Kalam

Bijak Menghadapi Momen Politik dalam Perspektif Islam

Oleh: Andy Dermawan*

Memasuki tahun politik, segenap anak bangsa menghadapinya dengan berbagai cara; ada yang reaktif berlebihan seperti ikut memaki dan saling menyalahkan, dan ada pula yang responsif seperti menyikapinya secara wajar karena “ritual lima tahunan”, atau berdiskusi dengan kawan sejawat atau bahkan lawan “sejawat” secara bertanggung jawab dan proporsional. Tentu saja, hasil dari reaksi dan responsi itu berbeda bergantung dari “tensi masing-masing”.

Dalam kajian Islam, politik itu merupakan kajian siyasah. Islam tidak “melulu” bicara agama, karena faktanya bahwa politik itu ternyata juga bagian dari kajian keilmuan keislaman. Meski demikian, tentu saja dalam kajian studi Islam terdapat rambu-rambu yang mesti menjadi perhatian, misalnya soal etika atau kesantunan dalam berpolitik. Itulah bebas bertanggung jawab. Memang, dalam politik secara umum seringkali didapati bahwa “etika cenderung tidak menjadi perhatian oleh sebagian kalangan.”

Hal demikian tampak pada ritual lima tahunan yang syarat dengan fitnah, makian, saling tuding, dan mencari momentum untuk menjatuhkan harga diri kelompok bahkan seseorang sekalipun. Seolah lupa, jika suatu saat seseorang mendapatkan musibah, tentu tetangga atau orang terdekat –yang dahulunya dianggap “musuh politik” karena berbeda pandangan– adalah orang pertama yang merawat dan membantunya. Dalam nilai-nilai Islam, rambu-rambu itu jelas, sebagaimana Q.s. Ali Imron [3]: 159,

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”

Ada beberapa hal penting yang perlu menjadi perhatian di dalam menghadapi momen politik. Hal ini penting agar kita dapat bijak dalam bersikap dan cerdas melihat dinamika politik yang seringkali mengalami pasang-surut, dan tenang di dalam meresponsnya.

Pertama, memperluas wawasan tentang masalah yang dihadapi, kemudian merefleksikan dengan saksama agar memahami betul hakikat dan anatomi permasalahannya. Bertambahnya wawasan relatif menguatkan sikap bijaksana (wisdom), sehingga terhindar dari diskusi yang menyita waktu dan menguras tenaga.

Kedua, batasi dalam mengonsumsi berita yang berlebihan. Hal ini penting agar kita lebih fokus pada permasalahan yang dimaksud. Pengertian membatasi di sini adalah penguatan pengetahuan agar memiliki dasar berpikir (logika) yang kokoh dan berdasar.

Ketiga, pilih sumber-sumber yang terpercaya dan jangan biarkan diri terjebak dalam siklus berita yang tiada henti dan tak berkesudahan. Penguatan pada sumber berita adalah penguatan pada arus informasi yang mendasar, kuat, dan terpercaya.

Keempat, berdiskusi secara produktif. Artinya berdiskusi soal politik, lebih baik fokus pada penguatan data dan fakta yang dibicarakan daripada “debat kusir” yang tidak jelas ujung pangkalnya. Selain menambah fitnah juga memupuk hadirnya “musuh baru” dan menghabiskan banyak tenaga.

Baca Juga: Pemilu 2024 dan Asa Perempuan Politik

Kelima, menghormati privasi orang lain ketika terjadi perbedaan pandangan, karena setiap orang mempunyai sudut pandangnya masing-masing. Hal ini penting, meyakini bahwa “ada kebenaran di luar diri kita”, merupakan praduga yang mendasari sistem logika seseorang atau kelompok di dalam memahami persoalan. Keenam, lebih banyak mendengar dan melihat daripada mengedepankan banyak bicara dan sikap reaktif yang berlebihan. Terakhir, memiliki teladan dalam bersikap, sehingga orang lain menaruh simpati bahkan empati kepada kita, dan begitu pula sebaliknya. Q.s. Yasin [36]: 65 mengajarkan kepada kita,

الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَىٰ أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Bahkan bukan sekadar mesti mempertanggungjawabkan apa yang telah kita lakukan, namun di akhirat kelak kita juga dituntut atas amanat yang diberikan kepada kita.” Q.s. al-Anfal [8]: 27 mengingatkan,

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”

Diksi amanah dalam kajian keislaman menempati ranking tinggi dalam kehidupan sosial dan bernegara. Kata amanah senantiasa berhubungan dengan mentalitas seseorang, atau sebentuk tanggung jawab yang mengidentifikannya sebagai seorang muslim yang baik. Kata ini tentu tidak semu dah diucapkan, namun membutuhkan kekuatan lahir-batin di dalam mewujudkannya. Jika seseorang memiliki mental amanah, maka apapun yang tersentuh tangannya dan terendus oleh rencananya, cenderung membawa dampak maslahat yang baik bagi sesama dan lingkungannya.

Tahun politik adalah tahun yang menandai kita agar waspada dan berhatihati dalam mengucap kalimat dan menghindari prasangka liar terhadap fenomena sosial yang terjadi. Berpikirlah sebelum menyatakan sesuatu, karena salah satu mahfuzdat mengajarkan, َ ِ

فَكِّرْ قَبْلَ أَنْ تَعْزِمَ

 Kalimat ini mengindikasikan agar berpikir ulang terlebih dahulu sebelum melakukan atau menyatakan sesuatu. Artinya kita mesti lebih bijak agar tidak ikut serta memperkeruh suasana. Ikhtiar menghadapi situasi dan momen politik dengan bijak dan tenang merupakan langkah cerdas dan dewasa di dalam meraih cita-cita bangsa, yang berkeadilan dan menyejahterakan. Politik itu mulia, dan kemuliaan itu terletak pada bagaimana cara memperolehnya dengan baik dan benar.

Membangun sikap bijak dan tenang dalam menghadapi momen politik memerlukan tambahan dan peningkatan wawasan, kesabaran, diskusi yang sehat dan meminimalisir potensi yang mengarah ke konflik atau debat tak berkesudahan. Dengan mempertahankan dan menjaga kesejahteraan mental, problematika politik dapat di respons dengan “renyah“ dan kepala dingin. Berikutnya, sebagai negara yang berdaulat tentu saja tetap memegang teguh nilai (value) kebangsaan dan nilai ketimuran yang menjunjung tinggi etika dalam berpolitik, kejujuran, dan integritas yang dalam Islam dikenal dengan akhlak. Selamat berpolitik dengan cerdas dan menggembirakan. Wallahu a`lam bi al-shawwab.

NB: tulisan ini terbit di Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi Januari 2024. Dimuat ulang dengan beberapa perbaikan tanpa mengubah substansi.

*Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah Periode 2010-2015 dan 2015-2022

Related posts
Politik dan HukumSains dan Tekno

Cakap Bermedia Sosial di Era Polarisasi Informasi

Oleh: Firly Annisa Pemilu kita songsong sejak 14 Februari 2024 lalu. Kontestasi politik kali ini diprediksi oleh para pengamat politik tidak akan…
Politik dan Hukum

Momen Idulfitri: Merajut Kembali Ukhuwah Pasca Pemilu

Oleh: Andre Rosadi* Proses pencoblosan suara dalam pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan anggota legislatif (Pileg) sudah usai pada 14 Februari lalu. Sebagai…
Berita

Seruan PWPM Jateng Pasca Pemilu 2024: Harapkan Situasi Damai dan Sejuk

Semarang, Suara ‘Aisyiyah – Proses Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 hingga saat ini masih berlangsung. Berbagai dinamika mewarnai pesta demokrasi yang digelar lima…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *