Meski merupakan tindakan amoral dan mencederai nilai kemanusiaan, nyatanya, praktik inses masih banyak terjadi. Apa sebenarnya yang membuat orang melakukan inses dan apa yang harus dilakukan guna mencegah praktik inses merebak di masyarakat? Berikut wawancara Suara ‘Aisyiyah dengan Siti Aminah Tardi, Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) RI.
Apa definisi inses dan sejauh mana ruang lingkupnya?
Incest (inses) secara umum adalah hubungan seksual antara orang-orang yang mempunyai hubungan darah atau hubungan bersaudara dekat yang dianggap melanggar adat, hukum, dan agama. Definisi itu mencakup tiga ruang lingkup; (a) parental incest, yaitu hubungan seksual antara orang tua dan anak, misalkan ayah dengan anak perempuan atau ibu dengan anak laki-laki; (b) sibling incest, yaitu hubungan seksual antara saudara kandung, dan; (c) family incest, yaitu hubungan seksual yang dilakukan oleh kerabat dekat, di mana orang-orang tersebut mempunyai kekuasaan atas anak dan masih mempunyai hubungan sedarah, baik garis keturunan lurus ke bawah, ke atas, maupun menyamping, misalnya paman, bibi, keponakan, sepupu, saudara kakek nenek; yang jelas masih ada suatu ikatan keluarga sedarah.
Meskipun demikian, pengertian hubungan inses maupun ruang lingkup tersebut belum merupakan pengertian yang baku di dalam masyarakat, khususnya untuk kategori family incest. Alasannya karena batasan-batasan inses sangat bervariasi, baik menurut pandangan agama, sosial budaya, hukum, adat, bahkan kelas sosial. Misalkan perkawinan antar sepupu.
Bagaimana situasi inses di Indonesia saat ini?
Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2016-2019 menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak perempuan selalu berada di atas angka 1000 kasus, di antaranya adalah kekerasan seksual berbentuk inses. Namun, jumlah tersebut tidak dapat menggambarkan secara detil jumlah kekerasan seksual yang terjadi, termasuk inses.
Setidaknya ada empat alasannya. Pertama, Catahu tergantung dari pengembalian kuesioner dari lembaga penyedia layanan, kepolisian, P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak), rumah sakit, dan pengadilan. Kedua, jumlah kasus yang dicatat oleh lembaga penyedia layanan, kepolisian, P2TP2A, rumah sakit, dan pengadilan adalah kasus yang diadukan.
Ketiga, dalam konteks pandemi, lembaga layanan korban terbatas layanannya, dan korban juga terbatas mobilitasnya, sehingga menjadi hambatan tersendiri untuk mengadukan kasusnya. Keempat, kasus inses adalah kekerasan seksual yang berat, korban akan mengalami ketidakberdayaan karena harus berhadapan dengan ayah atau keluarga sendiri, kekhawatiran menyebabkan perpecahan perkawinan/konflik, sehingga umumnya baru diketahui setelah inses berlangsung lama atau terjadi kehamilan.
Terlepas dari itu, sebenarnya, fenomena inses jangan hanya dilihat dari jumlahnya, karena satu orang menjadi korban inses sama halnya terjadi bencana kemanusiaan.
Bagaimana pengaturan inses dalam hukum Indonesia?
Secara normatif, aturannya sudah jelas. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 294 Ayat (1) mengatur soal perbuatan cabul terhadap anak. Perinciannya adalah melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tiri, anak angkat, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa, yang pemeliharaan, pendidikan, atau pengawasanya diserahkan padanya atau pun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum dewasa. Ancamannya pidana penjara paling lama 7 tahun. Diatur juga di dalam Pasal 285 untuk perkosaan.
Selain itu, perbuatan inses diatur pula dalam UU No. 35 Tahun 2014 yang merupakan perubahan atas Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, serta UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang jika dilanggar akan dijatuhi hukuman.
UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam juga memberikan batasan perkawinan yang tidak diperbolehkan, yaitu antara dua orang yang; (a) berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas; (b) berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seseorang dengan saudara orang tua dan antara seseorang dengan saudara neneknya; (c) berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri; (d) berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan bibi/paman susuan; (e) berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang, dan; (f) mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam, kategori larangan perkawinan adalah akibat adanya hubungan nasab (keturunan), pertalian kerabat semenda, dan pertalian sesusuan.
Apa saja faktor yang menyebabkan praktik inses merebak di tengah masyarakat?
Kekerasan seksual terjadi karena adanya relasi yang tidak setara antara korban dan pelaku. Dalam beberapa kasus yang terjadi, pelaku mempunyai posisi dominan atau superior dibandingkan korban sehingga ia punya kuasa atas korban. Ketimpangan relasi ini karena posisi korban yang berusia anak dan jenis kelaminnya perempuan. Kerentanan dapat bertambah jika korban adalah penyandang disabilitas.
Perbuatan inses mempunyai karakter khusus, yakni terdapat hubungan hukum atau sosial antara subjek (pelaku) dengan objek (korban). Hubungan tersebut mencakup, (1) hubungan kekeluargaan (hubungan darah atau perkawinan) di mana si pelaku mempunyai kewajiban hukum untuk melindungi, menghidupi, memelihara, dan mendidik. (2) hubungan di luar kekeluargaan tetapi di dalamnya tumbuh kewajiban untuk memelihara atau menghidupi.
Keberadaan faktor hubungan itulah yang membuat tindak pidana inses mempunyai kekhususan yang berbeda dengan kekerasan seksual lainnya, yaitu mempermudah terjadinya kekerasan dan penyalahgunaan kewajiban.
Bagaimana mencegah atau meminimalisasi praktik tersebut terjadi di masyarakat?
Fenomena inses ini kan terbilang unik. Seperti yang saya jelaskan sebelumnya, ada beragam faktor penyebabnya. Meski begitu, secara umum, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah atau meminimalisasi praktik itu terjadi, seperti; pertama, memperbaiki relasi antara laki-laki dan perempuan sehingga terbangun keluarga yang demokratis; kedua, laki-laki dan perempuan harus mengetahui kewajibannya sebagai orang tua, dan; ketiga, sosialisasi pendidikan kesehatan reproduksi komprehensif, baik terhadap pasangan maupun anak. Hal yang tidak kalah penting adalah pendidikan agama dan moral bagi anak-anak, misalkan kita memahami larangan perkawinan atau hubungan seksual karena nasab, semenda, dan sesusuan.
Bagaimana jika sudah terjadi? Apa yang harus dilakukan pihak korban dan keluarga?
Pertama, mempercayai korban dan mendukung korban. Kedua, mengumpulkan barang bukti kekerasan seksual yang dilakukan. Ketiga, mencari bantuan untuk pendampingan (hukum, psikologis, dan sosial). Keempat, lapor ke kepolisian. Kelima, melakukan dan mengikuti proses hukum (visum, pemberian keterangan, dan persidangan).
Bagaimana agar masyarakat aware dengan isu inses?
Semua pihak harus melakukan pendidikan publik bahwa inses itu dilarang. Termasuk menyampaikan dampak inses terhadap fisik dan psikologis korban, dampak disabilitas pada korban, dan dampak kesehatan terhadap keturunan seperti potensi terjadi disabilitas.
Bagaimana praktik penanganan dan pendampingan korban? Apa kendala yang dihadapi?
Untuk pendampingan korban, tergantung pada kasusnya, karena setiap kasus mempunyai keunikan dan tantangannya sendiri. Satu resep tidak dapat digunakan untuk semua kasus. Namun, pada umumnya pendampingan korban kekerasan seksual dilakukan dengan memberikan rasa aman dan nyaman terlebih dahulu untuk korban/keluarganya, mengingat kemungkinan pelaku tinggal serumah dengan korban. Kemudian dilakukan pendampingan hukum dan proses pemulihan psikologis bagi korban agar berdaya.
Kendala yang dihadapi dalam proses hukum adalah korban inses sulit memberi pembuktian adanya persetubuhan, terutama ketika pelaku menyangkal melakukannya. Hal lain adalah tidak semua korban (terutama yang sudah di atas 18 tahun) mendapatkan dukungan dari anggota keluarganya yang lain untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan. Sedangkan pada tatanan masyarakat, kerap masyarakat justru menyalahkan “ibu” si anak yang dinilai tidak dapat memenuhi kebutuhan seksual suaminya.
Bagaimana sikap dan rekomendasi Komnas Perempuan mengenai fenomena tersebut?
Sikap Komnas Perempuan adalah; (a) mendukung pengaturan inses secara lebih jelas dalam RKUHP, dan merekomendasikan supaya; (b) memberikan pendidikan publik melalui berbagai sarana/media bahwa inses itu dilarang dan berbahaya; (c) memberikan pendidikan kepada calon orang tua akan kewajibannya sebagai orang tua terhadap anak, dan; (d) memberikan pendidikan kesehatan reproduksi komprehensif.
Organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah juga mempunyai peran penting, khususnya dalam memberikan pendidikan keagamaan terkait perkawinan, seperti larangan perkawinan karena nasab, semenda, dan sesusuan dengan penjelasan yang kontekstual, termasuk dalam konteks inses. Juga dengan menyampaikan pentingnya pendidikan seksual berbasis nilai-nilai agama, sehingga laki-laki dan perempuan yang akan menjadi orang tua memahami tugas dan tanggung jawabnya sebagai orang tua, dan bagaimana membangun keluarga yang demokratis dan bebas kekerasan. (Sirajuddin)