Liputan

Beralih ke Teknologi Ramah Lingkungan, Bisakah?

teknologi ramah lingkungan
teknologi ramah lingkungan

teknologi ramah lingkungan (foto: istockphoto)

Merujuk data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2021, Indonesia punya potensi energi terbarukan yang cukup besar. Potensi tersebut berasal dari matahari, air, angin, panas bumi, dan sebagainya. Sayangnya, sampai saat ini konsumsi energi masyarakat Indonesia masih mengandalkan sumber energi kotor yang jelas-jelas menimbulkan banyak dampak negatif.

Berangkat dari konteks tersebut, Majalah Suara ‘Aisyiyah mewawancarai Heru Nugroho, Guru Besar di Universitas Gadjah Mada (UGM) yang aktif melakukan konservasi energi melalui penggunaan tenaga surya dan turbin angin.

Apa yang dimaksud teknologi ramah lingkungan?

Teknologi ramah lingkungan itu artinya dampak dari pemanfaatan teknologi itu risikonya lebih kecil dibanding dengan energi konvensional. Itu ramah lingkungan. Tetapi kalau yang betul-betul ramah itu nggak ada. Saya kira teknologi panel surya yang menggunakan powerbank atau aki untuk menyimpan sebelumnya itu tetap ada dampak lingkungannya. Cuma ini dampaknya mungkin lebih bisa dikurangi.

Kalau kita pakai energi konvensional, misalnya listrik yang kita gunakan sehari-hari ini kan menggunakan pembangkit listrik tenaga uap, uapnya itu diperoleh melalui pembakaran batubara. Nah, batubara itu kan menghasilkan CO (karbon monoksida, -red); racun-racun di udara. Lalu pencarian batubara itu merusak lingkungan. Misalnya di Kalimantan yang lingkungannya rusak karena batubara.

Sebetulnya, ramah lingkungan yang betul-betul ramah, itu nggak. Tetapi lebih sedikit risikonya. Panel surya setelah lima belas tahun-dua puluh tahun akan rusak. Panelnya itu juga akan menghasilkan limbah. Nanti dua puluh tahun lagi pasti akan banyak limbah panel surya. Cuma nanti akan ada proses daur ulang. Aki juga sama. Aki itu timahnya bisa dipakai lagi. Jadi tidak dibuang.

Artinya, ya tetap memberi tekanan pada lingkungan. Memang kelakuan manusia ketika diberi alam itu menundukkan alam, bukan melestarikan alam. Alam itu ditundukkan dengan kepentingan manusia. Seperti inilah akibatnya.

Apa yang membuat Anda tertarik dengan isu teknologi ramah lingkungan?

Itu minat sudah lama. Mencoba bagaimana energi itu kalau bisa mandiri, tapi yang “ramah”. Paling tidak ada satu-dua orang yang tidak mengkonsumsi PLN yang diproduksi melalui tidak ramah lingkungan itu. Ada memang teknologi terbarukan, tapi kan itu masih kecil jumlahnya. Yang paling besar jumlahnya itu ya yang menggunakan batu bara, membakar minyak, dan lain-lain.

Itu menjadi keprihatinan saya. Saya mencoba untuk lepas dari itu, bisa nggak? Saya bereksperimen. Nah eksperimen saya adalah kalau hanya untuk memisahkan diri dari PLN untuk tingkat rumah tangga, itu gampang. Apalagi hanya untuk lampu. Saya punya kompor ramah lingkungan; tidak pakai gas tapi pakai tenaga matahari. Itu juga bisa, mampu. Tapi untuk sementara ini, listrik yang saya hasilkan untuk nge-charge mobil itu besar. Itu butuh daya yang besar. Maka saya belum pakai untuk rumah, kadang-kadang saja.

Artinya, independensi. Spirit untuk independen dari ketergantungan dari energi yang kotor ini. Bisa nggak saya? Saya mencoba melakukan eksperimen ini, dan pelan-pelan bisa. Sebenarnya kalau duitnya banyak, bisa itu. Itu persoalan duit, kok. Persoalan kapital itu. Jadi tidak harus orang teknik. Toh yang hobi saja memasang sendiri bisa.

Apakah peluang untuk digunakan masyarakat luas kecil?

Itu tinggal bagaimana policy dari pemerintah, political will tentang energi terbarukan ini. Kan sekarang barangnya semua masih impor; panel surya, turbin angin. Itu harganya masih mahal memang. Itu belum bisa menjadi gerakan rakyat, kecuali ada political will dari pemerintah. Tapi ini memang nggak mudah.

Itu memang mahal. Jadi bagaimana pemerintah bisakah mengurangi pajak atau dengan membuat panel surya lokal; pabrik-pabriknya ada di Indonesia. Seperti China itu kan juga memberi berbagai bentuk fasilitas sampai transfer teknologi, hingga China bisa membuat panel surya sendiri. Nah Indonesia saya harap seperti itu, sehingga bisa dibuat di Indonesia. Atau, bukan sekadar dibuat, tapi Indonesia membuat sendiri juga. Karena bahannya di sini. Seluruh bahan panel surya itu ada di Indonesia.

Adakah keinginan Indonesia untuk beralih ke teknologi ramah lingkungan?

Saya kira itu pertarungan orientasi profit antara rezim lama dengan rezim baru energi. Kalau di Eropa Barat, rumah-rumah sudah banyak yang memasang panel surya. Tapi bukan yang seperti punya saya. Punya saya itu kan pasang panel surya untuk punya pembangkit sendiri. Kalau saya itu pasang panel surya dan turbin angin yang tiap sore dapat 5000 watt. Dijemur seharian, lalu ditampung di aki. Nah, kalau di sana itu pakai grid inverter. Saya juga punya. Jadi langsung dikaitkan dengan PLN. Itu kalau dikaitkan, meteran PLN bisa pelan atau bahkan mundur kalau supply-nya banyak.

Baca Juga: Mengenalkan Perubahan Iklim pada Anak Usia Dini

Misalnya Anda satu hari butuh 500 watt, sementara panel surya dan turbin angin Anda menghasilkan 1000 watt, berarti kan kelebihan. Nah, itu bisa mundur meterannya atau paling tidak menjadi pelan. Itu sudah saya eksperimenkan, dan bisa terjadi. Tapi kalau kita menjual ke PLN, itu yang belum bisa. Kalau di Eropa Barat, banyak orang memasang panel surya untuk dapat uang. Kelebihan dari pemakaian itu bisa dijual, kalau di sana. Di sini sistemnya belum seperti itu. Mungkin bikin ribet PLN. Itu kan rezim lama berarti.

Bisakah masyarakat membuat inisiatif sendiri?

Kalau misalnya satu desa butuh penerangan jalan, gampang itu. Masyarakat urunan bikin seluruh penerangan jalannya dikaitkan dengan panel surya. Bisa. Tinggal kemauan saja, kok. Dan kalau hanya untuk lampu penerangan nggak mahal.

Seberapa penting teknologi ramah lingkungan ini diterapkan?

Kenapa penting, karena ini merupakan upaya bersih lingkungan dan di sekitar kita itu sebetulnya ada energi yang tidak dimanfaatkan. Sebetulnya itu bisa dimanfaatkan dan menghasilkan banyak energi listrik. Matahari, angin, air. Gelombang laut juga bisa menghasilkan energi. Di Finlandia, misalnya, banyak sekali turbin-turbin pembangkit listrik menggunakan tenaga gelombang.

Di Indonesia, pantai selatan Jawa ini kan gelombangnya besar, itu kalau dipakai bisa jadi energi sendiri. Nggak kurang-kurang. Cuma ya itu tadi; politiknya. Politiknya itu, loh. Sebetulnya sumber daya manusianya cukup, cuma kemauannya saja yang nggak ada. Universitas itu juga bisa, tapi orientasi sebagian besar universitas sekarang kan proyek, bukan riset. Mestinya, kalau universitas tersebut letaknya di Jogja yang notabenenya dekat pantai selatan, kan bisa jadi spesialis energi kinetik yang digerakkan oleh gelombang. Tapi nyatanya kan tidak.

Siapa yang perlu disadarkan terlebih dahulu, masyarakat atau pemangku kebijakan?

Ide saya dulu, gerakan seperti ini dilakukan oleh masyarakat kelas menengah. Misalnya Anda membeli apartemen atau rumah real estate, itu pengembangnya diwajibkan agar atapnya sebagian pakai panel surya, dan kemudian panel surya itu dipakai untuk penerangan rumah itu. Jadi hybrid; ya PLN, ya panel surya. Jadi dimulai dari yang kuat dahulu, kelas menengah.

Sekarang ini ada (yang menerapkan itu, -red), tapi kan individual; yang minat saja, yang punya duit saja. Tapi kalau ada policy bahwa untuk rumah tipe tertentu penerangannya harus pakai panel surya, itu beda lagi. Kalau gerakan di tingkat bawah belum bisa, lah duitnya nggak ada. Kecuali ada donor atau sponsor. (Sirajuddin)

Related posts
Berita

Anak Muda Muslim Responsif Terhadap Dampak Perubahan Iklim

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Dampak perubahan iklim menjadi isu penting saat ini. Dampaknya sudah dirasakan seperti cuaca ekstrem, suhu panas udara yang…
Berita

Majelis Kesehatan PP Aisyiyah Gelar Seminar Perubahan Iklim

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Majelis Kesehatan PP ‘Aisyiyah gelar seminar perubahan iklim, peran perempuan, dan kesehatan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang tangguh,…
Berita

Ernyasih Sampaikan Gangguan Kesehatan Mental Akibat Terjadinya Perubahan Iklim

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Penyebab dari perubahan iklim biasanya disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil yang berlebihan yang kemudian menyebabkan polusi udara….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *