Kalam

Benarkah ‘Aisyah Menikah pada Usia Enam Tahun?

Aisyah

Oleh: Siti ‘Aisyah

Nama ‘Aisyah, istri Rasulullah saw., kerap identik dengan praktik perkawinan anak sehingga sebagian umat Islam meyakini bahwa pernikahan anak diperbolehkan dalam Islam. Dalil yang dijadikan penguat adalah hadits tentang Rasulullah saw. yang menikahi ‘Aisyah ra. ketika masih berusia enam tahun.

***

Istilah pernikahan anak telah dikenal dalam kitab fikih klasik, yang disebut dengan nikāḥ aṣ-ṣaghīr atau nikāḥ aṣ-ṣaghīrah. Dalam kitab-kitab fikih kontemporer biasa disebut dengan an-nikāḥ al-mubakkir. Hal ini terlihat pada kitab zawaj as-sayyidah ’Aisyah wa masyru’iyyat az-zawaaj al-mubakkir dengan versi Indonesia Siti Aisyah pun Melakukan Nikah Dini.

Menurut WHO, pernikahan anak adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan atau salah satu pasangan masih dikategorikan anak-anak atau remaja yang berusia di bawah usia 19 (sembilan belas) tahun. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang merumuskan bahwa ”Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

Pernikahan merupakan fitrah kemanusiaan dalam memenuhi kebutuhan diri hidup berpasang-pasangan, mengembangkan keturunan, dan memenuhi fungsi kekhalifahan agar kehidupan manusia dapat terus berlangsung dan terpelihara dari satu generasi ke generasi untuk memakmurkan dan mengembangkan ekosistem kemanusiaan universal.

***

Dalam wacana Fikih Islam, ulama madzhab sepakat bahwa berakal (mukallaf) dan baligh merupakan syarat dalam perkawinan, kecuali bila dilakukan oleh walinya. Dalam pandangan umum para fuqaha, pernikahan tidak sah dilakukan kecuali oleh orang yang sudah diperbolehkan mengendalikan urusannya. Para ulama Fikih berbeda pendapat tentang usia perkawinan.

Syafi’i dan Hambali menyatakan bahwa usia baligh untuk laki-laki dan perempuan adalah 15 (limabelas) tahun. Imam Maliki menetapkan 17 (tujuh belas) tahun. Sementara itu Hanafi menetapkan usia baligh bagi laki-laki 18 (delapan belas) tahun, sedangkan perempuan 17 (tujuh belas) tahun. Adapun madzhab Imamiyyah menetapkan bahwa usia baligh laki-laki 15 (lima belas) tahun dan 9 (sembilan) tahun bagi perempuan.

Batasan usia menurut wacana Fikih dimaksud dalam konteks aturan hukum di Indonesia masih masuk dalam kategori usia anak-anak. Dengan demikian, wacana Fikih klasik cenderung membolehkan pernikahan anak-anak. Memang bila dilihat dari sisi sosio antropologis, usia sama dalam kurun waktu atau tempat berbeda, bisa jadi menunjukkan perbedaan dalam usia kematangan. Boleh jadi, usia 17 tahun pada masa imam madzhab sudah menunjukkan usia kematangan yang mampu menunaikan tanggung jawab dalam kehidupan keluarga.

Dalil-dalil yang dirujuk menunjukkan bolehnya pernikahan pada usia dini/belia antara lain Q.S. at-Talaq [65]: 4 dan an-Nisa` [4]: 3 dan 127.

Artinya, “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya (Q.S. at-Talaq [65]: 4).

Terkait dengan pernikahan anak, dalam ayat tersebut menjelaskan tentang iddah perempuan yang belum haid selama 3 (tiga) bulan. Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menyatakan bahwa yang dimaksud “perempuan-perempuan yang tidak haid” (lam yahidhna), adalah anak-anak perempuan kecil yang belum mencapai usia haid (ash-shighār al-la`iy lam yablughna sinna al-haidh). Ini sesuai dengan sababun nuzul ayat tersebut, ketika sebagian sahabat bertanya kepada Nabi saw mengenai masa iddah untuk 3 (tiga) kelompok perempuan, yaitu: perempuan yang sudah menopause (kibār), perempuan yang masih kecil (shighār), dan perempuan yang hamil (ūlatul ahmāl).

Jadi, ayat di atas secara manthuq (makna eksplisit) menunjukkan masa iddah bagi anak perempuan kecil yang belum haid dalam cerai hidup, yaitu selama tiga bulan. Imam Suyuthi dalam kitabnya Al-Iklil fi Istinbath At-Tanzil mengutip Ibnu ’Arabi, yang mengatakan, “diambil pengertian dari ayat itu, bahwa seorang wali boleh menikahkan anak-anak perempuannya yang masih kecil, sebab iddah adalah cabang daripada nikah”.

Jadi, secara tidak langsung, ayat di atas menunjukkan bolehnya menikahi anak perempuan yang masih kecil yang belum haid. Dalam hal ini, idah terjadi karena kasus perceraian. Sementara perceraian terjadi karena ada pernikahan. Dilalatul-iltizam-nya (indikasi logisnya) dari ayat tersebut adalah perempuan yang belum haid (dalam arti masih anak-anak) boleh menikah.

Artinya, Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (Q.S. an-Nisa` [4]: 3).

Artinya, Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam al-Quran (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya (Q.S. an-Nisa` [4]: 127).

Dalam Q.S. an-Nisa` [4]: 3 dan 127, menyebutkan tentang pernikahan anak perempuan yatim. Ayat 127 surah an-Nisa` tersebut ditafsirkan oleh ‘Aisyah ra. dalam hadis yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim.

Artinya, Ummul Mukminin ‘Aisyah menafsirkan ayat tersebut ketika ditanya oleh keponakannya ‘Urwah bin Zubair berkata: Wahai anak saudaraku, perempuan (yang dimaksud ayat itu) adalah anak perempuan yatim yang tinggal dalam rumah walinya (laki-laki), yang hartanya digabung dengan harta walinya, walinya pun tertarik pada harta dan kecantikan gadis itu. Dia pun ingin menikahinya tanpa bersikap adil dalam pemberian (mahar dan nafkahnya). Pemberian laki-laki itu padanya sama dengan yang lain. Maka terlarang bagi wali itu untuk menikahi perempuan yatim itu kecuali mampu bersikap adil pada mereka dan memberikan melebihkan pemberian pada mereka (H.R. Muttafaq ‘alaih).

Para ahli Fikih memahami perkataan ‘Aisyah, “maka terlarang bagi wali itu untuk menikahi perempuan yatim kecuali mampu bersikap adil pada mereka” menunjukkan bolehnya (masyru’iyyah) pernikahan pada usia dini bagi gadis yang belum baligh. Karena pengertian yatim itu diperuntukkan bagi yang belum baligh.

Bila dicermati lebih jauh, ayat-ayat al-Quran dimaksud tidak secara eksplisit mensyariatkan pernikahan anak. Ayat 4 Surah at-Talaq, menjelaskan tentang iddah perempuan yang tidak haid. Dalam ayat tersebut dapat juga menunjuk perempuan yang tidak pernah haidh bukan berarti mereka itu anak-anak, bisa juga perempuan dewasa tapi tidak pernah mengalami haid. Tafsir sayyidah ‘Aisyah ra., bukan pada usia nikah, tetapi menegaskan sikap laki-laki yang akan menikahi anak yatim yang dinikahi harus bersikap baik dan adil.

Pernikahan ’Aisyah dengan Rasulullah

Praktik pernikahan anak seringkali merujuk pada pernikahan Rasulullah saw. dengan ‘Aisyah, ketika beliau berusia 6 (enam) tahun.

Artinya, Dari ‘Aisyah bahwa Nabi saw. menikahinya ketika berumur 6 tahun dan mulai hidup bersama ketika usianya 9 tahun (HR Bukhari).

Hadis itu oleh para fuqaha dipahami bahwa Nabi Muhamamd saw. menikahi ‘Aisyah ra., yang saat itu berusia 6 tahun dan hidup bersama satu rumah dengan Rasulullah saw pada usia 9 tahun. Dari pemahaman itu, maka pernikahan anak-anak seakan memiliki landasan nash dalam Islam. Praktik pernikahan anak dalam masyarakat mengacu pada paham tersebut. Mereka juga berpandangan, daripada zina, lebih baik nikah, meski masih usia anak, belum mandiri secara ekonomi, sehingga masih tergantung pada orang tua.

Dalam konteks kekinian, hadis dimaksud perlu dibaca secara komprehensif dari berbagai perspektif, sehingga memperoleh pemahaman positif sejalan dengan maqashidut-tasyri’ yang dikembangkan dalam Fikih yang memashlahatkan, yang dilandasi nilai-nilai rahmah, mashlahah, kelembutan, kebaikan, keutamaan, kesetaraan, dan keadilan. Bacaan kritis terhadap hadis tersebut dengan mempertimbangkan aspek sanad hadis, faktor historis, kondisi sosio antropologis masyarakat Arab dan kondisi kematangan jiwa ‘Aisyah, serta aspek tarikh tasyri’, maka dapat dipahami bila Islam tidak menganjurkan perkawinan anak.

Pertama, aspek sanad hadis. Terhadap hadis ‘Aisyah yang diriwayatkan Bukhari tentang pernikahan ‘Aisyah tersebut di atas telah dilakukan kritik hadis. Riwayat hadis tentang usia ’Aisyah ra. ketika melakukan pernikahan tersebut di atas hanya berasal dari Hisyam bin ’Urwah sehingga hanya Hisyam sendirilah yang menceritakan umur ‘Aisyah saat dinikahi Nabi, tidak oleh Abu Hurairah atau Anas bin Malik.

Hisyam pun baru meriwayatkan hadis ini pada saat di Irak ketika usianya memasuki 71 tahun. Ya’qub bin Syaibah mengatakan tentang Hisyam, ”apa yang dituturkan Hisyam sangat terpercaya, kecuali yang diceritakannya saat ia menetap di Irak”. Syaibah menambahkan bahwa Malik bin Anas menolak penuturan Hisyam yang dilaporkan ke penduduk Irak. Menurut para ahli bahwa tatkala usia Hisyam sudah lanjut, ingatannya sangat menurun. Dengan demikian riwayat yang menyebutkan usia pernikahan ‘Aisyah ra. yang bersumber dari Hisyam bin ’Urwah patut dikritisi pula.

Kedua, aspek historis. Usia pernikahan ’Aisyah perlu dilihat dari sisi historis. Menurut Ath-Thabari, keempat putra Abu Bakar As-Siddiq dilahirkan isterinya pada masa Jahiliyah, artinya mereka -termasuk Aisyah- dilahirkan sebelum tahun 610 M.

Jika Aisyah dinikahkan saat usia 6 tahun, maka lahir pada tahun 613 padahal semua putra Abu bakar lahir sebelum tahun 610 M. Dengan merujuk Ath-Thabari, ‘Aisyah tidak dilahirkan pada tahun 613 melainkan sebelum 610. Jika ‘Aisyah dinikahkan sebelum tahun 610 M, maka beliau dinikahkan pada usia di atas 10 tahun dan hidup sebagai istri serumah dengan Nabi pada usia di atas 13 tahun.

Menurut Abdurrahman bin Abi Zinad, Asma kakak beradik dengan ’Aisyah, ia 10 tahun lebih tua. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, usia Asma sampai 100 tahun dan meninggal tahun 73 atau 74 Hijriyah. Ini berarti bahwa saat peristiwa Hijrah, usia Asma sekitar 27 atau 28 tahun (100-73). Karena usia ’Aisyah terpaut 10 tahun dengan Asma, maka usia ‘Aisyah saat pertama kali satu rumah dengan Nabi adalah antara 17 dan 18 tahun.

Ketiga, aspek sosio antropologis. Dalam membaca hadis pernikahan ‘Aisyah dimaksud, jika riwayat tersebut benar maka pernikahan tersebut perlu dibaca dari sisi sosio antropologis. Usia pernikahan itu relatif tergantung dari budaya masyarakat, era, dan tempat. Antara masyarakat satu dengan lainnya, satu tempat ke tempat lain, dan era berbeda, akan nampak budaya dan tradisi beragam.

Untuk masyarakat perkotaan modern usia pernikahan perempuan berkisar dari 20 hingga 25 tahun lain halnya dengan masyakat pedesaan dimana gadis pada usia belasan tahun sudah dipersunting para pemudanya yang juga berusia relatif muda. Boleh jadi masyarakat Arab Badui yang belum mengenal sekolah formal sebagaimana yang djumpai di perkotaan negara-negara Arab juga mengalami hal yang sama. Meskipun demikian jika ini dikaitkan dengan ‘Aisyah, usia mudanya diimbangi dengan kedewasaannya sebagaimana sering dikatakan ia jauh lebih dewasa dari perempuan seusianya, karena faktor kepribadian, keilmuan, dan aktivitasya dalam membimbing masyarakat.

Keempat, aspek al-ahwâl asy-syakhshiyyah. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat bahwa ‘Aisyah dipersunting Nabi berdasarkan perintah Allah yang hadir melalui mimpi. Nabi saw. mengisahkan mimpinya kepada ‘Aisyah:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ لَهَا أُرِيتُكِ فِي الْمَنَامِ مَرَّتَيْنِ أَرَى أَنَّكِ فِي سَرَقَةٍ مِنْ حَرِيرٍ وَيَقُولُ هَذِهِ امْرَأَتُكَ فَاكْشِفْ عَنْهَا فَإِذَا هِيَ أَنْتِ فَأَقُولُ إِنْ يَكُ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللهِ يُمْضِهِ

‘Aisyah ra. meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda kepadanya, “diperlihatkan kepadaku tentang dirimu dalam mimpiku sebanyak 2 (dua) kali. Aku melihatmu pada sehelai sutra dan ia (malaikat) berkata kepadaku, “inilah istrimu, maka lihatlah! Ternyata perempuan itu adalah dirimu, lalu aku mengatakan, “jika ini memang dari Allah, maka Dia pasti akan menjadikan hal itu terjadi” (HR Bukhari).

Dalam kaitan ini juga perlu dicatat bahwa ‘Aisyah adalah satu-satunya istri Nabi yang dipersunting di waktu gadis dan muda. Ini penting untuk disampaikan karena apa yang dilakukan Nabi selalu disertai dengan tujuan-tujuan mulia yang menyertainya. Demikianlah pernikahannya dengan ‘Aisyah dimaksudkan sebagai cara untuk memelihara ilmu-ilmu Islam yang berkaitan dengan al-ahwâl asy-syakhshiyyah karena apa yang dilakukan Nabi bersama ‘Aisyah merupakan sumber keilmuan Islam. Hal ini terbukti bahwa ’Aisyah ra. meriwayatkan sebagian besar hadis-hadis Nabi, terutama permasalahan perempuan dan keluarga.

Kelima, aspek tarikh tasyri’. Dari sisi tarikh tasyri’, peristiwa pernikahan ‘Aisyah dengan Nabi Muhammad saw. terjadi pada periode Makkah. Masa tersebut merupakan masa turunnya ayat-ayat yang menuntunkan tentang akidah dan akhlak, belum memasuki masa-masa tasyri’ yaitu masa dirumuskannya hukum-hukum far’iyyah ‘amaliyyah. Dengan demikian maka peristiwa tersebut tidak dapat dijadikan landasan penetapan pernikahan usia anak-anak.

Usia Pernikahan dalam Perspektif Al-Quran

Al-Quran sebagai sumber hukum Islam tidak menyebut usia pernikahan. Sebagai kitab yang berfungsi sebagai hudan atau petunjuk, al-Quran memberi isyarat perlunya memperhatikan usia kematangan dalam pernikahan. Petunjuk dimaksud ada dalam Q.S. an-Nisa` [4]: 6, yang di dalamnya terdapat isyarat al-Quran yang mengarah pada usia kematangan pernikahan, meskipun tidak menyebut batasan usia, yaitu dalam Q.S. an-Nisa’ [4]: 6,

Artinya, “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya…

Ayat tersebut menjelaskan tentang usia kematangan anak yatim yang dipandang cakap dalam mengelola harta warisan orang tuanya. Meskipun demikian, secara eksplisit ayat tersebut menyebut usia matang untuk nikah, yaitu usia “rusydan”. Dalam kitab Tafsir Al-Qur`an al-Hakīim yang dikenal dengan Tafsir Al-Manar, Sayid Imam Muhammad Rasyid Ridha mengutip komentar Ibnu Jarir, yang menyampaikan bahwa di antara mufasir salaf terdapat beberapa pendapat tentang makna rusydan. Mujahid mengartikannya dengan al-’aql (akal), Qatadah memaknai dengan baik akal dan agamanya, Ibnu Abbas memaknai dengan baik kondisi dirinya dan hartanya. Menurut Rasyid Ridha, rusydan dimaknai dengan ḥusnut-taṣarruf wa iṣābatul-khair, (mampu mengelola harta dan menggunakannya dengan baik), ṣiḥḥatul-‘aql wujūdatur-ra`yi (sehat akal dan matang dalam berpikir).

Selanjutnya ia menegaskan bahwa usia nikah yaitu usia ketika seseorang sudah siap untuk menikah, yaitu usia dewasa. Dalam usia ini, seseorang memiliki kecenderungan ingin membangun rumah tangga dan memiliki keturunan. Bagi seorang pria ingin menjadi seorang suami dan ayah bagi anak-anaknya atau bagi seorang perempuan, ingin menjadi seorang istri dan ibu bagi anak-anaknya. Dengan demikian, secara eksplisit al-Quran menegaskan adanya usia dewasa dalam pernikahan, yaitu mereka yang telah memiliki kematangan dalam berpikir, berilmu, dan mengelola harta, karena pernikahan memerlukan kesiapan untuk itu.

Pernikahan anak tidak dianjurkan dalam Islam karena dilihat dari sisi kesehatan reproduksi, psikis, maupun sosial, perempuan pada usia anak belum memiliki kesiapan untuk menikah. Sementara, pernikahan sebuah ikatan suci, perjanjian yang kuat antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri untuk menjalani hidup dan kehidupan sepanjang masa, mewujudkan Keluarga Sakinah, yaitu keluarga yang dilandasi rasa saling menyayangi dan menghargai (mawaddah wa rahmah) dengan penuh rasa tanggung jawab dalam menghadirkan suasana kedamaian, ketenteraman, dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat yang diridlai Allah swt.

Dalam menjalani samudera kehidupan di era globalisasi, bukan tidak mungkin, gelombang permasalahan akan dihadapi yang memerlukan kecerdasan, kearifan, ketegaran dalam menghadapi dan menyelesaikannya. Anak-anak yang mestinya hidup dalam masa bermain dan sekolah, dengan menikah, harus menghadapi tantangan kehidupan yang demikian kompleks. Untuk itulah diperlukan kesiapan fisik, psikis, spiritual, sosial, dan ekonomi yang dapat dilakukan oleh orang-orang dewasa yang sudah memiliki kesiapan dan kematangan menghadapi problema kehidupan dalam mewujudkan keluarga sakinah sebagai pilar kemajuan masyarakat dan bangsa.

Related posts
Berita

Aisyiyah Tetapkan Empat Karakter Gerakan Aisyiyah di Forum Tanwir

Jakarta, Suara ‘Aisyiyah – Guna menguatkan gerakan dan identitas organisasi, maka Pimpinan Pusat (PP) ‘Aisyiyah menetapkan empat Karakter Gerakan ‘Aisyiyah (KGA). Siti…
HajiSejarah

Ada Cerita ‘Aisyah di Balik Masjid Tan’im, Miqat Populer di Makkah

Warna putih mendominasi warna masjid yang terletak 7,5 kilometer dari Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi. Masjid ini memiliki pintu dan jendela yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *