Perkembangan zaman dan tersedianya informasi yang sangat mudah telah membuat orang tua terbantu dalam mengarahkan minat dan bakat putra-putrinya. Saat ini tidak hanya sekolah formal yang diminati oleh masyarakat, namun sekolah seperti homeschooling juga menjadi pilihan.
Homeschooling berkembang cukup pesat di Indonesia. Perkembangan itu terjadi karena semakin tingginya kesadaran orang tua pada pendidikan anak dan karena menurunnya kepercayaan masyarakat pada sekolah formal. Kurikulum yang terus berubah di Indonesia kerap dinilai memberatkan siswa.
John Cadlwell dalam bukunya How Children Fail (1964) mengatakan bahwa manusia pada dasarnya makhluk yang senang belajar sehingga tidak perlu ditunjukkan cara belajar. Menurutnya, yang membunuh kesenangan belajar adalah orang-orang yang berusaha mengatur atau mengon-trolnya. Homeschooling menjadi pilihan metode belajar karena dinilai lebih meringankan siswa dan mengembangkan kemandirian anak dalam belajar.
Listya Endang Artiani, Dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FBE) UII merupakan salah satu orang tua yang memilihkan pendidikan anaknya dengan homeschooling. Memiliki dua anak, putra dan putri, membuatnya dapat melihat karakter anak yang berbeda-beda. Melihat karakter putrinya yang berbeda, yakni cenderung fokus dalam satu hal ketika mengerjakan sesuatu, Listya pun berkonsultasi pada psikolog.
“Di Yogyakarta terdapat banyak (tempat-red) informasi mengenai proses belajar-mengajar yang bisa dipilih. Saya konsultasikan ke psikolog. Anak yang karakternya moody itu sebaiknya belajar mandiri,” kata Listya saat dihubungi redaksi Suara ‘Aisyiyah.
Tak hanya itu, Listya juga sering mengajak komunikasi putra-putrinya dalam memilih suatu hal, seperti sekolah, model pembelajaran dan lainnya. Hal itu dilakukannya untuk mendukung karakter yang dimiliki masing-masing anaknya.
“Orang tua harus memahami karakter anak, karena kalau dipaksakan, nanti secara umum (jika di sekolah formal-red), dia (akan) terlihat nakal dan tidak betul sehingga kami pilihkan model belajar homeschooling 1-2 mata pelajaran,” ungkapnya.
Putri Listya menjalani homeschooling sejak SD hingga saat ini SMA kelas 3. Ia melihat putrinya berkembang menjadi anak yang mandiri dan punya inisiatif belajar sendiri, walaupun di rumah orang tua tetap mengawasi dan sesekali mendampingi. “Dia seminggu sekali bertemu mentor, aktif menyiap-kan materi dan belajar tanpa harus disuruh. Waktu belajarnya hingga Maghrib. Kalau ada yang tidak dipahami, dia kontak mentornya,” jelas Listya.
Listya menjelaskan, dalam masa Pandemi Covid-19 ini anaknya tidak terganggu karena sudah terbiasa berkomunikasi jarak jauh dengan mentornya, baik lewat daring, teleconference, maupun Skype. Selanjutnya, Listya mengatakan bahwa dalam keseharian anaknya juga tidak sulit berkomunikasi dengan teman-temannya. Ini karena anaknya masih mengikuti Homeschooling Komunitas yang melakukan pertemuan seminggu sekali dengan mentor dan teman-temannya. Ia pun masih berkomunikasi dan beraktivitas bersama teman-temannya seperti anak biasanya.
Di sisi lain, lanjut Listya, karena homeschooling hanya berfokus pada pelajaran inti, dalam beberapa aspek keterampilan yang tidak utama anak tidak mendampatkannya dengan maksimal. “Di homeschooling, pelajaran kesenian dan olahraga tetap ada klasikalnya, tetapi model pembelajarannya tidak seperti di sekolah formal. Karena itu, kami harus mengajaknya sendiri seperti bersepeda, badminton, dan lainnya,” paparnya.
Elli Nur Hayati, MPH, Ph.D., Psikolog mengatakan homeschooling biasanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan khusus anak dan keluarga anak, dan dilakukan secara fleksibel. Guru atau tutornya juga dapat dilakukan oleh orang tua anak itu sendiri atau guru les serta tutor panggilan yang datang ke rumah.
Selain itu, metode belajarnya dapat dilakukan menggunakan internet, alat tulis secara manual, ataupun menggunakan laboratorium alam atau buatan, dan sebagainya. Sementara itu, durasi maupun waktu pembelajarannya diatur sesuai dengan kebutuhan anak dan keluarganya.
“Kita ketahui, bahwa tiap metode pembelajaran pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing,” ujar Elli. Pun, dalam pelaksanaan homeschooling dan School From Home (SFH).
Elli yang juga anggota Majelis Kesejahteraan Sosial PP ‘Aisyiyah ini mengatakan, bahwa homeshooling jika dirancang sesuai dengan kebutuhan anak, baik karena anak memiliki penyakit fisik atau mental tertentu, atau anak memiliki kebutuhan khusus dalam belajar, maka homeschooling akan berdampak positif bagi si anak dan keluarganya lewat pembelajaran secara khusus tersebut.
Walaupun demikian, menurut Elli yang merupakan pengajar Fakultas Psikologi UAD, perkembangan psikososial anak perlu diperhatikan. Ini karena homeschooling tidak memfa-silitasi anak untuk bergaul dan berinteraksi dengan anak-anak seusianya, sehing-ga perkembangan psikososial anak dapat saja mengalami hambatan.
Elli juga menyoroti soal School from Home (SfH). Kelebihan SfH, menurutnya adalah dapat mencegah anak tertular dari virus corona dan memberi waktu bagi anak untuk dapat beraktivitas dengan keluarganya lebih lama. Selain itu, SfH memberikan kesempatan bagi para orang tua untuk dapat mengenal lebih baik gaya belajar anak-anaknya.
Kendati demikian, kekurangan SfH adalah anak-anak cenderung akan merasa bosan, karena kegiatan belajar yang relatif monoton. (Syifa/Gustin)
Baca selengkapnya di Rubrik Edukasiana, Majalah Suara ‘Aisyiyah 6, Edisi Juni 2020