Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Di era digital saat ini, menuliskan doa di media sosial menjadi hal yang sangat lumrah.
Hampir setiap hari kita menjumpai unggahan seperti “Ya Allah, berilah aku kekuatan,” atau “Mohon doa agar operasi besok lancar.” Namun, muncul pertanyaan menarik: Apakah berdoa di media sosial dibenarkan dalam pandangan Islam?
Pertanyaan tersebut menjadi bahasan utama dalam Pengajian Tarjih ke-323 Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Selasa (8/10/25).
Kegiatan yang diselenggarakan secara daring ini mengusung tema “Adab-Adab Berdoa: Berdoa di Media Sosial, Bolehkah?” dengan menghadirkan Ali Yusuf, Anggota Divisi Fatwa dan Pengembangan Tuntunan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah sebagai narasumber.
Doa sebagai Ibadah Khusus
Dalam pemaparannya, Ali menegaskan bahwa doa merupakan ibadah yang memiliki kedudukan istimewa dalam kehidupan seorang Muslim. Seperti sabda Rasulullah bahwa doa adalah ibadah.
Siapa pun yang berdoa, baik dengan lisan, tulisan, maupun dalam hati, telah beribadah selama niatnya tulus dan dilakukan dengan ketundukan kepada Allah.
Namun, dalam Islam, doa memiliki dua dimensi besar: dimensi khusus dan dimensi umum.
Pada dimensi khusus, doa adalah ibadah yang memiliki adab tertentu, seperti menghadap kiblat, diawali pujian kepada Allah, dilanjutkan dengan selawat, dan diakhiri dengan hamdalah. Dalam konteks ini, doa merupakan komunikasi pribadi antara hamba dan Tuhannya.
“Doa di media sosial biasanya dilakukan sambil menulis status atau bersantai. Tentu suasananya tidak sama dengan doa yang dilakukan dengan kekhusyukan,” jelas Ali.
Ia mengingatkan bahwa menampilkan doa di ruang publik digital juga berisiko menumbuhkan riya atau pamer kesalehan. “Doa adalah bentuk kedekatan yang pribadi. Jika ditampilkan dengan niat mencari simpati, nilai keikhlasannya bisa berkurang,” ujarnya.
Baca Juga: Cakap Bermedia Sosial di Era Polarisasi Informasi
Ia juga menyoroti kebiasaan sebagian orang yang tanpa sadar membuka aib pribadi melalui unggahan doa. Misalnya menulis, “Ya Allah, ampuni aku karena telah melakukan kesalahan ini.”
Meski terlihat religius, tindakan tersebut justru menyingkap hal yang seharusnya disembunyikan. “Allah menutupi aib seorang hamba, maka janganlah kita sendiri yang membukanya,” tuturnya.
Doa sebagai Praktik Sosial
Meski demikian, dalam dimensi umum, berdoa di media sosial tidak serta-merta dilarang. Jika dilakukan dengan niat baik, hal itu bisa menjadi sarana pembelajaran, dakwah, dan mempererat silaturahim.
Sebagai sarana edukasi, unggahan doa dapat membantu masyarakat belajar tentang tuntunan Islam. “Misalnya seseorang menulis doa tidur disertai artinya, atau doa syukur dengan penjelasan singkat. Itu bisa menjadi ladang kebaikan,” jelas Ali.
Selain itu, doa di media sosial juga dapat berfungsi sebagai ajakan empati sosial. Unggahan seperti “Mari kita doakan saudara-saudara kita yang sedang tertimpa bencana” bukan hanya doa, melainkan juga panggilan untuk peduli dan memperkuat solidaritas umat.
Menutup penjelasannya, Ali mengingatkan agar umat Islam tetap menjaga niat dan adab dalam berdoa.
“Berdoalah dengan hati yang ikhlas dan tujuan yang jelas. Jika doa bersifat pribadi, sampaikan langsung kepada Allah. Jika untuk berbagi kebaikan, lakukan dengan niat yang benar dan cara yang santun,” pesannya.
Pengajian Tarjih ke-323 ini menjadi refleksi penting di tengah derasnya arus digitalisasi. Melalui pandangan Tarjih, umat diingatkan untuk senantiasa menjaga keseimbangan antara spiritualitas dan etika bermedia.
Doa, meski dapat hadir dalam bentuk unggahan digital, tetaplah menjadi jembatan spiritual antara hamba dan Tuhannya sebuah komunikasi suci yang sepatutnya dijaga dengan adab, kesadaran, dan keikhlasan. (Hana)-sa

