Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Nyaris seminggu terlewat dari peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat (MPI PP) Muhammadiyah bersama Majalah Suara Muhammadiyah (SM) menyelenggarakan Diskusi Hari Pers Muhammadiyah pada Rabu (23/8). Kegiatan yang dilaksanakan di Gedung SM Tower ini diberi tajuk “Muhammadiyah dan Media: Kiprah Dakwah Pencerahan di Abad ke-2”.
Pembukaan kegiatan ini dihadiri oleh Haedar Nashir (Ketua Umum PP Muhammadiyah), Dadang Kahmad (Ketua PP Muhammadiyah membidangi Pustaka dan Informasi), serta Muchlas (Ketua MPI PP Muhammadiyah). Selain itu, terdapat pula Asmono Wikan (Dewan Pers Indonesia), Isngadi Marwah Atmadja (Redaktur Eksekutif SM), Roni Tabroni (Kepala Pusat Media Digital dan Kebijakan Publik Universitas Muhammadiyah Bandung), serta Widyastuti (Wakil Ketua MPI PP Muhammadiyah) sebagai narasumber pada kegiatan diskusi. Liputan mengenai diskusi dapat disimak pada berita terpisah.
Muchlas, mengawali acara pembukaan dengan menyampaikan latar belakang kegiatan tersebut. “Ini merupakan perhatian kita terhadap media, khususnya media persyarikatan Muhammadiyah,” ungkapnya. Ia menyebutkan dinamika SM telah banyak mendorong lahirnya media-media lain, baik di persyarikatan maupun di luar persyarikatan. Bahkan sekarang, telah lahir media-media alternatif yang secara ideologi memiliki kesamaan spirit dengan Muhammadiyah.
Lebih lanjut, ia menyampaikan dua poin utama sebagai usulan kepada PP Muhammadiyah. Pertama, MPI mengusulkan agar PP Muhammadiyah mengesahkan tanggal 13 Agustus menjadi Hari Pers Muhammadiyah. Tanggal ini didasarkan pada penerbitan awal majalah SM. Sejauh ini, pelacakan terakhir baru sampai menemukan majalah edisi ke-2 yang telah terbit pada tahun 1915.
Kedua, Muchlas menyampaikan, “Kami juga ingin mengusulkan pada pemerintah agar SM ini menjadi warisan budaya benda dan warisan budaya tak benda.” Mengingat SM tidak hanya berperan dalam menyebarkan informasi, tapi juga merekam sejarah dan kebudayaan bahkan sebelum masa kemerdekaan. Rencananya, warisan budaya benda (tangible cultural heritage) yang diajukan adalah majalah edisi ke-2 yang disebutkan sebelumnya. Sedangkan, warisan budaya tak benda (intangible cultural heritage) mengacu pada kandungan-kandungan kebudayaan yang diulas dan dicerminkan dalam konten-konten majalah.
Usulan tersebut, ditegaskan oleh Muchlas, bukan dalam rangka menjadi tandingan Hari Pers Nasional yang sudah sejak lama disahkan pemerintah. Melainkan, ini merupakan upaya Muhammadiyah untuk menggairahkan spirit pers internal yang harapannya nanti juga akan mendukung kolaborasi agar seiringan dengan pemerintah.
Baca Juga: MPI PP Muhammadiyah Akan Bangun Ekosistem Digital
Setelahnya, dalam pidato iftitah, Dadang Kahmad menyampaikan bahwa Muhammdiyah sejak awal hadir dengan kesadaran soal angka buta huruf dan minimnya kesempatan bersekolah. Hadirnya SM pun punya spirit untuk menguatkan literasi masyarakat. Sebagaimana perintah dalam Al-Qur’an melalui ayat pertama “Iqra’!”, Muhammadiyah menjaga semangat ini sejak dulu. Selain itu, ia pun menegaskan kondisi hari ini dimana, “Tantangan sangat luar biasa, media-media berubah.” Sehingga, pers Muhammadiyah perlu memperjelas perannya di abad ke-2 ini. Oleh karena itu, Dadang menyampaikan bahwa ia mendukung usulan yang disampaikan oleh MPI PP Muhammadiyah, lewat Muchlas.
Selaras dengan itu, sebagai Amanah dan Arahan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir menyampaikan bahwa, “Itu adalah usul yang sangat bagus.” Secara pribadi, ia sangat mendukungan tersebut, meski hal itu masih perlu dibawa di pleno PP Muhammadiyah sebelum diputuskan secara sah. Hanya saja, ia menambahkan catatan bahwa usulan tanggal yang disebut tadi baiknya dilengkapi menjadi ‘Hari Pers dan Literasi Publik Muhammadiyah’.
Ini mempertimbangkan peran SM dalam menggerakkan budaya literasi membaca dan menulis di masyarakat. “Kehadiran SM memang tidak hanya sebagai media untuk menyerahkan informasi, tapi juga memainkan fungsi untuk gerakan literasi,” tegas Haedar. Dalam kacamata sosiologi, masyarakat umumnya cenderung mengembangkan tradisi lisan. Dalam sejarah Indonesia, tradisi tulisan mulai berkembang lewat pembacaan literasi-literasi berbahasa Arab. Kemudian, terdapat perkembangan ketika di awal abad 20, sebagian elit muslim mulai bisa membaca literasi-literasi dari bahasa lain.
Di sinilah menurut Haedar, “SM punya peran yaitu membangun tradisi baru.” Mengingat pada tahun 1921, tujuh tahun sebelum Sumpah Pemuda, SM yang sudah lahir sejak tahun 1915 telah mengubah penggunaan bahasa di majalah menjadi bahasa Indonesia, setelah sebelumnya lebih banyak berbahasa Jawa. Meskipun begitu, edisi-edisi bahasa Jawa pun tetap mencerminkan kemajuan berpikir lewat isu-isu yang diangkat saat itu.
Lebih lanjut, Haedar juga menuturkan tentang tantangan media di era post truth saat ini. “Yang panas-panas, yang hot, itu yang dicari. Akhirnya itu menjadi kekuatan-kekuatan yang dominan sekarang,” ungkapnya. “Usaha kita ke depan adalah membuat literasi-literasi yang mencerahkan, mencerdaskan.” Tradisi ini harus dikuatkan di tingkat masyarakat terkecil yaitu keluarga. Sehingga, peran pers Muhammadiyah, salah satunya melalui SM, harus terus didorong. (Ahimsa)