus meninggalkan istrinya di tempat itu. Ibunda Hajar mengimani bahwa jika beliau mematuhi-Nya, maka Allah tidak akan menelantarkannya. Inilah tingkat keimanan tertinggi. Pembenaran 100% atas segala keputusan-Nya. Inilah yang harus diteladani dari Ibunda Hajar oleh segenap warga Aisyiyah.
Dengan keimanan yang kuat terhadap perintah-Nya, beliau menerimanya tanpa menawar lagi. Beliau yakin bahwa hanya Allah SWT semata yang patut diikuti segala perintah-Nya dan hanya Allah SWT semata yang patut dijauhi larangan-Nya. Beliau yakin bahwa Allah SWT akan melindungi diri dan anaknya. Jadi, Ibunda Hajar pantas disebut memiliki keimanan yang kokoh, kuat, dan teguh kepada-Nya. Mengapa?
Apa Arti Iman?
Zakiyah Daradjat, dkk (2000:151) menyatakan: “Pengertian iman secara luas, ialah suatu keyakinan penuh yang dibenarkan oleh hati, diucapkan oleh lidah, dan diwujudkan dalam amal perbuatan. Adapun pengertian iman secara khusus, ialah sebagaimana terdapat dalam rukun iman.” Pengertian iman secara luas tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah SAW pada HR Ibnu Majah, seperti yang ditulis Hadjid (2021: 103): “Bersabda Nabi SAW: “Iman itu ialah percaya dengan hati dan diikrarkan dengan lisan dan dikerjakan dengan anggota badan.””
Ibunda Hajar yang pada awalnya memprotes Nabi Ibrahim as ketika ditinggalkannya di dekat Kakbah yang menurut akal sehatnya tidak akan ada kehidupan di tempat tersebut, namun ketika Ibunda Hajar, akhirnya mengetahui, bahwa Allah yang memerintahkannya, maka beliau menerimanya. Lalu, pemenuhan syarat pertama, dengan lisannya beliau berikrar: “Allah tidak akan menelantarkan kami.”
Kalimat seperti itu tidak akan terucap jika hal tersebut tidak dibenarkan hatinya. Beliau mengimani, pemenuhan syarat kedua, membenarkan dengan hatinya bahwa Allah tidak akan menelantarkannya. Beliau tidak memprotes lagi, lalu kembali ke tempat Ismail as, pemenuhan syarat ketiga, yaitu perbuatan dengan anggota badannya.
Jelaslah bahwa tiga syarat telah dipenuhi Ibunda Hajar yaitu beliau memiliki suatu keyakinan penuh tentang kekuasaan Allah untuk ditaati yang: (1) dibenarkan oleh hatinya, (2) diucapkan dengan lisannya, dan (3) diwujudkan dalam amal perbuatannya.
Baca Juga: Benalu-Benalu Takwa
Meskipun demikian, Ibunda Hajar tidak tinggal diam. Beliau tetap berusaha untuk mendapatkan air bagi putranya, dengan berlari-lari kecil antara Safa dan Marwah sebanyak 7 kali. Ritual Sai adalah ibadah ketika seorang muslim melaksanakan Haji atau Umrah di Baitullah untuk mengenang Ibunda Hajar yang mencari air untuk putranya, Ismail.
Allah mengaruniai setiap wanita muslim berupa Al-Quran, Sunah Maqbulah, dan akal untuk berpikir, serta naluri untuk mengasihi dan melindungi putra-putrinya. Ritual Sai adalah untuk meneladani keimanan kuat, usaha tak kenal lelah, dan kesabaran tinggi dari Ibunda Hajar dalam upayanya untuk mendapatkan air.
Meniru Keteguhan Iman Keluarga Ibrahim
Selanjutnya, Allah SWT menegaskan kalimat berikut, melalui Kalam-Nya.
…. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. …. [QS 22, Al Hajj: 78].
Tentunya Ibunda telah mengikuti suaminya, Ibrahim AS, yang merupakan leluhur Rasulullah dan “Bapak Umat Islam.” Mengenai Ibrahim as, Q.s An Nahl: 120-122 menyatakan bahwa sesungguhnya Ibrahim AS adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif [maksudnya: seseorang yang selalu berpegang kepada kebenaran dan tak pernah meninggalkannya, dan Ibrahim as bukanlah orang yang mempersekutukan-Nya.
Allah telah memilihnya dan menunjukinya jalan yang lurus. Allah akan memberikan kepadanya kebaikan di dunia dan di akhirat. Hal tersebut diikuti anak dan isterinya. Berikut, kisah Ibrahim AS dan putranya.
…, Ibrahim: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. ….” Ia menjawab: “…, kerjakanlah ….” [QS 37, Ash Shaaffaat: 102].
Sebagaimana Ibunda Hajar, keduanya adalah teladan dalam melaksanakan perintah-Nya. Ditunjukkan Ibrahim as, sang pemimpin tauhid, bahwa kecintaan kepada-Nya melebihi cintanya kepada anak tercintanya. Ditunjukkan Ismail as, kecintaannya kepada-Nya melebihi cintanya kepada dirinya sendiri. Ketika Allah memerintahkan sesuatu, maka perintah-Nya tersebut langsung dipatuhi dan dipenuhi. Ibadah kurban adalah untuk mengingatkan keteguhan dua hati untuk segera melaksanakan perintah-Nya walau nyawa sekalipun yang dikurbankan.
Ketika Allah memerintahkan untuk berlaku adil, amanah, dan menegakkan salat misalnya, maka setiap umat Islam harus menaatinya, tidak ada tawar-menawar. Juga ketika Allah memerintahkan untuk tidak berbuat khianat dan zalim misalnya, maka setiap umat Islam harus secara istikamah menghindarinya. Ibrahim as, keluarganya, keturunannya, dan seluruh umat Islam seharusnya berusaha dengan sekuat tenaganya untuk selalu berhati-hati menjaga diri mereka dari kemurkaan-Nya.
Pada akhirnya, diharapkan setiap warga ‘Aisyiyah dapat meneladani keimanan, usaha, dan kesabaran Ibunda Hajar di saat melindungi, membesarkan, dan mendidik putra putrinya agar menghasilkan generasi baru yang lebih beriman, berpengetahuan luas, memiliki keterampilan berpikir, dan berkarakter kuat sehingga bersama-sama dengan warga lainnya mampu mencerdaskan dan membesarkan bangsanya. In syaa Allah.
*PRM Condongcatur Barat; Anggota Majelis Dikdasmen PCM Depok, Sleman, DIY; Purna Tugas Widyaiswara Madya PPPPTK Matematika, Yogyakarta

