Liputan

Belajar dari Co-Founder Pahamify: Generasi Muda Indonesia Harus Punya Mindset Bertumbuh

Syarif Rousyan Pahamify

Seiring pesatnya perkembangan teknologi, saat ini telah tersedia banyak ruang pembelajaran yang mudah diakses oleh siswa. Salah satunya adalah Pahamify. Startup edtech yang didirikan oleh generasi muda Indonesia ini punya tujuan membantu siswa dalam menyerap materi pelajaran secara efektif dan menyenangkan.

Suara ‘Aisyiyah berkesempatan mewawancarai co-founder Pahamify, Syarif Rousyan Fikri, Senin (22/8). Fikri tumbuh di lingkungan persyarikatan Muhammadiyah: Asad Masykuri, eyang kakung-nya merupakan aktivis Muhammadiyah yang merintis PKU di Desa Parengan, Kecamatan Maduran, Kabupaten Lamongan; adapun Muniroh Zaini, eyang putri-nya merupakan aktivis ‘Aisyiyah yang pernah menjadi Ketua Majelis Ekonomi PDA Malang.

Fikri menjadi mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) di usia 15 tahun. Sebelumnya, ia menyelesaikan program akselerasi di SMP Muhammadiyah 2 Yogyakarta dan SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta. Simak lika-liku perjalanan Fikri mendirikan Pahamify dan pandangannya mengenai masa depan generasi muda Indonesia berikut ini:

Apa yang melatarbelakangi Anda membuat startup edukasi Pahamify?

Siswa Indonesia, menurut studi PISA (Programme for International Student Assessment), mempunyai motivasi yang tinggi, namun memiliki pencapaian yang rendah. Hal ini terjadi akibat kurangnya mutu pendidikan dan belajar menjadi beban semata. Saya ingin membuat belajar menjadi sebuah hal yang menyenangkan dan membantu siswa Indonesia mewujudkan potensinya.

Misi ini telah dimulai melalui kanal YouTube sains populer Hujan Tanda Tanya sejak 2016. Belakangan muncul dorongan dari para penonton untuk membantu mereka memperoleh nilai bagus dalam ujian, terutama untuk membantu mereka mempersiapkan seleksi masuk perguruan tinggi, sehingga saya dan rekan-rekan memutuskan untuk mendirikan Pahamify.

Bagaimana Anda bisa memainkan peran sebagai digital disruptor?

Tentunya ini tidak lepas dari peran orang tua, guru-guru, dan para profesor yang telah mendidik saya dari kecil untuk tak hanya menjadi pengguna, tetapi juga sebagai seorang pencipta yang menggunakan IPTEK untuk kepentingan bangsa.

Lika-liku apa yang mengiringi perjalanan Anda membuat dan mengembangkan Pahamify?

Sama seperti semua bisnis, pasti ada begitu banyak duka dan suka dalam membangun Pahamify. Apalagi sebelumnya saya merupakan seorang mahasiswa S3 yang tidak mempelajari bisnis secara spesifik. Terjun ke dunia bisnis membuat saya menyadari ada banyak hal yang tidak saya ketahui, sehingga akhirnya saya kembali menuntut ilmu pada akselerator startup Y Combinator di Silicon Valley yang disebut-sebut sebagai Harvard-nya startup.

Bagaimana pendapat Anda tentang realitas (literasi dan budaya) digital di Indonesia saat ini?

Kita masih menghadapi tantangan yang cukup berat. Berdasarkan data PIAAC dari OECD, kemampuan literasi kebanyakan pekerja di Jakarta, yang telah menyelesaikan bangku kuliah, bahkan lebih rendah dari kemampuan literasi lulusan SMP di Yunani dan Denmark. Ada begitu banyak hal baik, informasi, dan pelajaran berharga yang begitu mudah diakses di internet, tetapi minat untuk mengembangkan potensi diri dengan sebaik-baiknya sangat minim.

Bahkan di dunia kerja saja, yang merupakan lulusan PTN (Perguruan Tinggi Negeri) top pun belum tentu memiliki mentalitas pembelajar seumur hidup. Kebiasaan untuk berpikir dan menyaring informasi menggunakan kaidah ilmiah masih kalah oleh bias pribadi dan viralitas.

Masalah atau tantangan apa yang mesti menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat umum di era digital ini?

Ada begitu banyak masalah, tapi salah satu yang terpenting adalah mentalitas untuk terus bertumbuh. Perubahan karakter dan skill dimulai dari mindset. Mindset inilah yang perlu benar-benar ditanamkan kepada seluruh lapisan masyarakat. Terjebak di zona nyaman, gampang berpuas diri, dan bermalas-malasan adalah bibit dari kemunduran bangsa.

Dilihat dari sudut pandang sumber daya generasi muda Indonesia saat ini, seperti apa bayangan Anda tentang Indonesia ke depan, terutama dalam rangka menyambut bonus demografi?

Bonus demografi masih menjadi sebuah kemungkinan. Kemungkinan lain bonus ini justru akan menjadi beban apabila tidak diimbangi dengan kemajuan kualitas pendidikan, baik itu di rumah, sekolah, maupun dunia kerja. Kalau sedang melihat para pemuda yang punya semangat untuk belajar dan ingin maju, saya optimis kita akan bisa maju.

Apa kemampuan basic dan advance yang mesti dimiliki oleh anak muda sekarang kaitannya dengan era digital?

Di era digital ini, basic skill yang terpenting adalah kemampuan untuk belajar dengan cepat (learning agility) dan juga human skill. Dunia dan teknologi berkembang dengan cepat. Jika tidak memiliki kemampuan untuk belajar, kita akan ketinggalan.

Skill untuk memahami diri sendiri, berempati pada orang lain, serta berkomunikasi dengan baik adalah kunci untuk hidup berdampingan di dunia digital. Budaya Indonesia yang cenderung berprasangka, gampang sungkan, sering menjadi penghambat kemajuan.

Untuk (kemampuan, -ed) advance tidak perlu dipusingkan, karena kalau basic-nya dikuasai dan dipraktikkan terus menerus, advance skill akan tumbuh sendirinya mengikuti perkembangan dunia.

Seberapa besar peluang yang dimiliki generasi muda Indonesia untuk terlibat aktif dalam upaya mencerdaskan dan memajukan bangsa?

Peluangnya sangat besar. Bangsa kita bisa menjadi bangsa yang unggul jika para pemuda terus mengembangkan diri dan dapat bekerja sama dengan baik. Jika setiap pemuda meraih potensi optimalnya dan berbagi ilmu dengan yang lain, tentu bangsa kita bisa maju.

Dari pengalaman saya, SDM unggul di negara kita memiliki potensi yang sama dengan SDM unggul di negara maju, bahkan di Silicon Valley yang menjadi jantung peradaban. Tapi, sayangnya memang keunggulan itu belum merata. (Sirajuddin)

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *