Oleh: Tati
Jumlah pemimpin perempuan di ranah publik di Indonesia terus mengalami peningkatan. Sekalipun pada praktiknya, di beberapa daerah, kepemimpinan perempuan masih menjadi ketidakmungkinan.
Kesetaraan gender adalah salah satu pendekatan dalam keberhasilan kepemimpinan yang sebelumnya juga dipertegas Perserikatan BangsaBangsa (PBB) melalui salah satu dari 17 indikator Suistanable Development Goals (SDGs), yaitu kesetaraan gender untuk pembangunan berkelanjutan.
Membahas sifat kecenderungan perempuan, tidak bermaksud menyatakan sifat perempuan lebih baik. Hal ini justru memicu stigma yang bias gender. Perempuan hanya perlu terampil memahami karakteristik diri dan kecakapan meningkatkan manajemen diri. Itulah kapasitas yang perlu ditingkatkan jika menjadi seorang pemimpin. Barangkali kita bisa belajar dari sosok pemimpin perempuan yang akhir-akhir ini diakui berhasil, Jacinda Ardern, Perdana Menteri Selandia Baru.
Jacinda Ardern yang Menjadi Sorotan
Pemilik nama lengkap Jacinda Kate Laurell Ardern ini adalah seorang perdana menteri termuda dari Labour Party (Partai Buruh) di Selandia Baru yang lahir pada 26 Juli 1980. Pengalaman studinya adalah Sarjana Ilmu Komunikasi pada Relasi Internasional dan Komunikasi Profesional.
Setelah lulus tahun 2001, ia bekerja di berbagai sektor dalam pemerintahan dan bisnis. Melansir laman kids.britannica.com, ia pernah bekerja menjadi staf Perdana Menteri Helen Clark. Kemudian, pergi ke Inggris dan bekerja pada kantor kabinet Tony Blair, Perdana Menteri Inggris, tahun 2005. Saat itu, ia bertanggung jawab pada peningkatan interaksi pemerintah dengan bisnis kecil melalui otoritas lokal.
Sejak usia 18 tahun, Jacinda sudah masuk dalam dunia politik. Berbagai karier politik pun ditekuninya dari masa dewasa awalnya, yaitu mengemban tugas negara sebagai peneliti kebijakan politik, penasihat kebijakan senior di unit kebijakan Perdana Menteri Inggris, dan berlanjut di parlemen. Hingga 2017 ia terpilih menjadi Perdana Menteri Selandia Baru dari partai buruh.
Jacinda Ardern kembali menjabat sebagai Perdana Menteri setelah menang telak dalam Pemilu Selandia Baru pada 17 Oktober 2020 lalu. Di bawah kepemimpinannya, Selandia Baru dapat terbebas dari virus corona. Selain itu, dia juga merespons kasus penembakan di masjid Christchurch dengan memperketat kepemilikan senjata api.
Pendekatan Kepemimpinan Perempuan
Ketika di posisi parlemen, Jacinda sudah terkenal akan idealismenya dalam memperjuangkan isu-isu tidak populer, yang tak banyak disentuh oleh anggota parlemen lain. Misalnya saja soal warisan budaya daerah Selandia Baru yang mulai tertinggalkan, lingkungan hidup, dan perubahan iklim.
Ia juga menaruh perhatian khusus pada persoalan anak-anak. Bahkan saat menerima tawaran untuk menjadi kandidat perdana menteri dari Andrew Little, Pemimpin Partai Buruh, Jacinda mengaku bahwa keinginannya hanya satu, yaitu menjadi menteri untuk anak-anak. Walau sempat menolak tawaran tersebut selama tujuh kali, akhirnya Jacinda setuju dengan syarat bahwa setengah dari kaukusnya haruslah diisi oleh perempuan.
Ketegasannya berlangsung secara konsisten hingga awal masuk pandemi Covid-19 di Selandia Baru, Jacinda langsung membuat kebijakan lockdown. Keputusan ini berhasil menekan angka kematian pasien Covid-19 di negara yang ia pimpin. Bahkan, Jacinda menjadi salah satu dari empat pemimpin yang berhasil menekan angka kematian Covid-19.
Baca Juga: Kepemimpinan Perempuan dalam Pandangan Islam Wasathiyah
Dari berbagai jurnal disimpulkan bahwa keberhasilan Jacinda dalam menekan angka infeksi Covid-19 salah satunya dikarenakan komunikasi publik yang ia bangun. Ia menggunakan pendekatan empati dan hati; yang selama ini kita ketahui, penggunaan hati dan empati kerap menjadi hambatan bagi pemimpin untuk sebuah ketegasan. Namun, Jacinda telah membuktikan bahwa pendekatan empati membuatnya dinilai tetap tegas dan membuat warganya tertib dan disiplin.
Pesan-pesan Jacinda juga jelas dan konsisten. Banyak orang yang berpendapat bahwa pesan komunikasi yang disampaikan sangat menenangkan. Pendekatannya tidak hanya beresonansi dengan orang-orangnya pada tingkat emosional, tetapi juga pendekatan sains dan logika melalui kebijakan yang dibuatnya.
Selain upaya mewujudkan kesetaraan komposisi perempuan dalam struktur birokrasinya, Jacinda juga salah satu pemimpin yang tidak mempersoalkan urusan publik dan domestik perempuan. Terbukti dari ia yang mendapat apresiasi karena membawa putrinya sambil menyusui di acara resmi dalam sidang umum PBB. Jacinda pun menduduki peringkat ke-13 dari 22 perempuan paling berpengaruh dalam bidang politik versi Forbes pada tahun 2018 lalu. Ia berhasil mengalahkan posisi Hillary Clinton.
Pemimpin Perempuan Transformasional
Dalam Leadership in Democracy karya Paul Brooker dan Leadership in Organization karya David I. Bertocci disebutkan bahwa pendekatan empati yang perempuan gunakan dalam proses kepemimpinan cenderung membuat pemimpin perempuan mengutamakan proses musyawarah dalam pengambilan keputusan. Sehingga kepemimpinan perempuan bergaya transformasional.
Pemimpin transformasional memiliki kemampuan untuk menginspirasi dan memotivasi pengikut guna mencapai hasil yang melebihi harapan. Kemampuan ini umumnya didasarkan pada tiga karakteristik yaitu kepribadian-karisma, perhatian individu, dan stimulasi intelektual.
Terdapat sepuluh hal yang dapat dilakukan oleh pemimpin transformasional. Dalam kepemimpinan Jacinda, sepuluh hal ini hampir terpenuhi olehnya. Pertama, search for opportunities atau mencari peluang, yaitu dari pilihan isu tidak populer yang diangkatnya. Kedua, experiment and take risks atau bereksperimen dan mengambil risiko; dengan pengalaman mengembangkan tantangan dan membuat sebuah lingkungan kerja lebih inovatif. Misalnya dengan membawa anak sambil menyusui pada sidang PBB.
Ketiga, develop a vision atau mengembangkan visi untuk meningkatkan pekerja dengan berupaya untuk mempertahankan kasus yang terus menurun sejak masa awal pandemi. Keempat, enlist others atau mintalah yang lain. Seorang pemimpin yang transformasional akan senantiasa mencari peluang, baik untuk grup kecil, divisi, dan lain-lain dengan menekankan proses komunikasi kebijakan. Misalnya untuk penanganan pandemi diberikan kepada bironya.
Kelima, foster collaboration atau mendorong kolaborasi. Wujudnya adalah ketertiban masyarakat untuk lockdown dengan tujuan mengurangi dampak Covid-19 dan pencegahan. Keenam, strengthen others atau memperkuat orang lain, memperkuat kapasitas karyawan untuk mencapai tujuan visi dengan memberikan alat, pengetahuan, dan sumber daya untuk melakukan pekerjaan. Ketujuh, set an example atau pemimpin transformasional memberi contoh. Pemimpin adalah model perilaku dan keyakinan yang diperlukan untuk mencapai visi.
Kedelapan, plan small wins atau rencanakan kemenangan kecil. Pemimpin transformasional merencanakan kemenangan kecil, yaitu dengan membentuk serangkaian tujuan kecil yang berkontribusi pada tujuan menyeluruh visi. Kesembilan, link rewards to performance atau link hadiah untuk kinerja pemimpin transformasional menghubungkan penghargaan dengan kinerja. Seorang pemimpin membuat harapan diketahui, memastikan kinerja dapat diukur, dan menyediakan diri untuk senantiasa menghargai nilai orang. Kesepuluh, celebrate accomplishments atau merayakan prestasi segera melaksanakan lockdown.
Dalam dua buku tersebut, secara lugas dinyatakan bahwa untuk mewujudkan proses kepemimpinan yang berkualitas dibutuhkan kolaborasi kemampuan dan kecenderungan sifat atau karakteristik maskulin dan feminin. Itulah praktik dari mewujudkan praktik pendekatan kesetaraan gender dalam struktur birokrasi kepemimpinan negara.