Makkah-Suara ‘Aisyiyah. Hidupnya berubah sejak suaminya meninggal di tahun 1990. Ismayati yang semula berdagang bersama suaminya di Surabaya itu pun akhirnya pulang kampung ke Blitar.
Membiayai Hidup Anaknya
“Saya jualan ketan dan rawon kikil di depan rumah, meneruskan usaha orang tua,” jelas perempuan yang biasa disapa Bu Is. Pasalnya, Is harus menjadi perempuan kepala keluarga yang menghidupi 7 anaknya.
Setiap jam 02.00 pagi, Is yang mempunyai 3 anak laki dan empat perempuan ini sudah bangun dan shalat malam. Setengah jam kemudian, baru ia mulai memasak.
Berjualan Ketan dan Rawon Kikil
Ismayati mulai berjualan setelah shalat shubuh sepulang dari masjid. “Semua sendiri, dari belanja di pasar, racik-racik, masak, sampai jualan,” ungkapnya bersemangat. Terkadang anaknya turut membantu menggoreng.
Rawon kikil dihargainya Rp5000 kala itu hingga kemudian menjadi Rp12.000 setelah harga naik. Begitu pula ketan pedesnya dijual sejak harga Rp2000 hingga kini menjadi Rp5000.
Lebih dari 30 tahun berjualan, kini Ismayati cukup menjual ketan saja sejak usianya bertambah tua. Perempuan berusia 75 tahun ini biasa menyebut ketan yang dijualnya dengan ketan sambel. Bahannya terbuat dari ketan putih 3 kilo, kedelai, gula, jahe, bawang, dan daun jarak.
Dari keuntungannya berjualan, ternyata Ismayati tak lupa menabung mulai dari Rp2000 untuk naik haji. Tak hanya itu, sebagai perempuan kepala keluarga, terkadang ia mendapatkan bantuan sosial.
Dari sana pula, ia menabung berhaji. Uang tabungannya diikat karet dan disimpan di dalam tas. Baru setelah terkumpul, ia berikan uang itu kepada anaknya untuk mendaftar haji di tahun 2016.
Kekurangan uang mendaftar haji ditutup oleh anaknya. Keinginannya berhaji memang sudah tumbuh sejak Ismayati muda. “Dari muda, hatinya ingin ke sini, kapan saya bisa haji,” ungkap Bu Is.
Anak ragilnya yang punya usaha toko membantu melunasi biaya haji. Sedangkan Ismi menabung untuk uang saki naik haji.
Setelah berhaji, ia pun mengucap syukur. Perjuangannya membiayai hidup anak-anaknya dan menabung berhaji tentu bukan perkara mudah.
“Alhmdulillah, sudah tua bisa ke sini, dulu pengen tahu kabah gimana. Waktu thawaf saya nangis, senang ga nyangka bisa ke sini,” Ucap Ismi bersukur. (Hajar NS)