SejarahSosial Budaya

Berempati kepada Pengungsi Palestina

Oleh: Hajriyanto Y. Thohari

Di dunia ini ada banyak sekali pengungsi (refugee). Pada Hari Pengungsi Sedunia (20/6), PBB merilis laporan yang menyebutkan bahwa jumlah pengungsi karena konflik, perang, persekusi, diskriminasi, dan kekerasan lainnya mencapai 110 juta. Ada pengungsi Rohingya (Myanmar), Suriah, Palestina, Ukraina, dan lain-lainnya. Mereka, para pengungsi itu, tersebar di berbagai penjuru dunia.

Tetapi pengungsi Palestina yang paling fenomenal: bukan hanya karena sudah sangat lama, melainkan sampai turun temurun ke generasi kedua atau ketiga. Gelombang pengungsian Palestina dimulai sejak peristiwa Nakba (katastropi) pada tahun 1948, di mana orang-orang Palestina diteror oleh milisi-milisi Zionisme yang sangat superior sehingga terusir dari kampung halamannya. Banyak di antara mereka yang lari menyelamatkan diri ke kota-kota yang lebih aman di Palestina sendiri, tetapi lebih banyak lagi yang mengungsi ke negara-negara tetangga atau luar negeri.

Diburu dan Diserbu

Menjadi pengungsi yang terusir dari rumah dan kampung halamannya dan hidup di negeri orang sebagai orang asing sungguh merupakan penderitaan yang sangat berat. Memang ada pengungsi yang bernasib baik diterima oleh –dan diintegrasikan dengan– masyarakat setempat. Tetapi lebih banyak lagi pengungsi yang nasibnya terlunta-lunta: dikonsentrasikan di kamp-kamp pengungsi yang padat dan sesak serta dibatasi dalam semua hal. Fasillitas pelayanan kesehatan, pendidikan bagi anak-anak, dan lapangan kerja yang serba terbatas. Bahkan banyak negara yang memberlakukan larangan bekerja bagi para pengungsi.

Masa depan pengungsi sangatlah suram (madesur) secara turun temurun. Belum lagi ancaman keselamatan jiwa yang terus menghantui mereka sepanjang hari. Sungguh mengerikan, pengungsi Palestina terus diburu oleh Zionisme Israel sampai di kamp-kamp pengungsian. Apalagi jika mereka dianggap berbahaya bagi keamanan Israel. Belum lama berselang terjadi penyerbuan tentara Israel ke kamp pengungsi Palestina di Jenin yang mengakibatkan puluhan jiwa yang tidak bersalah direnggut dengan cara yang sangat mengenaskan. Nasib yang sedemikian mengerikan dulu juga dialami oleh pengungsi Palestina di kamp Sabra dan Shatila di Beirut, Lebanon, (tahun 1982) di mana mereka diburu dan diserbu sehingga terjadi massacre yang luar biasa mengerikan.

Demikian juga halnya dengan nasib dan derita pengungsi Palestina yang mengungsi di kota-kota atau daerah di dalam negeri Palestina sendiri. Artinya, jangankan pengungsi di dalam negerinya sendiri, seperti di Tepi Barat, Hebron, Jenin, Gaza, dan lain-lainnya, yang nota bene hanya berjarak puluhan kilometer saja dari pusat kekuasaan Israel, mereka yang mengungsi di luar negeri yang sangat jauh saja masih diburu untuk dihancurkan. Apatah lagi kamp-kamp pengungsi Palestina di dalam wilayah Palestina yang dianggap sebagai pusat militansi, pastilah mereka menjadi target serangan.

Bukan hanya itu, di dalam kamp-kamp pengungsi juga tidak jarang terjadi kerusuhan antarpengungsi akibat tekanan kehidupan yang membuat mereka frustrasi dan depresi. Di kamp pengungsi Palestina di Ain Al-Helweh, di pinggiran kota Sidon, Lebanon SelaDi dunia ini ada banyak sekali pengungsi (refugee). Pada Hari Pengungsi Sedunia (20 Juni 2023), PBB merilis laporan yang menyebutkan bahwa jumlah pengungsi karena konflik, perang, persekusi, diskriminasi, dan kekerasan lainnya mencapai 110 juta. Ada pengungsi Rohingya (Myanmar), Suriah, Palestina, Ukraina, dan lain-lainnya. Mereka, para pengungsi itu, tersebar di berbagai penjuru dunia.

Rumah Sakit Indonesia di Gaza ikut bantu korban serangan Israeltan, belum lama ini (2023) terjadi perang antarfaksi internal pengungsi yang mengakibatkan jatuhnya korban belasan nyawa. Perlu diketahui Ain al-Halwe adalah kamp pengungsi tertua dan terbesar di Lebanon sehingga sering disebut sebagai “Ibukota pengungsi Palestina” (Palestine’s diaspora capital).

Baca Juga: Program Studi D3 Keperawatan Aiska University Raih Akreditasi Unggul 

Kini hari-hari ini di awal Oktober ribuan pengungsi Palestina di Gaza lagi-lagi menjadi korban kebiadaban agresi militer Israel ke Gaza yang membabi buta dan sangat brutal. Jumlah korban tewas pada hari ke-11 telah mencapai lebih 3000 jiwa. Perlu diketahui bahwa 65% dari 2,3 juta penduduk Gaza adalah pengungsi Palestina. Mereka mengungsi dari daerah-daerah lain yang kini sudah beralih menjadi wilayah pendudukan Israel. Sementara di satu sisi keselamatan jiwanya selalu terancam, di sisi lainnya para pengungsi Palestina sering diperlakukan sebagai pion di papan catur oleh para penguasa di tempat mereka berlindung. Belum lagi dengan pembatasan-pembatasan dan laranganlarangan yang diberlakukan kepada mereka.

Para pengungsi Palestina di Lebanon misalnya di samping dipusatkan di kamp-kamp pengungsian yang padat, mereka juga tidak boleh bekerja di 87 jenis pekerjaan. Mereka nyaris hanya bisa menjadi buruh kasar dengan upah yang sangat kecil. Untuk hidup sehari-hari para pengungsi Palestina memang diurus oleh sebuah badan PBB yang khusus untuk itu, yaitu UNRWA (The United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East). Tetapi persoalannya adalah bukan hanya keterbatasan kemampuan UNRWA, melainkan juga masa depan mereka yang suram.

The Right to Return

Salah satu isu yang menghambat perdamaian Palestina-Israel adalah soal pengungsi. Israel selalu menolak hak kembali para pengungsi Palestina. Pasalnya, jika para pengungsi Palestina yang sekarang jumlahnya hampir dua belas juta jiwa diperbolehkan kembali ke kampung halamannya maka warga negara Yahudi akan kalah jumlahnya dengan bangsa Palestina. Tidak mengherankan jika tidak ada satupun proposal perdamaian Palestina-Israel yang pernah diajukan Barat yang mengandung solusi bagi para pengungsi.

Lebih tragis lagi dalam proposal perdamaian yang diajukan oleh Amerika Serikat terakhir, yakni Peace To Prosperity: A Vision to Improve the Lives of the Palestinian and Israeli People (2020) yang secara bombastis dikenal dengan The Deal of The Century itu juga mengabaikan kepulangan kembali (the right to return) pengungsi Palestina ke kampung halamannya. Sangatlah aneh Amerika Serikat yang mengklaim sebagai pelopor HAM mengabaikan hak pengungsi Palestina untuk kembali. Bukankah hak kembali ke negaranya sendiri adalah sangat sentral dalam hukum internasional dan merupakan bagian dari hak asasi manusia yang lebih luas, yaitu kebebasan bergerak?

Hak untuk kembali ini dirumuskan dalam beberapa perjanjian dan konvensi modern, terutama dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) (1948), Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (1966), dan Konvensi Jenewa Keempat tahun 1948. Pengertian “rumahnya sendiri” adalah sangat luas. Di samping “Hak untuk tinggal”, “hak untuk kembali” tidak terbatas pada kewarganegaraan dalam arti formal. Para ahli hukum internasional tentu sangat tahu tentang isu ini. Intinya adalah bahwa setiap pengungsi berhak untuk kembali ke kampung halamannya, apalagi negaranya.

Satu hal yang menarik terkait dengan “hak untuk kembali” ini adalah bahwa orang-orang Hebron, Palestina, sampai membuat kunci atau anak kunci simbol sebagai ikon kotanya. Kalau kita berkunjung ke kota Hebron maka di depan pintu gerbang kota terdapat ikon kunci yang besar sekali. Pasalnya, para pengungsi Palestina, sebagai bukti kepemilikan atas rumah-rumah yang mereka tinggalkan di Palestina, mereka semuanya membawa kunci rumahnya yang ditinggalkannya.

Kunci adalah laksana jimat atau malah nyawa bagi mereka. Kunci adalah simbol kepemilikan dan keberhakan mereka untuk kembali, serta sekaligus simbol optimisme bahwa pada suatu waktu nanti mereka akan kembali ke kampung halamannya: cepat atau lambat. Kalau tidak sekarang, nanti; kalau bukan dirinya yang kembali, anaknya; jika bukan anaknya, cucunya; dan jika bukan cucunya, cicitnya; demikian seterusnya.

Kita bersimpati, berempati, dan mendukung orang-orang Palestina bukan karena persamaan agama semata, atau karena hal-hal primordial lainnya, melainkan juga karena rasa kemanusiaan kita sebagai sesama manusia. Jika seandainya ada orang Indonesia yang lebih berpihak kepada Zionisme Israel dan memusuhi cita-cita berdirinya negara Palestina yang merdeka dan berdaulat (ada gejala makin banyak), setidaknya sebagai sesama manusia mereka mestinya bisa bersimpati dengan hak kembali para pengungsi Palestina itu ke kampung halamannya.

Sebagai sesama homo sapien, makhluk cerdas yang katanya beradab, yang setelah bersama-sama melewati berbagai seleksi tetap eksis dan tidak punah seperti spesies lainnya, rasanya para pembela Zionisme Israel tersebut mestinya bisa menyisakan sejumput rasa simpati kepada para pengungsi Palestina ini: minimal sebagai sesama homo sapien.*

*Duta Besar LBBP RI di Lebanon

5 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *