Menjadi menyandang disabilitas bukanlah hal mudah, namun bukan berarti kondisi ini menjadi alasan untuk tidak maju dan berkiprah di masyarakat.
Salah satu sosok perempuan tangguh itu bernama Arni Surwanti. Perempuan kelahiran tahun 1964 ini merupakan salah satu penyandang disabilitas, tetapi ia tak menyerah dengan keadaannya. Arni merupakan seorang pakar manajemen yang mumpuni. Bahkan kini ia diberi mandat sebagai Ketua Program Studi Magister Manajemen, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Ia juga menjadi pengurus dalam Majelis Pemberdayaan Masyarakat Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Selain itu, perempuan berusia 55 tahun ini juga aktif di berbagai organisasi seperti Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah se Indonesia, Asosiasi Finansial Indonesia, dan CIQAL (Center for Improving Qualified Activities in Life of People with Disabilities).
Tak hanya berdaya bagi dirinya sendiri, Arni juga ikut memberdayakan kelompok disabilitas melalui berbagai penelitian dan pengabdian masyarakat. Salah satunya adalah mengadvokasi penyusunan Peraturan Daerah (Perda) tentang Disabilitas di lima kabupaten di Propinsi DIY yang bekerja sama dengan UMY, MPM Muhammadiyah, dan LBH. Pada tahun 2017 lalu, Arni juga bekerja sama dengan CIQAL mengadakan advokasi implementasi pendidikan pengurangan risiko bencana di sekolah-sekolah inklusif di Indonesia.
Arni tak menampik bahwa kelompok disablitas mendapatkan diskriminasi di berbagai aspek kehidupan, mulai dari pendidikan hingga akses pekerjaan. “Tentunya ada banyak ya. Misalnya urusan pendidikan. Bagi orang normal biasa saja, tetapi ini jadi kendala tersendiri bagi penyandang disabilitas.”
Ia menjelaskan data di Daerah Istimewa Yogyakarta saja ada 1.500 anak penyandang disabilitas yang tidak bersekolah. Tentu ini artinya sebuah persoalan. Meskipun dalam undang-undang atau Perda disebutkan bahwa penyandang disabilitas boleh memilih sekolah yang mereka inginkan baik sekolah umum atau sekolah khusus. Sayangnya banyak sekolah umum yang belum mau atau mampu menerima penyandang disabilitas. Baik dari sisi kesiapan guru saat mengajar hingga sarana dan prasarana yang tidak ramah kelompok disabilitas.
Selain itu, menurut Arni ada juga orang tua murid yang keberatan jika anaknya satu sekolah dengan penyandang disabilitas. Ada memang sekolah swasta khusus penyandang disabilitas tetapi itu mahal. Sekolah ini bisa diakses dengan biaya SPP per bulan mencapai 2 juta rupiah. Tentu angka tersebut kurang dapat dijangkau oleh penyandang disabilitas dari keluarga dengan ekonomi tingkat bawah.
Selain di bidang pendidikan, menurut Arni, diskriminasi terhadap penyandang disabilitas juga muncul pada akses pekerjaan. Katakanlah seorang penyandang disabilitas sudah punya pendidikan tinggi, tetapi ketika masuk ke pasar kerja tidak diterima karena dianggap tidak produktif jika diban-dingkan dengan yang lain.
Arni beruntung dikelilingi oleh keluarga dan lingkungan yang selalu memotivasinya untuk tumbuh dan berkembang menjadi seorang yang percaya diri. Baginya, dorongan dari keluarga adalah faktor utama dan pertama yang mampu membuatnya menjadi seperti ini. [d]
Baca selengkapnya di Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi 4 April 2019, rubrik Inspirasi, hal 18-19