Kadini dan anggota Kelompok Wanita Tani ‘Aisyiyah tak menyangka, jika bibit tanaman bunga matahari yang mereka tanam sejak Februari akan bermekaran indah dan mengundang orang untuk berfoto dan mengunggah di media sosial. Tak hanya bunga matahari, tanaman bunga kertas dan beberapa jenis bunga lainnya yang semula ditanam untuk menghalau hama, ternyata juga berbunga dengan indahnya dan menambah daya tarik orang untuk berfoto. Beberapa menggunakannya sebagai konten Youtube atau konten media sosial yang lain dan menjadi viral. Semakin hari semakin banyak orang berdatangan ke desa.
Sejak saat itu, tepatnya di penghujung bulan Juni 2020, Kelompok Tani ‘Aisyiyah didampingi Tim Qaryah Thayyibah ‘Aisyiyah Cirebon memanfaatkan peluang tersebut dengan mengembangkan agrowisata desa Sampiran, yang telah mereka cita-citakan sejak lama. Namun, saat bunga matahari mulai mengering, pengunjung pun mulai surut. Dari situ, kelompok tani belajar tentang pentingnya menanam secara berkala agar pengunjung terus dapat menikmati indahnya bunga matahari dan bunga kertas.
Terbentuknya kelompok tani ‘Aisyiyah desa Sampiran bermula dari pengembangan kegiatan Balai Sakinah ‘Aisyiyah (BSA) di desa tersebut, tepatnya Blok Kaligandu, Sampiran, yang telah diinisiasi sejak tahun 2014. Melalui kegiatan Balai Sakinah ‘Aisyiyah, kader dan anggota BSA belajar tentang kesehatan reproduksi, pencegahan stunting, dan kepemimpinan perempuan. Kegiatan BSA sendiri didukung oleh Kepala Desa meski Sampiran bukanlah desa basis warga Muhammadiyah. Namun kebermanfaatan kegiatan BSA membuat kegiatan BSA yang diinisiasi ‘Aisyiyah mendapatkan dukungan dari warga maupun pemerintah desa.
Tidak hanya melakukan pemberdayaan kelompok, kader BSA didampingi Tim ‘Aisyiyah juga mulai melakukan advokasi di tingkat desa, sehingga mereka dapat terlibat dalam musyawarah desa untuk perencanaan pembangunan. Hasilnya, bangunan Polindes di desa Sampiran diperbaiki dan layanan Polindes semakin optimal. Kegiatan BSA dan program kesehatan reproduksi serta gizi yang diusulkan ‘Aisyiyah juga mendapatkan alokasi dana dari desa.
Rintisan kegiatan kelompok tani ‘Aisyiyah bermula dari kegiatan kebun gizi sebagai salah satu bagian dari program Rumah Gizi BSA, yaitu program pencegahan stunting berbasis komunitas. Awalnya, sekitar Juli 2017, mereka berkebun di atas tanah sawah sewaan ibu Kadini dengan menanam berbagai macam sayur dan buah seperti cabe, tomat, kangkung, caesim, pokcay, daun bawang, daun kucai, ketimun, timun suri, semangka, dan melon. Dari bertanam tersebut, mereka berhasil memanen sayur dan buah.
Baca Juga: Gerakan Peduli Lingkungan
Bermula dari kegiatan bertanam tersebut, selanjutnya ‘Aisyiyah mengkomunikasikan kegiatan ini kepada Kepala Desa yang disambut dengan baik. ‘Aisyiyah berharap dapat mengelola tanah desa yang masih belum dimanfaatkan di belakang pasar. Saat itu, tanah desa tersebut hanya ditumbuhi rumput. Bapak Kuwu –istilah bagi kepala desa di Cirebon– pun mengizinkan tanah itu dikelola. Lahan di tanah desa pun mulai ditanami sayur maupun buah seperti kacang panjang, pare, maupun singkong. Sayangnya, lahan tersebut merupakan lahan tadah hujan sehingga tanaman akan mengering di musim kemarau karena kekurangan pasokan air. Jangankan menyiram tanaman, karena tidak ada pasokan air untuk kebutuhan rumah tangga seperti minum dan MCK selama musim kemarau. Desa Sampiran memang termasuk desa yang kekurangan air bersih di musim kemarau.
Baru setelah musim penghujan datang, ibu-ibu petani ‘Aisyiyah mulai dapat berkebun kembali. Dalam hal mencangkul tanah, ibu-ibu petani dibantu oleh bapak petani dari suami kader atau anggota. Sedangkan ibu-ibu anggota kelompok berperan menanam sayur dan buah dan melakukan kegiatan pemeliharaan seperti pemupukan dan menyiangi rumput. Kegiatan menanam dan pemelihatan dilakukan secara bergantian oleh seluruh anggota kelompok yang berjumlah 30 orang,
Pertemuan rutin seluruh anggota kelompok tani dilakukan setiap hari kamis pada pekan terakhir setiap bulannya. Diisi dengan kegiatan arisan, penyuluhan dari UPT pertanian, dan diakhiri dengan makan bersama seluruh anggota dari hasil kebun, seperti urap dari berbagai macam sayur hasil kebun dan sambal tomat dari cabe dan tomat hasil kebun. Setiap kali panen, anggota mengkonsumsinya dan menjual hasil panen ke masyarakat secara langsung. Anggota dapat ambil untung dari kegiatan pemasaran dengan tetap menyetor uang hasil penjualan ke kelompok.
Untuk meningkatkan kapasitas anggota kelompok tani, ‘Aisyiyah menginisiasi sekolah tani ‘Aisyiyah. Dalam hal ini, ‘Aisyiyah bekerjasama dengan penyuluh pertanian dan Dinas Pertanian Kab. Cirebon. SK KWT ‘Aisyiyah telah dibuat oleh pemerintah desa. Selain itu, berkat dukungan kepala desa, KWT didampingi Tim ‘Aisyiyah telah mengurus badan hukum kelompok agar dapat mengakses berbagai program pengembangan pertanian.
Pada musim tanam awal tahun ini, KWT ‘Aisyiyah mendapatkan dukungan dari dinas pertanian berupa bibit cabe dan bibit bunga matahari. Selain kedua bibit tersebut, sebenarnya KWT akan mendapatkan bantuan bibit buah naga. Sayangnya belum dapat direalisasikan karena terkendala Covid-19.
Anggota KWT menanam berbagai macam tanaman, mulai padi, kacang tanah, singkong, ketela rambat, papaya kalifornia, cabe, tomat, jagung, kangkung, pakcoy, cesim, dan terong. Selama pandemi, anggota kelompok ke kebun hanya untuk melakukan perawatan dan memanen. Dari hasil bertanamnya, anggota dapat memanen padi sekitar dua kuintal, ketela satu kuintal, dan memanen kacang sebanyak delapan puluh kilogram. Sayangnya, setelah di hitung secara seksama, ternyata pengeluaran biaya operasional dibandingkan hasil panen tidak menggembirakan. Padahal dari hasil panen, KWT berharap dapat menyisihkan hasilnya untuk menambah dana pemberian makanan tambahan bagi balita di desa.
Baca Juga: Perempuan dan Lingkungan Hidup
Sejak itu, keinginan anggota kelompok untuk membuat usaha agro wisata semakin besar. Agro wisata yang diharapkan anggota KWT di dalamnya meliputi kegiatan edukasi pertanian sekaligus wisata pertanian, dengan tetap mempertahankan fungsi kebun gizi sebagai awalan terbentuknya kelompok tani. Bermekarannya bunga matahari dan bunga yang lain menjadi momen KWT menjadikan lahan yang dikelolanya sebagai tempat agro wisata tentu dengan protokol kesehatan. Dari situ, anggota KWT mulai membuka kedai menjual makanan ringan dan berbagai macam minuman di saung tani ‘Aisyiyah. Beberapa pelaku usaha kecil juga turut bergabung.
Seiring bertambahnya pengunjung, lahan agro wisata diberi tambahan berbagai fasilitas selfie di luar bunga yang sudah ada, seperti menambah hiasan payung-payung cantik maupun ornamen sederhana dari anyaman bambu seperti kukusan, tebok, dll yang dicat dan digantung berpadu dengan hiasan lain. KWT juga memanfaatkan ban-ban bekas yang dicat dan ditata sedemikian rupa sehingga nampak indah dan cocok sebagai sarana selfie.
Belajar dari pengalaman menurunnya jumlah pengunjung setelah bunga matahari mulai mengering, kini anggota kelompok telah menanam kembali bunga matahari dari hasil bunga yang sudah mengering dengan pengaturan cara tanam secara berkesinambungan setiap 2 minggu sekali. Dengan demikian, mereka berharap akan selalu ada pertumbuhan tanaman secara berkesinambungan. Tak hanya itu, kini KWT telah membuat sumur gali agar air di musim kemarau tidak kering sehingga bisa terus menanam dan memelihara bunga, sayur, dan buah.
Meskipun demikian, sejak agrowisata ramai dikunjungi dan menambah penghasilan warga yang sempat terpuruk karena Covid-19, terdapat dinamika dari beberapa pihak di desa terkait pengelolaan tanah tersebut. Situasi tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi KWT yang belum memperoleh hak kelola tanah desa dalam jangka panjang sehingga diperlukan upaya dan sinergi dengan beberapa pihak di desa untuk pengembangannya. (HNS)