
Detikcom
Oleh: Muhsin Hariyanto*
Sampai saat ini masih ada orang yang menanyakan apakah merupakan keharusan, bahwa hasil penyembelihan kurban dibagi ‘persis’ 1/3 untuk shâhibul qurbân, 1/3 untuk sedekah pada fakir miskin dan 1/3 sebagai hadiah untuk siapa pun yang dikehendaki oleh sahibul kurban. Lalu apakah hasil kurban boleh dimakan oleh orang yang berkurban (shâhibul qurbân)?
Yang lebih penting untuk kita ingat, bahwa ibadah kurban merupakan bagian dari ungkapan syukur kita kepada Allah yang telah memberikan nikmat yang banyak kepada diri kita. Bagi orang yang beriman kepada Allah, dengan ibadah kurban kita dapat mengambil pelajaran dari keluarga Nabi Ibrahim a.s.. Kurban – kalau kita laksanakan dengan benar – akan dapat membangun kesadaran tentang kepedulian terhadap sesama, terutama terhadap orang fakir-miskin.
Beberapa ayat Al-Quran dan hadis Nabi saw menjelaskan pendistribuan kurban, yaitu: Q.s. al-Hajj: 28, Allah befirman: “Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan mereka agar menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Dia berikan kepada mereka berupa hewan ternak. Maka makanlah sebagian darinya (dan sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.”
Selain itu, dalam Q.s. al-Hajj: 36, Allah befirman: “Dan unta-unta itu Kami jadikan untukmu bagian dari syi’ar Allah, kamu banyak memperoleh kebaikan padanya. Maka sebutlah nama Allah (ketika kamu akan menyembelihnya) dalam keadaan berdiri (dan kakikaki telah terikat). Kemudian apabila telah rebah (mati), maka makanlah sebagiannya dan berilah makan orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan orang yang meminta-minta. Demikianlah Kami tundukkan (unta-unta itu) untukmu, agar kamu bersyukur.”
Kebanyakan ulama menyatakan bahwa orang yang berkurban disunnahkan bersedekah dengan sepertiga hewan kurban, memberi makan dengan sepertiganya, dan sepertiganya lagi dimakan oleh dirinya dan keluarga. Namun riwayat-riwayat tersebut sebenarnya adalah riwayat yang lemah. Sehingga yang lebih tepat hal ini dikembalikan pada keputusan orang yang berkurban (shâhibul qurbân). Seandainya ia ingin menyedekahkan seluruh hasil kurbannya, hal itu diperbolehkan.
Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu ’anhu: “Sungguh, Nabi shallallâhu ’alaihi wa sallam memerintahkan dia (Ali) untuk mengurusi untanya (yang disembelih untuk berkurban). Beliau memerintahkan untuk membagi semua daging kurbannya, kulit dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin). Dan beliau tidak diperbolehkan memberikan bagian sedikit pun dari kurban itu kepada tukang jagal (sebagai upah).” (H.r. Al-Bukhari, Shahîh alBukhâriy, juz II, hal. 221, hadis no. 1717).
Dalam hadis ini terlihat bahwa Nabi saw sampai berkeinginan untuk menyedekahkan seluruh hasil sembelihan kurbannya kepada orang miskin. Orang yang berkurban tidak boleh menjual sedikit pun hal-hal yang terkait dengan hewan kurban, seperti, kulit, daging, susu dan lain-lain, dengan uang yang menyebabkan hilangnya manfaat barang tersebut.
Sementara itu, menurut mazhab Hanafi, kulit hewan kurban boleh dijual dan uangnya disedekahkan, kemudian uang tersebut boleh saja dibelikan oleh orang yang telah menerimanya. Misalnya untuk membeli sesuatu yang bermanfaat bagi kebutuhan rumah tangganya. Dalam sebuah hadis yang diperselisihkan derajat riwayatnya, dinyatakan bahwa orang yang berkurban (shâhibul qurbân) tidak boleh menjual kulit hewan kurban atau bagian-bagian tubuh yang lain. Hal ini, karena Rasulullah saw telah bersabda: “Barangsiapa menjual kulit hewan kurbannya, maka (seolah-olah) tiada kurban baginya.” (H.r. Al-Hakim, Al-Mustadrak, juz II, hal. 422, hadis no. 3468; Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubrâ, juz IX, hal. 294, hadis no. 19708 dari [sahabat] Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu, dihasankan oleh Al-Albani, alam kitab Al-Jâmi’ ash-Shaghîr wa Ziyâdatuh, juz I, hal. 1107, hadis no. 11063).
Atas dasar hadis-hadis tersebut dan lainnya, maka haramnya penjualan daging hewan kurban secara khusus, telah menjadi ijmak dan kesepakatan seluruh ulama. Sedangkan untuk bagianbagian selain daging, seperti kulitnya, kepalanya dan lain-lain, memang terdapat sedikit perbedaan pendapat. Namun jumhur mazhab (Maliki, Syafi’i dan Hambali) tetap sepakat bahwa, haram hukumnya bila bagian apa pun dari hewan kurban itu dijual atau dijadikan sebagai upah jagal, biaya operasional dan semacamnya. Mengapa tidak boleh dijual dan dijadikan upah jagal atau untuk biaya-biaya operasional yang lain?
Di samping memang hal itu semua dilarang berdasarkan dalil-dalilnya, juga karena penjualan, pengupahan jagal, dan pengambilan biaya operasional dari bagian hewan kurban itu akan mengurangi nilai kurban dan menjadikannya tidak utuh lagi sebagai persembahan untuk Allah SWT. Logikanya adalah bahwa, jika kulit hewan kurban itu misalnya dijual atau dijadikan upah jagal, maka seakanakan sang pekurban (shâhibul qurbân) telah berkurban dengan misalnya seekor kambing atau sapi “tanpa kulit”.
Selanjutnya, jika demikian halnya, maka bagaimana cara panitia kurban di masjid dan lain-lain menyikapi dan memperlakukan kulit-kulit tersebut? Perlu dipahami bahwa larangan menjual kulit atau bagian apa pun dari hewan kurban itu tertuju kepada sang pekurban (shâhibul qurbân) dan juga panitia kurban dalam status, posisi, dan kapasitasnya sebagai wakil kepercayaan dan penerima serta pengemban amanah para pekurban (shâhibul qurbân).
Adapun jika yang melakukan penjualan itu si penerima kulit atau seseorang atau pihak yang berstatus sebagai wakil kepercayaan penerima, dan bukan wakil shâhibul qurbân, maka hal itu tentu saja boleh dan tidak dilarang. Karena memang para penerima bebas memanfaatkan apa-apa yang diterimanya dari bagian hewan kurban, seperti, mengonsumsinya, memberikannya kepada orang lain, termasuk ‘menjualnya’, dan lain-lain. Dan sebagaimana mereka (para penerima) bebas menjual sendiri yang mereka terima dari hewan kurban, seperti kulitnya misalnya, maka proses dan transaksi penjualan tersebut juga boleh jika diwakilkan kepada orang atau pihak lain.
Akhirnya, kami memandang perlu untuk mencari jalan keluarnya. Berikut ini beberapa opsi atau alternatif pilihan untuk cara memperlakukan dan mendistribusikan kulit hewan kurban, dengan pertimbangan untuk mencari dan memperoleh kemaslahatan dan menghindari kemudaratan:
Pertama, panitia melakukan pendataan nama orang-orang atau pihakpihak penerima (tidak harus perorangan, tapi insyâallâh bisa juga yayasan, lembaga, masjid, panti, sekolah dan lainlain) yang dinilai berhak mendapatkan kulit-kulit itu. Lalu setelah proses penyembelihan dan pengulitan usai serta kulit-kulit terkumpul, maka panitia menyerahkannya langsung dalam bentuk kulit kepada mereka sesuai data, dan membiarkan mereka melakukan apa saja terhadap kulit-kulit itu sesuai kemauan dan kebutuhan masing-masing. Karena dengan telah diserah terimakan, maka otomatis kulit-kulit itu telah menjadi hak milik sah para penerimanya. Yang berarti pula dengan begitu panitia telah lepas tanggung jawab terhadapnya.
Kedua, panitia melakukan pendataan para calon penerima seperti yang pertama, lalu mendatangi atau menghubungi masing-masing untuk memberi tahu bahwa ia akan ‘kebagian’ (mendapatkan bagian) kulit, seraya menanyakan apakah akan menerimanya langsung dalam bentuk kulit, ataukah ingin dibantu untuk dijualkan, lalu menerimanya sudah dalam bentuk uang senilai harga kulit yang telah ditetapkan menjadi bagiannya. Nah, jika si penerima ingin dibantu untuk dijualkan, maka siapa saja (yang penting bisa bersikap amanah) bisa dan boleh mewakilinya menjualkannya, termasuk panitia itu sendiri. Karena yang penting di sini status dan posisinya sudah sebagai wakil penerima dan bukan lagi sebagai wakil shâhibul qurbân. Ingat, yang tidak boleh adalah jika panitia menjual kulit masih dalan status dan posisinya sebagai wakil shâhibul qurbân. Karena memang wakil itu terikat dengan seluruh hukum dan konsekuensinya yang mengikat pihak yang diwakilinya.
Ketiga, panitia melakukan pendataan nama-nama calon penerima kulit seperti yang pertama dan kedua itu, akan tetapi tanpa harus mendatangi atau menghubungi satu persatu pihakpihak penerima yang telah terdata tersebut, melainkan bisa langsung mewakili mereka dalam penjualan kulit yang menjadi bagian mereka sesuai data, lalu menyerahkan hasil penjualan kulit itu kepada mereka seusai proses transaksi jual beli. Dan hal itu insyâallâh ditoleransi, karena hampir bisa dipastikan bahwa, para penerima itu akan setuju jika dibantu dalam penjualan kulit-kulit itu untuk nantinya tinggal menerima hasil penjualan dalam bentuk uang, karena hal itu lebih memudahkan panitia dan sekaligus lebih meringankan dan membantu mereka sendiri.
Namun cara yang lebih afdal (utama) untuk opsi (pilihan) terakhir ini adalah sebaiknya panitia menunjuk atau membentuk sub panitia yang secara khusus bertugas menangani kulit, yang sejak awal telah disepakati tentang status dan posisinya sebagai wakil para penerima kulit, khususnya dalam melakukan proses dan transaksi penjualan serta penyerahan hasilnya kepada mereka sesuai data dan fakta. Satu hal yang harus ditegaskan agar tidak diabaikan, dan juga supaya proses transaksi penjualan kulit itu dibenarkan dalam rangka mewakili dan atas nama pihak-pihak penerima, dan bukan lagi mewakili dan atas nama para pekurban (shâhibul qurbân), adalah bahwa pendataan nama-nama atau pihak-pihak penerima kulit harus sudah dilakukan sebelumnya, sehingga saat transaksi penjualan terjadi status kulit-kulit itu sudah benar-benar jelas sasaran alamat penerimanya.
Hal ini tentu saja sangat jauh berbeda dengan praktik umumnya panitia kurban selama ini, yang langsung menjual kulit-kulit kurban sebelum jelas betul siapa-siapa saja pihak penerimanya. Karena dalam kondisi seperti itu status dan posisi panitia tetap sebagai wakil para shâhibul qurbân, dan bukan wakil penerima karena sampai penjualan terjadi, para penerima masih belum jelas dan definitif. Wallâhu a’lamu bish-shawâb. [6/24]
*Dosen Tetap Program Studi Ekonomi Syari’ah, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta; Ketua PCM Kraton Yogyakarta; (Mantan) Anggota PPM Majelis Tarjih (2010-2015)


1 Comment