Oleh: Ahimsa W. Swadeshi*
Tidak bisa dimungkiri, tantangan pendidikan hari ini begitu dahsyat. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, meski memberikan banyak manfaat dalam proses pembelajaran, nyatanya juga meninggalkan sejumlah pekerjaan rumah yang menuntut untuk diselesaikan.
Kondisi ini membuat para guru perlu bekerja lebih cerdas dan kreatif untuk menghadirkan suasana pembelajaran yang lebih bermakna bagi peserta didik. Sebab, di luar kelas, anak-anak dapat memperoleh pengetahuan secara mandiri lewat gawai masing-masing.
Salah satu alternatif kegiatan pembelajaran agar menarik minat siswa adalah melalui kunjungan ke museum. Koleksi yang ditampilkan di museum bukanlah sembarang benda, terdapat cerita di baliknya yang bisa mewakili pengalaman kolektif suatu masyarakat.
Misalnya, senjata tradisional atau pakaian adat yang digunakan oleh masyarakat dahulu. Dengan mengamati koleksi itu secara langsung, anak-anak dapat mengenali dan mempelajari peradaban masyarakatnya sendiri. Adanya transfer pengetahuan kepada pengunjung menunjukkan bahwa museum memainkan fungsi edukasi.
Anak-anak dapat memperoleh berbagai pengetahuan mengingat banyaknya jumlah museum di Indonesia. Statistik Kebudayaan 2023 mencatat bahwa Indonesia memiliki 450 museum yang tersebar di nyaris seluruh provinsi di Tanah Air. Di antaranya adalah museum sejarah seperti Museum Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung dan Rumah Budaya Banda Neira di Maluku Tengah; museum ilmu pengetahuan seperti Taman Pintar di Yogyakarta dan Museum Kereta Api di Ambarawa; museum seni budaya seperti Museum Batik Indonesia di Jakarta Timur; museum ketokohan seperti Rumah Fatmawati di Bengkulu; dan masih banyak lagi.
Umumnya, selain melalui informasi yang tertera dalam deskripsi objek koleksi, terdapat pula fasilitas pemanduan agar edukasi yang diterima dapat lebih jelas tersampaikan lewat pendampingan interaktif. Sebagian museum juga menyediakan layanan audio-guide (pemandu berbasis audio) yang memperkenankan pengunjung mengeksplorasi museum secara mandiri. Tidak jarang, tersedia sesi diskusi khusus bagi pengunjung yang datang dengan rombongan besar.
Di samping fungsi edukasi, museum juga memiliki fungsi rekreasi, yakni tempat para pengunjung dapat merasakan pengalaman berwisata sekaligus edukasi. Museum menjadi sebuah
ruang belajar yang ramah karena menyediakan berbagai fasilitas untuk menghadirkan pengalaman mengesankan bagi pengunjung, seperti adanya tayangan video animasi, aktivitas atau permainan interaktif, dan sebagainya. Misalnya, Museum Muhammadiyah yang terletak di kompleks Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, memiliki berbagai tayangan digital yang membuat penjelasan di museum menjadi semakin menarik.
Selain itu, berbagai wahana lain juga disediakan untuk menunjang pengalaman edukasi dan rekreasi pengunjung, misalnya dengan menghadirkan kegiatan workshop yang relevan dengan tema museum, seperti membatik, menggambar, membuat gerabah, dan sebagainya. Tidak hanya itu, beberapa spot instagramable di museum juga disediakan agar bisa menjadi tempat berfoto sebagai unggahan di media sosial. Bahkan, tidak sedikit museum juga menyediakan kafe untuk para pengunjung bersantai setelah berkeliling.
Belajar dari Pengalaman
Adanya berbagai informasi dan wahana yang disuguhkan oleh museum tentu menjadikan para pengunjung memiliki pengalaman yang beragam. Setiap orang bisa jadi memiliki kesan yang berbeda. Para peserta didik dapat belajar dengan mengeksplorasi museum lewat kegiatan mengamati, membaca, bertanya, berinteraksi, mendokumentasikan, membuat sebuah karya, dan sebagainya.
Meskipun sebagian museum telah memiliki program pemanduan sendiri, terdapat beberapa strategi yang bisa dilakukan oleh guru maupun sekolah untuk mengoptimalkan pengalaman kunjungan sebagai kegiatan pembelajaran bagi peserta didik.
Baca Juga: TK Aisyiyah di Diorama Museum Jenderal Sudirman
Pertama, sebelum melakukan kunjungan, peserta didik bisa diberikan informasi sekilas tentang destinasi museum dan tujuan utama adanya kunjungan. Dengan begitu, mereka dapat lebih dahulu mencari informasi secara umum terkait isi museum dan juga melakukan persiapan lain yang sekiranya dibutuhkan berkaitan dengan akomodasi.
Kedua, sebelum berangkat ke destinasi wisata, guru dapat memberikan challenge berupa pertanyaan atau misi tertentu yang mengarahkan mereka untuk menggali informasi-informasi penting selama kunjungan. Jika memungkinkan, hal ini dapat dikoordinasikan terlebih dahulu dengan pemandu atau pengelola museum agar informasi yang diekspektasikan dapat benar- benar tersampaikan. Hal ini akan mengundang daya tarik dan antusiasme anak-anak.
Ketiga, selama melaksanakan kunjungan, peserta didik perlu diberikan keleluasaan untuk mengeksplorasi berbagai informasi dan layanan di museum. Berikan kesempatan untuk mereka bertanya dan menggali lebih dalam lewat pemandu atau perpustakaan jika tersedia.
Keempat, sepulang dari kunjungan, peserta didik dapat diajak merefleksikan dan mengekspresikan kesan pengalamannya setelah berkunjung. Hal ini bisa dilakukan dengan menyusun media kreatif seperti gambar, mindmap, powerpoint, atau lainnya yang dapat mereka presentasikan di kelas secara bergantian. Pertanyaan atau misi yang diberikan oleh guru di awal sebelum berkunjung juga dapat direfleksikan pada sesi ini. Dengan begitu, beragam pengalaman, pengetahuan, serta perspektif yang menjadi oleh-oleh selama kunjungan dapat saling ditukarkan dan menjadi milik bersama.
Lewat pengalaman kunjungan itu, mereka dapat mempraktikkan berbagai bentuk cara belajar sebagaimana Level of Learning yang terdapat dalam Bloom’s Taxonomy, yakni remembering (mengingat/mengenali), understanding (memahami), applying (mengaplikasikan), analyzing (menganalisis), evaluating (mengevaluasi), dan creating (menciptakan). Tidak hanya melatih kemampuan berpikir, kegiatan- kegiatan ini juga akan mengasah panca indera mereka dalam melakukan eksplorasi.
Museum Milik Semua
Pendidikan dewasa ini semakin didorong untuk mendekatkan pada nilai-nilai inklusivitas agar setiap pribadi mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar. Museum sebagai salah satu sarana edukasi (pendidikan) pun memainkan peran dalam konsep inklusivitas. Meskipun belum sepenuhnya, banyak museum yang mulai mengupayakan fasilitas dan akses layanan yang ramah bagi semua kalangan agar dapat terpenuhi kebutuhannya selama kunjungan, termasuk bagi pengunjung difabel. Misalnya, adanya fasilitas seperti penyediaan papan miring untuk pengunjung dengan kursi roda maupun keberadaan pemandu atau audio-guide yang disediakan untuk difabel netra.
Tidak hanya itu, konsep museum inklusif atau yang sering disebut The New Museum ini diartikan sebagai museum yang mampu merangkul seluruh elemen masyarakat dalam proses pengembangan museum yang berkelanjutan (Pertiwi & Yudana, 2018). Sebab, pada dasarnya museum bukan tempat menyimpan benda kuno yang tidak relevan dengan zaman.
Sebaliknya, museum adalah laboratorium untuk melakukan kajian dan memperkaya ilmu pengetahuan yang berpilin erat dengan peradaban masyarakat. Oleh karena itu, cerita-cerita di balik koleksi museum maupun informasi lain yang menyertainya akan selalu diperbarui jika terdapat temuan atau kajian baru. Sehingga, informasi yang disediakan di museum juga menjadi kontekstual. [8/24]
*Duta Museum DIY 2020-2021
3 Comments